Cerpen Fileski Walidha Tanjung (Suara Sarawak, 07 Desember 2024)
Langit tampak kemerah-merahan, sangat indah sekali. Hanya beberapa jam saja penduduk di sini bisa melihat matahari. Sekitar 4 jam, selebihnya adalah malam. Matahari tak begitu panas, karena teriknya hanya lewat saja, dari kejauhan.
MELIHAT temannya yang sedang termenung menatap langit, membuka pembicaraan. “Apa yang sedang kamu lihat, dari tadi kuamati, kau seperti penduduk asing yang baru sehari tinggal di sini.”
“Lihat itu sang matahari, baru saja datang, dan sebentar lagi ia pergi,” menjawab dengan ekspresi dingin.
“Memang, tak lama matahari mau singgah di sini, orang-orang sini sadar kalau di seberang sana ada kehidupan, yang menjadi pusat putaran matahari. Tempat dimana matahari akan pulang.”
“Meskipun negeri kita bukanlah pusat matahari, kita tak pernah merasa inferior dengan kehidupan di luar sana. Pernah ada penduduk seberang yang berhasil menembus dinding es abadi. Ia bercerita tentang kehidupan di seberang.”
“Sudah jadi rahasia umum. Negeri itu bernama Bumi, penduduknya mirip dengan yang di sini. Hanya saja, kulit mereka tipis, gampang luka, mudah tergores, dan tak tahan cuaca di sini.”
“Orang asli sini punya kulit tebal, sudah beradaptasi dengan suhu dingin.”
“Namun semenjak banyaknya perumahan koloni, sebagian penduduk ada yang sudah tidak tahan dengan suhu dingin. Rumah-rumah koloni itu memang nyaman, dengan suhu yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas.”
“Dulunya itu karena ada gagasan dari seorang menteri, yang menginginkan negeri ini punya ketahanan pangan, dengan berbagai jenis varian, khususnya makanan segar, dari berbagai hewan dan sayuran. Sebab sebelumnya, menu makanan yang ada di sini berupa produk frozen. Makanan yang dibekukan, sehingga kurang fresh untuk dinikmati.”
“Kini perumahan koloni itu semakin banyak, berbentuk kubah-kubah besar, membuat efek rumah kaca. Ada sistem sirkulasi udara yang bisa buka tutup untuk mengatur agar suhu selalu stabil. Membuat tanaman bisa tumbuh subur, berbagai varian sayur dan buah juga bisa tumbuh di sini. Yang dulunya hanya ada 10 jenis sayuran, kini menjadi 3.000 jenis sayuran, belum lagi buah-buahan, ikan, dan berbagai hewan, yang sekarang bisa hidup di tempat ini.”
“Aku yakin, beberapa tahun lagi negeri ini akan punya jutaan spesies hewan dan tanaman yang didatangkan dari negeri itu.”
“Namun itu hal rahasia. Kebijakan pemerintah republik untuk mendatangkan segala dari mereka, tidak akan diungkap ke publik. Tidak ingin ada keributan.”
“Republik ini punya lembaga intelijen yang selalu memantau kehidupan di sana, yang bisa memasukkan orang-orang yang dianggap kompeten untuk membawa berbagai varian tanaman dan hewan dari sana, untuk dibawa ke sini.”
“Penduduk bumi yang dibawa kesini semakin banyak. Rumah-rumah koloni semakin menjamur. Mereka beranak pinak, kawin dengan penduduk asli. Ada sebagian yang kulitnya masih mirip penduduk asli, ada yang sebagian mirip orang bumi, rapuh, gampang sakit kalau suhu Ancestral sedang ekstrim.”
“Manusia peranakan dari bumi memang lemah. Banyak mengeluh, rapuh, mudah patah semangat, bahkan aku dengar di sana sering ada kasus bunuh diri. Karena tidak kuat dengan tekanan ujian hidup.”
“Terutama pendatang yang asalnya dari negara Z. Aku sebut saja bangsa Z supaya tidak ada yang tersinggung.”
“Ya maklum saja, di sini ada banyak keturunan bangsa Z. Meskipun mereka terlahir di sini, tapi sifat genetik tidak bisa terlepas dari dirinya. Semacam buah stroberi, yang terlihat merah, menarik, dan manis. Tapi rapuh dan mudah mengeluh. Begitulah sifat para generasi Z yang hidup di negeri ini.”
“Awalnya negeri ini damai, aman, tentram. Sifat genetik penduduk asli sini itu rajin bekerja dan sedikit bicara.”
“Tak heran jika sepanjang zaman kita tidak pernah kekurangan pangan. Tak pernah ada perang atau keributan.”
“Seseorang yang terpilih menjadi penguasa, adalah mereka yang punya energi lebih dalam hal empati dan telah selesai dengan dirinya sendiri.”
“Ada hal yang aku khawatirkan, sebagian keturunan generasi Z kini sudah menjadi dewasa dan sepertinya ambisi untuk berkuasa. Aku khawatir kelak bakal ada perang saudara. Karena berubahnya paradigma dan karakter budaya asli negeri ini.”
“Sifat yang paling aku tidak suka dari mereka, adalah sifat rakus. Berapapun bagi mereka tidak pernah cukup. Mungkin itu yang akan membuat negeri ini kelak jadi berantakan di masa depan.”
“Pernah aku membaca sebuah buku yang dibawa salah seorang dari sana, ada satu kalimat yang aku suka. Ambil secukupnya, sisakan untuk yang lain, ditulis oleh BDD.”
“Sebuah kalimat sederhana, dan mendalam. Dari situ sangat tampak betapa rakusnya penduduk di negeri itu.”
“Di sini kita tak pernah mendengar kalimat seperti itu, tidak pernah ada perintah, atau jargon, atau semboyan untuk ambil secukupnya. Kita selalu mengambil secukupnya, walau tak pernah disuruh itu.”
“Karena kita yakin, alam sudah menyediakan kebutuhan dari lahir sampai akhir.”
“Mengambil melebihi batas, untuk ditimbun sebagai kepuasan atau kebanggaan diri, hanya akan menjadikan rentetan masalah-masalah yang berujung bencana bagi bangsa sendiri.”
“Sebentar lagi republik akan ada pemilihan perdana menteri.”
“Itu yang paling aku khawatirkan, keturunan mereka sudah banyak yang berani bersuara. Permintaanya aneh-aneh, rakus dan manja.”
“Gampang galau, gampang menyalahkah keadaan, tidak mau koreksi diri sendiri dan mengasah kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan.”
“Suka melempar tanggung jawab, dan yang paling mengerikan, suka korupsi.”
“Astaga, bencana besar akan melanda negeri ini. Kalau masih bisa memilih, aku mending kembali ke masa lalu. Walau hidup dari makan yang ala kadarnya, tidak banyak varian makanan yang bisa kunikmati, tapi hidup bisa tentram tanpa kekhawatiran seperti ini.”
“Jangan-jangan menteri yang mengusulkan berbagai varian makanan dari bumi itu, juga keturunan orang bumi?”
“Bisa jadi. Mereka suka memanjakan lidah. Terutama yang para pemalas, bukan makan untuk hidup, tapi hidup untuk makan.”
“Satu lagi, mereka suka berdebat dan bertengkar hal yang tidak esensial. Mereka sangat rasis. Suka mempermasalahkan warna kulit dan mengutamakan fasilitas untuk yang punya kesamaan dengannya.”
“Kita sedang membahas mereka saat ini, bukankah juga rasis?”
“Tentu bukan, kita sedang tidak membahas mereka, tapi kita sedang khawatir akan masa depan negeri ini, kalau dipimpin oleh penguasa yang rakus dan mementingkan golongannya sendiri.”
“Betul, karena pemimpin dipilih untuk mengayomi semua, bukan untuk segelintir manusia yang punya kesamaan latar belakang saja.”
“Suka ngeyel, ya mereka suka ngeyel kalau berdebat soal keyakinan. Kalau sudah fanatik dengan satu tokoh A. Mereka akan bela mati-matian, menghalalkan segala cara agar bisa menang. Orang yang berbeda, akan dihujat habis-habisan, direndahkan, kalau perlu dibunuh karakternya dengan berbagai fitnah yang keji.”
“Itulah bedanya dengan penduduk asli sini, suka bekerja dan sedikit bicara. Tidak pernah ribut-ribut soal keyakinan. Hidup penuh kesederhanaan, tidak ambisi mencari kebanggaan dari kekayaan dan kekuasaan. Leluhur kita mengajarkan, orang yang punya derajat tinggi adalah mereka yang bisa memanfaatkan apa yang ia punya untuk jalan kebaikan.”
“Seperti aku bukan, hehehe. Sore ini aku bawakan kentang, memang hanya kentang yang aku punya untuk berbagi. Untuk besok aku tak khawatir, tinggal pergi ke ladang, kuambil secukupnya untuk dimakan sehari. Jika aku sakit, aku tinggal datang ke rumah sakit, tak perlu khawatir karena semua biaya sudah ditanggung republik.”
“Aku pun begitu, aku hanya punya kopi. Kubuatkan kopi untukmu. Hidup untuk berbagi. Tanpa merasa ada yang lebih tinggi. Semua mengabdi di jalan masing-masing, mengumpulkan kebaikan untuk bekal di alam abadi.”
“Semoga saja yang kita khawatirkan tidak terjadi, semoga negeri ini tak dikuasai keserakahan dan kerakusan.”
“Semoga tidak semakin banyak pendatang asing yang masuk negeri kita, yang bisa merusak budaya yang sudah baik adanya. Semoga Tera Infinita tetap terjaga, dan tetap banyak yang menganggap peta itu hanya fiktif belaka.” ***
.
.
Fileski Walidha Tanjung. Lahir di Madiun pada 21 Februari 1988, adalah seorang penulis, musikus, penyair, dan pendidik yang mengajar di SMAN 2 Madiun. Dikenal melalui karya puisi, prosa, dan esai yang terbit di berbagai media massa.
.
.
Tak Lama Matahari Singgah di Sini. Tak Lama Matahari Singgah di Sini. Tak Lama Matahari Singgah di Sini. Tak Lama Matahari Singgah di Sini. Tak Lama Matahari Singgah di Sini. Tak Lama Matahari Singgah di Sini. Tak Lama Matahari Singgah di Sini. Tak Lama Matahari Singgah di Sini.
Leave a Reply