Cerpen, Mahrus Prihany, Solopos

Riwayat Sehelai Syal

Riwayat Sehelai Syal - Cerpen Mahrus Prihany

Riwayat Sehelai Syal ilustrasi Hengki Irawan/Solopos

4
(4)

Cerpen Mahrus Prihany (Solopos, 26-27 April 2025)

SYAL oranye dengan polkadot putih itu tergeletak di kasur, basah penuh cairan – cairan kemenangan. Syal itu istimewa. Sehelai syal yang seolah mengingatkanku pada beragam kenangan dan peristiwa hidup. Peristiwa-peristiwa yang berloncatan yang seakan menceritakan kembali kepadaku bahwa syal oranye itu adalah lambang sebuah kebesaran.

Aku sesungguhnya malu untuk menceritakan kisah ini. Tapi, jika tak kuceritakan, aku akan benar-benar akan mati tanpa ada seorang yang meneruskan impianku. Tak ada kisah besar yang akan dikenang anak-anak dan keturunanku nanti. Semua akan berhenti seperti peluru yang tak pernah melesat pada sasaran. Aku tak ingin itu terjadi. Aku tak ingin terkubur sendiri. Jadi, aku akan mulai menceritakan kisahnya dan kuharap kau tak menertawakan cerita ini.

***

Dulu, saat masih kecil, aku sering melihat orang-orang yang tampil di panggung sebagai sosok yang hebat. Saat acara memperingati Hari Kemerdekaan di kampungku, misalnya, biasanya diadakan acara dangdut untuk memeriahkannya.

Aku menyaksikan para penyanyi kota kecilku yang diundang tampil untuk mengisi acara di panggung dengan kekaguman luar biasa. Aku ingin bisa menjadi seperti mereka.

Pernah juga, pada acara hari besar keagamaan, masjid besar kampungku mengundang penceramah terkenal. Gaya ceramahnya di panggung sungguh membuatku terpukau. Aku ingin seperti penceramah itu.

Pada waktu yang lain lagi, aku menonton seorang pembaca puisi tampil di panggung. Aku ingat acara itu adalah acara pesta perpisahan SD di mana aku baru saja lulus.

Pembaca puisi adalah seorang senior atau kakak kelasku yang telah menjadi seorang penyair terkenal di kotaku meski aku belum pernah membaca sajak-sajaknya di koran yang biasanya ditempel di papan lebar yang dilapisi kaca dan ditaruh depan kantor kelurahan. Tampil di panggung dan ditonton banyak orang dengan tatapan dan sanjungan lalu tepuk tangan bergemuruh itu hebat sekali bukan?

Aku tak pernah punya keberanian tampil di panggung atau podium. Ya, aku memiliki perasaan minder luar biasa. Bahkan jika guru sekolahku memintaku maju di kelas—dan itu tentu saja tanpa panggung atau podium—untuk membaca teks bacaan, puisi, menyanyi, atau sekadar memimpin doa, aku selalu takut luar biasa.

“Saat besar nanti kau akan menjadi pemimpin. Jika tidak bagi masyarakat, setidaknya pemimpin bagi keluargamu. Kau harus memulainya dari sekarang, Johar!” Itu adalah kalimat-kalimat dari para guruku yang berulang dan terekam dalam ingatanku.

Baca juga  Dongeng Penelitian Nambuk Kubo

“Johar, ayo maju! Semua temanmu sudah melakukannya. Kau hanya membaca satu paragraf ini.”

Aku diam saja, tapi sungguh aku menahan air mataku agar tak tumpah hingga guruku bosan membujuk.

Saat berada di bangku sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, aku sering mendaftarkan diri untuk menjadi peserta beragam lomba, seperti lomba pidato, lomba menyanyi, baca puisi, dan lomba monolog. Namun, sungguh tak satu kali pun aku berani maju untuk tampil. Aku selalu menggunakan nama samaran. Hingga saat namaku dipanggil, aku akan diam saja, kemudian namaku terkena diskualifikasi karena panitia menganggap peserta yang dipanggil namanya tersebut tidak hadir. Tak ada yang tahu bahwa nama yang mereka panggil sesungguhnya duduk di deretan depan sejak awal. Bahkan nama itu menjadi penonton setia dan penuh khidmat menyaksikan para penampil hingga acara berakhir.

Saat duduk di perguruan tinggi, aku juga sering menatap dengan kekaguman luar biasa pada para seniorku yang memegang megaphone. Lapangan dan halaman kampus menjadi panggung dan podium bebas dengan orasi yang lantang dan penuh retorika yang memukau. Mereka tampil memimpin sebuah aksi atau demonstrasi yang menentang kebijakan-kebijakan kampus atau pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Setelah lulus kuliah, aku juga senang sekali mengikuti kampanye-kampanye partai atau acara pilkada. Tak peduli itu siapa atau dari partai mana. Sungguh aku tetap selalu membayangkan bisa seperti mereka, para jurkam itu, walau tetap saja aku tak pernah berani sekadar bicara di panggung.

***

Istriku menatap lalu memelukku dengan penuh kepuasan. Ia mengecup syal warna oranye yang basah penuh cairan tersebut. Ia memujiku dengan penuh ketulusan dan kebanggaan.

Di kasur ini ternyata aku adalah singa podium atau macan panggung. Kehebatanku di kasur dan kamar serta pujian yang selalu keluar dari bibirnya sambil menatap syal oranye basah penuh cairan itu membangkitkan rasa percaya diriku yang telah lama beku.

Aku bercerita pada istriku bahwa syal oranye polkadot putih itu dulu diwariskan seorang terkenal yang biasa tampil memukau di panggung. Tokoh terkenal tersebut selalu tampil di panggung atau podium dengan mengenakan syal tersebut di lehernya.

Suatu hari, tokoh itu memberikan syal itu kepadaku karena ia juga menganggapku orang hebat yang suatu ketika nanti bisa menjadi seperti dirinya, bahkan bisa lebih hebat dari dirinya.

Sesungguhnya, syal itu aku beli di pasar sebelum menikah. Aku membeli syal tersebut karena memang terinspirasi beberapa orang hebat yang tampil di panggung dan di leher mereka selalu melilit selembar syal.

Baca juga  Tato, Ciuman, dan Sebuah Nama

Aku juga sering membebatkan atau sekadar mengalungkan syal itu di leherku saat baru pulang menyaksikan orang-orang yang tampil di panggung. Aku lalu berkhayal di depan cermin seolah-olah aku sedang berbicara di podium dan disaksikan banyak orang. Aku praktikkan gaya mereka di depan cermin. Aku merawat syal itu dengan sepenuh hati.

Aku menikah pada usia yang bisa dibilang terlambat, menjelang empat puluh. Itu karena kesibukanku dalam mencari uang. Jangan bayangkan aku berasal dari keluarga mampu meski aku berhasil menyelesaikan perguruan tinggi dengan nilai sangat memuaskan.

Dulu, aku membiayai kuliahku sambil bekerja. Pekerjaan awalku adalah pekerjaan serabutan. Aku pernah menjadi tukang parkir di pasar, pelayan toko, supir mobil barang, dan akhirnya diangkat menjadi seorang karyawan di perusahaan ekspedisi setelah bekerja beberapa tahun. Atasanku kemudian tahu bahwa aku mengantungi ijazah sarjana.

Situasiku dulu itulah yang membuatku kurang percaya diri dalam pergaulan dengan teman-teman dan juga dalam mendekati perempuan. Aku juga tidak percaya diri tampil di depan orang banyak. Selain tampangku biasa-biasa saja, aku juga berasal dari keluarga sangat sederhana. Sebelumnya, saat awal menikah, aku selalu menggantung syal oranye polkadot itu di lemari baju.

“Syal apa itu, Mas Jo? Sepertinya Mas Johar begitu perhatian,” istriku bertanya suatu ketika. Dia sering melihatku mencuci, menyeterika, dan memakainya di leher atau pundak sambil mematut di depan cermin.

“Ya. Ini syal penuh riwayat,” jawabku spontan waktu itu.

“Ceritakan padaku riwayat syal itu, Mas Jo,” istriku mulai penasaran.

“Bagaimana menurutmu penampilanku ini?” Aku bertanya sambil melilitkan syal itu di leher, mengalihkan rasa penasaran istriku.

“Wowww… Mas Jo tampak gagah dan berwibawa,” istriku menanggapi penuh ekspresif.

Satu hal yang membuat imajinasi dan kepercayaan diriku timbul adalah seringnya istriku memuji kejantananku di ranjang. Awalnya aku merasa biasa saja sebelum kemudian pujian itu berubah menjadi rasa bangga.

Aku lalu menghubungkan kejantananku dengan syal oranye tersebut. Mulailah aku kisahkan pada istriku bahwa aku dulu sering tampil di panggung untuk berpidato atau sekadar membaca puisi tanpa pernah tertinggal mengenakan syal tersebut tentunya.

Meski aku telah pensiun tampil di panggung dan podium, syal itu tetap menyatu dengan diriku. Syal tersebut adalah bagian dari diriku, bagian sejarah masa laluku yang akan tetap kubawa sampai kapan pun.

Aku lalu menggunakan syal itu untuk membersihkan cairan setelah kami berhubungan intim sebagai suami-istri. Aku mencuci syal itu pada esok paginya. Begitulah tiap hari dan istriku sungguh turut bangga dengan syal itu dan segala cerita masa laluku. Entah kenapa kepercayaan diriku makin menjadi besar setelah itu.

Baca juga  720 Hari Kesepian

Istriku memang sering mengulang bertanya dan mendesak secara mendetail riwayat syal tersebut. Akhirnya, untuk membuatnya yakin, aku sering menunjukkan padanya banyak fotoku bersama orang terkenal ketika aku mengikuti acara.

Ada satu foto yang membuat istriku makin percaya dan turut bangga, yaitu saat aku bersama seorang terkenal yang sedang mengenakan syal di lehernya. Kebetulan syal tersebut sangat mirip dengan syal yang kubeli. Istriku mengira bahwa syal tersebutlah yang diwariskan kepadaku.

Jika istriku bertanya kenapa aku tak mau tampil di panggung atau podium untuk berpidato, berorasi, atau membaca puisi, aku akan selalu berkata padanya bahwa saat ini aku benar-benar ingin fokus untuk membahagiakannya. Aku ingin mencurahkan waktuku untuk istri dan keluarga. Ya, aku sibukkan diri dengan bekerja dan mencari uang. Kataku pada istri, aktivitas di panggung itu sangat menyita waktu.

“Menghadiri dan membaca puisi di pentas-pentas seni sekarang ini sangat pahit. Kita tidak mendapat bayaran, malah bisa keluar banyak uang. Paling-paling kita dapat riuh tepuk tangan. Mending aku bekerja mencari uang.” Istriku percaya saja dan merasa senang bukan kepalang mendengar ucapanku.

Kami lalu menatap syal oranye polkadot putih tersebut bersama-sama. Senyum manis istriku mengembang.

Syal itu kini basah penuh cairan lagi. Dan dalam pikiranku, aku ingin benar-benar merawat syal tersebut untuk kuwariskan pada anakku nanti. Setidaknya, riwayat tentang syal itu mampu menjadi motivasi dan kebanggaan bagi keturunanku.

Aku lalu menaruh syal oranye tersebut di atas perut istriku, kukecup syal tersebut, pun perut istriku. Ada harapan dan impian besar yang tiba-tiba muncul kembali. ***

.

.

Mahrus Prihany lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan Redpel portal sastra litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa.

.

.

Riwayat Sehelai Syal. Riwayat Sehelai Syal. Riwayat Sehelai Syal. Riwayat Sehelai Syal. Riwayat Sehelai Syal. Riwayat Sehelai Syal. Riwayat Sehelai Syal. Riwayat Sehelai Syal

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!