Cerpen, Kompas, Mashdar Zainal

Selilit

Selilit - Cerpen Mashdar Zainal

Selilit ilustrasi Laksmi Shitaresmi/Kompas

4.6
(16)

Cerpen Mashdar Zainal (Kompas, 27 April 2025)

APA yang dialami Sadewo dua belas jam terakhir mengingatkannya pada malam itu. Malam ketika Isnani terbahak-bahak di antara entakan bas lagu campursari yang menggetarkan kaca-kaca jendela. Lalu malaikat maut datang dalam wujud sate kambing.

Malam itu, sepasang mempelai berdiri kelelahan menyambut tamu yang datang seharian. Aneka hidangan berjajar di atas meja prasmanan. Sisa-sisa makanan dan bekas tusuk sate menggunung di atas piring-piring kotor. Orang-orang mengobrol dalam kerumunan-kerumunan kecil. Dan malaikat pencabut nyawa—yang kehadirannya tidak disadari siapa pun—yang melayang-layang mengutuk hiruk-pikuk suara gendang.

Malam itu, setelah orang-orang kekenyangan oleh makanan dan obrolan dan suara gendang, suara-suara menjadi riuh rendah. Lagu campursari terus berbunyi, seperti sosok cerewet, pantang mati. Saat orang-orang mulai kehabisan bahan obrolan, tiba-tiba Isnani meraung sambil membekap mulutnya sendiri. Mulut Isnani jelas menerbitkan darah. Telapak tangannya merah. Suara-suara masih riuh rendah.

“Isnani kenapa?” tanya seseorang.

“Dia bilang, mulutnya kena tusuk sate!” jawab yang lain.

“Kok bisa!”

Isnani terus memegangi mulutnya. Beberapa menit berselang, Isnani tersungkur dari kursinya. Masih dalam keadaan sadar. Tidak pingsan. Matanya mengerjap-ngerjap, lalu mendelik. Mengerjap-ngerjap lagi, lalu mendelik lagi.

“Matikan soun-nya! Soun-nya matikan!” salah seorang memekik.

Lagu campursari berhenti. Jendela-jendela kaca tidak bergetar lagi. Empat orang menggotong Isnani ke dalam rumah. Suara-suara masih riuh rendah. Tuan rumah mengambilkan air mineral, menusuknya dengan sedotan, menyodorkannya ke Isnani, tapi Isnani sudah tidak berkutik. Hanya matanya yang mendelik.

“Is! Is! Sadar, Is! Nyebut, Is!”

Orang-orang panik. Mata Isnani masih mendelik. Detik menunggangi detik. Sampai seseorang mengucapkan kalimat tarjik. Innalillahi…. Disusul yang lain. Silih berganti. Suara-suara semakin sepi.

Di sisi lain, di atas puadai, kedua mempelai yang mulai kuyu masih saja menyalami beberapa tamu yang datang terlambat. Mata mereka tak nyaman dan terus mencuri pandang ke arah kerumunan. Bagaimanapun, pesta masih dan akan terus berlangsung. Yang pergi biarlah pergi. Siapa yang bisa menghentikan orang mati?

Malam itu Sadewo pulang terlambat. Masih tak percaya kalau Isnani sudah mati. Antara satu jam sebelum malaikat maut menarik rohnya, Isnani masih tertawa terbahak-bahak dengan mulut dipenuhi daging kambing. Isnani berbisik kepada Sadewo, bumbu satenya enak, tapi dagingnya sealot sabut kelapa. Mereka terbahak-terbahak. Isnani mengeluh, satu-satunya hal setelah kolesterol, yang membuatnya enggan makan sate, adalah setelah makan giginya selalu dipenuhi selilit. Bahkan, Isnani sempat berkelakar, mungkin akan menyenangkan kalau Tuhan menciptakan gigi manusia tanpa sela sehingga manusia tidak perlu selilitan kalau makan daging. Sadewo menanggapi dengan bijak, dia bilang, Tuhan menciptakan bentuk gigi manusia seperti itu sudah paling sempurna. Kalau gigi diciptakan tanpa sela, manusia hanya akan punya dua gigi, satu gigi atas dan satu gigi bawah. Kalau salah satu gigi—entah atas entah bawah—copot, maka akan copot sekaligus. Kalau gigi atas dan gigi bawah copot dua-duanya, manusia akan langsung ompong perot, tak peduli berapa usianya. Isnani dan Sadewo terbahak-bahak sampai keluar air mata. Iya juga, ya, sahut Isnani. Tentu itu lebih mengerikan dari selilit.

Baca juga  Kota Ini adalah Sumur

Ketika Insani memungut sebatang tusuk sate dan mulai membersihkan selilit di giginya, Sadewo berpaling untuk mengobrol dengan rekannya yang lain, sampai tiba-tiba Isnani meraung kesakitan membekap mulutnya sendiri.

Beberapa rekan Sadewo yakin, Isnani yang punya keluhan kolesterol mati sebab terlalu banyak makan daging kambing. Sementara, yang lain bilang, Isnani mati sebab kecocok tusuk sate. Apa pun itu, yang pasti Sadewo dan rekan-rekannya sepakat, jatah umur Isnani memang sudah habis, sebagaimana jatah rezekinya. Proyek pembangunan jalan layang yang dipegang Isnani otomatis lepas. Dan siapa sangka, proyek itu diestafetkan kepada Sadewo sebagai penanggung jawabnya. Ada sedikit drama perihal relokasi permukiman warga. Satu-dua warga menjadi keras kepala, tak mau rumahnya dipindah, meski dijanjikan ganti rugi yang layak. Sadewo selalu menyebut warga-warga keras kepala itu sebagai selilit. Selilit yang selalu mengganggu dan membuat tidak nyaman. Sebab itu, selilit mesti dicungkil. Dan Sadewo berhasil mencungkil paksa selilit-selilit itu hingga proyek jalan layang itu berjalan mulus. Sebab, proyek itulah Sadewo bisa membeli mobil sport yang agak pantas dibawa ke mana-mana. Sementara selilit-selilit itu, Sadewo sudah melupakannya. Tidak ada orang yang mengingat selilit.

Semalam, di sebuah hotel bintang lima, saat menghadiri rapat perdana proyek pembangunan Patung Garuda Raksasa yang rencananya akan dibangun di jantung kota, Sadewo menandaskan semangkuk es manado, sepiring kecil lupis gula aren, sepiring besar steak, dan senampan kecil puding sebagai pencuci mulut. Selilit di gigi Sadewo muncul sejak kunyahan daging pertama, semakin banyak daging yang dia kunyah, selilit yang nyangkut di giginya semakin banyak. Namun, Sadewo tidak memedulikannya. Bahkan, saat Sadewo menyantap puding pencuci mulut, seleilit itu masih saja dia abaikan.

Seusai menenggak segelas air putih, mengelap mulutnya dengan tisu, Sadewo mengambil tusuk gigi dan mulai membersihkan selilitnya perlahan-lahan dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain menutupi mulut demi kesopanan. Selilit itu mulai lepas satu per satu. Namun, pada beberapa bagian—terutama di antara geraham dalam—masih ada yang nyangkut. Susah dibersihkan. Untuk menuntaskannya, Sadewo pergi ke toilet dan berkumur di depan wastafel dan cermin besar. Beberapa selilit terlepas. Namun, masih ada satu di pangkal geraham, terasa sekali. Sadewo membuka mulutnya lebar-kebar di depan cermin, dan tentu saja selilit itu tidak tampak. Hanya terasa sangat mengganjal. Membuat giginya mulai ngilu.

Baca juga  Dua Laki-Laki

Sepanjang perjalanan pulang, lidah Sadewo tak berhenti bergerak, berusaha membersihkan selilit yang masih tersisa, tetapi nihil tanpa hasil. Sampai di rumah, dia menggosok giginya sampai berdarah, tetapi benda kecil yang menyumpal salah satu sela gerahamnya terasa semakin tebal. Sadewo sudah mandi dan ganti dengan piama, tetapi dia tidak segera mapan di ranjang. Dia malah kembali ke toilet dan berdiri di depan wastafel. Dia kembali mencongkel-congkel gerahamnya dengan tusuk gigi, lalu berkumur-kumur, dan terus menggerak-gerakkan lidahnya sampai pegal. Namun, gangguan di sela geraham tak juga hilang. Hal itu membuatnya sangat jengkel. Dia tak pernah sejengkel ini dengan mulutnya sendiri.

Saat balik ke kamar, Sadewo tak juga merebahkan tubuhnya di ranjang, dia malah duduk di depan meja rias istrinya, menatap bayangan dirinya dalam cermin.

“Mulutnya kenapa tho, Pak?” Istri Sadewo bertanya dengan malas, saat melihat Sadewo mangap-mangap di depan cermin.

“Ini lho! Selilitan sejak tadi gak hilang-hilang.”

“Sikat gigi, kumur-kumur,” istrinya menyarankan sambil menarik selimut.

Entah kenapa, suara istrinya itu tiba-tiba terdengar sangat menjengkelkan. Sadewo mengatupkan gerahamnya kuat-kuat sampai muncul suara gemeretak, lalu kembali mengangakan mulutnya, dan memasukkan jari-jarinya ke pangkal geraham yang mengganjal. Jari-jari itu terus bergerak. Geram. Seperti linggis yang hendak memberengkal gigi-gigi sialan yang menyusahkan. Andaikata jari-jarinya punya mata.

Jari-jari mungkin memang diciptakan bukan untuk selilit. Satu-satunya benda yang diciptakan untuk selilit adalah tusuk gigi. Mungkin dia butuh tusuk gigi lagi. Pada saat memikirkan tusuk gigi, mata Sadewo menatap sebuah jarum pentol di meja rias istrinya. Siapa yang tahu, mungkin jarum pentol juga diciptakan untuk selilit gigi. Tanpa pikir panjang, masih dengan hati dongkol, Sadewo memungut jarum itu dan mulai membersihkan giginya. Aku bisa mengendalikan jariku sendiri, batinnya. Dia terus menatap bayangan di cermin, mulutnya yang menganga, jarinya dengan senjata, serta gigi-gigi buruk yang berderet.

Baca juga  Perkutut

Andaikata gigi-gigi tak punya sela. Oh, andaikata gigi-gigi tak punya sela. Pada saat itu, tiba-tiba Sadewo teringat Isnani. Pada saat itu pula Sadewo merasakan nyeri yang sangat di antara gusi dan gerahamnya. Jarum itu salah bekerja. Sadewo merasakan asin darah di mulutnya. Dia kembali ke depan wastafel dan berkumur-kumur. Namun, darah itu terus keluar. Menyebarkan asin ke seluruh rongga mulut.

Sadewo mulai menyerah. Ingatannya tentang Isnani dan tusuk sate memberinya perasaan janggal. Sadewo benar-benar menyerah, sebab asin di mulutnya tak juga enyah. Dengan tubuh kuyu Sadewo merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menelan asin di mulutnya.

“Sudahlah, ini hanya selilit gigi,” gumam Sadewo yang mulai lelah dan mengantuk. Sadewo yakin, selilit itu masih ada di sela gerahamnya. Sadewo percaya, dia akan segera jatuh dalam tidur paling menggelisahkan.

Pagi hari, saat terbangun, Sadewo mendapati pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Seolah, semalaman tubuhnya jadi bulan-bulanan. Dan yang paling mengerikan adalah dia merasakan ngilu luar biasa di antara gusi dan gerahamnya. Dia merasakan, sesuatu memenuhi mulutnya. Perasaan ganjil itu kembali menggerayanginya.

“Apakah selilitan bisa membuat seseorang mati?” dengan mulut ngilu Sadewo bertanya. Matanya mengerjap-ngerjap, seperti memastikan sesuatu.

Istrinya yang sudah duduk di depan meja rias melongok keheranan, menatap Sadewo, “Mulutmu kenapa, Pak? Sepertinya bengkak.”

Sadewo enggan menjawab sebab mulutnya terlampau ngilu untuk digerakkan.

“Mungkin itu harus diperiksakan, Pak! Coba sini lihat! Aduh, Pak, kok bisa!” Istri sadewo menatap ngeri. Sadewo bangkit tertatih, mendekati cermin meja rias.

Sadewo bergidik menatap bayangan wajahnya, bengkak di mulutnya membuat wajahnya tampak aneh. Mulutnya tak lagi tampak seperti mulut manusia, melainkan moncong binatang. ***

.

.

Malang, 21 April 2025

Mashdar Zainal, lahir di Madiun, 5 Juni 1984, penyuka prosa. Buku terbarunya Musim di Rambut Ibu, Penerbit Buku Kompas, 2024. Kini bermukim di Malang.

Laksmi Shitaresmi, perupa kelahiran Yogyakarta 1974. Sejak tahun 1988 sampai sekarang sudah ratusan kali terlibat pameran seni rupa, baik di dalam maupun luar negeri. Termasuk di dalamnya beberapa kali pameran tunggal. Ia pernah mengikuti program residensi di Aronskelkwek, Den Haag, Belanda (2013).

.
.
Selilit. Selilit. Selilit. Selilit. Selilit. Selilit. Selilit. Selilit. Selilit. Selilit. 

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 16

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!