Cerpen, Indra Tranggono, Koran Tempo

Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis

Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis - Cerpen Indra Tranggono

Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4.6
(5)

Cerpen Indra Tranggono (Koran Tempo, 03 Mei 2025)

TUBUH Blutus tak bisa bergerak. Terasa ada ribuan serangga yang merayap dan menggerogoti saraf-sarafnya. Kaki-kaki serangga itu mengentak-entak. Tubuh Blutus terasa dirajam paku-paku runcing, hingga ia kesakitan dan terguling-guling.

Dengan mata tak berkedip, Blutus menatap istrinya yang tak henti-henti menangis. Suara tangis itu memberinya penghiburan sekaligus tanda cinta dan kesetiaan. Blutus ingin istrinya terus menangis karena setiap sedu sedan dan tetes air mata bisa meringankan penderitaannya.

Dengan tatapan mata, Blutus terus meminta istrinya menangis. Keras dan makin keras. Istrinya tanggap. Ia pun menangis sekeras-kerasnya. Tangisan itu terus diulang-ulang hingga suaranya jadi parau. Tangisan parau justru membuat Blutus makin senang karena rasa sakitnya jadi semakin berkurang. Maka, Blutus pun terus meminta istrinya menangis.

“Aku capek!” jerit Magada, istri Blutus.

“Cinta tak kenal lelah, sayangku,” Blutus mendesis.

“Kamu bisa cari obat! Atau minta tolong tabib….”

“Serangga-serangga dalam tubuhku tak takut pada tabib, dukun, dokter, dan orang sakti sekalipun. Mereka hanya segan kepada kamu, Magada. Maka teruslah kamu menangis….”

“Air mataku sudah habis. Sudah kering.”

“Jadi?”

“Ya tunggu sampai aku punya air mata lagi….”

“Bukankah penderitaanku bisa mendorong kamu menangis? Tolong kamu lebih dalam lagi menghayati deritaku….”

“Blutus sayang, masa sakitmu yang terlalu lama telah menggerus penderitaanku. Semula penderitaan itu sangat sakral dan indah, tapi lama-lama jadi makanan sehari-hari yang membosankan. Aku bahkan mulai tertekan dan ingin selalu marah.”

Blutus tertohok. Ulu hatinya terasa nyeri. Ia sama sekali tak menyangka ucapan tajam itu berkelebat dari mulut istrinya. Mendadak Blutus merasakan asam lambungnya naik menekan ulu hati, lalu bergerak ke dada. Ada tekanan kuat yang mengganjal jantungnya.

Magada buru-buru memberikan pertolongan. Bagian ulu hati Blutus pun ia tekan dengan jari-jarinya. Diurut dari atas sampai ke bawah. Beberapa saat kemudian, Blutus merasa rasa sesak itu berkurang dan ia pun bisa bersendawa. Wajah Blutus tak lagi pucat pasi.

“Terima kasih. Engkau telah menyelamatkan nyawaku untuk yang ke-37 kali….” Blutus menatap istrinya, penuh rasa kagum.

“Eh, bukannya yang ke-45 kali?” goda Magada dengan tawa berderai, “Aku siap kok menyelamatkan nyawamu lagi untuk yang ke-100 kali, ke-1.000 kali. Yang penting kamu tidak mati….”

Baru kali ini Blutus tertawa. Ia sendiri takjub kepada dirinya. Ternyata ia masih bisa tertawa.

Baca juga  Daun Jendela yang Menghadap ke Utara

“Tolong ajari aku tertawa….”

“Ya tertawa saja,” ujar Magada sambil tertawa.

Blutus mencoba tertawa. Tapi tak bisa. Mulut dan bibirnya hanya bergerak-gerak, tanpa suara. Dia merasakan ribuan serangga yang merayap dalam tubuhnya itu menghajar saraf dan otaknya. Mereka mengeroyok, menggigit, hingga menimbulkan rasa sakit yang tak terbayang. Blutus pun tumbang. Istrinya menjerit histeris.

***

DINI hari ketika embun memeluk bumi, Blutus terbangun. Kamarnya dirasakan berubah jadi ruang gudang tua. Serba remang, kumuh, dan kotor. Dinding-dindingnya retak-retak. Pilar-pilar kayu tampak doyong. Hampir seluruh ruang itu dipenuhi sarang laba-laba.

Ketika Blutus melihat lantai, ia menjumpai belasan ular melata. Juga banyak kalajengking yang merayap di dinding-dinding. Suasana semakin tidak nyaman ketika bau bacin menguar dari seluruh pori ruang.

Jantung Blutus berdetak cepat. Rasa takut, cemas, panik campur aduk mendorong keringat dinginnya keluar membasahi seluruh tubuhnya.

Ia mencoba berteriak memanggil istrinya. Namun teriakan itu hanya membentur dinding-dinding. Untuk membesarkan hatinya, ia mencoba meyakini kalau semua peristiwa itu hanya terjadi dalam mimpi buruknya. Maka, ia pun memaksakan diri tidur.

Namun, mripat-nya tak bisa dipejamkan. Ia bahkan kaget dan ketakutan ketika sepasang ular piton mendekati dan hendak membelitnya. Blutus berdiri. Berusaha mengusir dua ular itu dengan nyalinya. Kakinya menendang dua reptil itu hingga jatuh ke lantai. Dua ular itu pun menggeloyor dengan wajah kecewa.

Penderitaan Blutus belum selesai. Muncul beberapa pasukan ketonggeng dan kalajengking menyerangnya. Blutus tak kuasa melawan. Kini seluruh tubuhnya itu dipenuhi kalajengking dan ketonggeng. Mereka berpesta pora menyengat tubuh Blutus.

Pesta pora itu baru berhenti ketika seorang perempuan tua berambut panjang putih muncul. Ia memberikan isyarat dengan tangannya. Rombongan kalajengking dan ketonggeng itu pun ngeloyor pergi dengan penuh rasa hormat.

“Siiiaaapppaaaa… kisanak?” Blutus membuka suara.

“Aku bukan siapa-siapa. Namaku Kesunyian….”

“Kesunyian? Kok aneh?”

“Ya, aku memang terbuat dari kepingan-kepingan kesunyian….”

“Apa kamu hantu? Dedemit? Lelembut?”

Perempuan itu menggeleng. Bibirnya tersenyum. “Aku hanyalah kesunyian. Tak lebih.”

“Di mana kamu tinggal?”

“Di dalam lubuk jiwamu….”

Blutus tersengat. Ia lalu memeriksa tubuhnya. Tak ada yang aneh. “Kamu bohong!” sergah Blutus.

“Kesunyian itu tak bisa bohong karena ia tak punya hasrat dan hawa nafsu. Ia abadi karena selalu melekat dalam roh. Dan roh tak bisa mati.”

Baca juga  GoKill

“Lalu apa pedulimu mendatangi aku?”

“Aku tak mendatangimu. Kita datang bersama di tempat ini.”

“Kenapa kita datang di tempat ini?”

“Kenapa kita datang di tempat ini?”

“Jawablah.”

“Jawablah.”

“Kamu tak punya pendapat selain menirukan aku?”

“Kamu yang paling berhak menjawab karena ini semua adalah urusanmu. Bukan urusanku.”

“Tapi kenapa kamu mengikutiku?”

“Aku tidak mengikutimu, tapi selalu bersamamu….”

Blutus mulai kesal. Ia ingin menghajar perempuan tua itu, tapi nyalinya selalu mengerut setiap kali ia hendak memukul atau menendangnya.

“Baik. Sekarang katakan kenapa aku sakit dan tidak sembuh-sembuh? Apa aku kena guna-guna? Dikutuk Tuhan? Atau?” Napas Blutus terengah-engah. Ia tak sabar mendapatkan jawaban.

Perempuan bernama Kesunyian itu tersenyum. “Tak ada sakit kecuali kamu sendiri yang menginginkannya…,” ucapnya lirih tapi tegas.

“Aku tak pernah punya cita-cita untuk sakit. Aku ingin selalu sehat dan segar agar bisa bekerja keras untuk kaya….”

“Kamu sudah sangat kaya. Tapi tak pernah merasa cukup. Itulah penyakitmu. Kamu mengira harta yang kamu kumpulkan itu bisa jadi kereta kencana yang membawamu ke dalam kebahagiaan. Kamu merasa seluruh kehormatan yang kamu dapat dari banyak orang adalah busana yang terbuat dari cahaya. Ketika kamu memaksakan diri meyakini itu semua sebagai kebenaran, jiwamu meronta. Sakit. Seluruh hartamu pun berubah jadi ribuan atau bahkan jutaan serangga yang menggerogoti saraf-saraf dan jiwamu….” Perempuan bernama Kesunyian itu menatap tajam wajah Blutus. Blutus tak kuasa disengat sinar mata perempuan itu.

Keheningan menguasai ruangan. Tapi tak lama. Mendadak muncul pemandangan yang aneh. Ada ribuan tangan, kaki, kepala, perut melayang menyambar-nyambar kepala Blutus. Blutus menjerit. Ia ingin meloncat dari ranjang dan berlari, tapi kakinya beku.

“Usir mereka. Usir mereka! Usiiiirrrr!” teriak Blutus.

Perempuan bernama Kesunyian itu tersenyum. “Bagaimana bisa diusir, mereka itu muncul dari dalam perutmu….”

“Apa? Perutku? Perutku tidak luka. Tidak robek….”

“Mereka sudah jadi energi. Mereka lebih lembut dari kristal yang maha lembut….”

“Siapa mereka? Kenapa mereka mengejar aku?”

Perempuan bernama Kesunyian itu kembali tersenyum.

“Kenapa diam?”

“Kamu siap mendengar jawabanku?”

Blutus diam. Mengatur napas. Meredakan degup jantungnya hingga normal. Ia lalu mengangguk.

“Sekarang katakan, siapa mereka,” ujar Blutus lirih.

“Mereka itu orang-orang yang selama ini kamu lukai, kamu sakiti. Hak mereka kamu rampas. Kamu pura-pura jadi pemimpin, tapi sejatinya tak lebih dari penguasa yang selalu merasa tidak pernah ikhlas melihat orang-orang lemah itu sedikit bahagia. Piring mereka kamu tendang dan kamu tega menjumputi butiran-butiran nasi dan serpihan ikan asin mereka….”

Baca juga  Keroncong Cinta

Blutus kembali tersengat. Dadanya terasa nyeri. Kepalanya terasa pusing. Oleng. Seluruh ruangan dirasakan gelap. Pekat. Blutus tumbang berderak. Selebihnya hanyalah suara sirene mobil ambulans yang meraung-raung.

***

SELANG infus menancap di tangan Blutus. Mata Blutus mengerjap-ngerjap dan ia terbangun ketika hidungnya menghirup bau parfum perawat. Perawat itu tampak cantik. Segar.

“Silakan Bapak istirahat. Kalau ada apa-apa, tekan bel ini ya, Pak,” ujar perawat sambil pergi.

“Sebentar, Nona. Bisakah kita ngobrol?”

“Ah, Bapak. Apa sih yang mau diobrolin?”

“Adik ini tampak melankolis. Pasti pintar menangis. Bener kan?”

Wajah perawat itu tampak terlipat.

“Dik, tolonglah saya…. Saya butuh tangismu…. Ayo menangislah… agar seluruh rasa sakitku ini reda,” Blutus mengiba-iba.

“Maaf, Pak, sejak bayi aku tidak pernah menangis. Bahkan aku tidak tahu caranya menangis. Aku pun sangsi apakah aku ini punya air mata. Aku juga tidak tahu apa itu suka dan duka. Semuanya biasa. Datar-datar saja,” ucap si perawat.

Blutus terhenyak. Ia menatap lekat-lekat perawat itu. Wajah perawat yang semula segar itu pelan-pelan mengerut. Makin lama kerutan itu bertambah banyak. Tumpang tindih. Lalu rambutnya yang semula hitam, pelan-pelan berubah jadi putih hingga ia pun bermahkota uban.

Wajah perawat yang cantik itu pun berubah menjadi wajah perempuan bernama Kesunyian yang pernah menemuinya di ruang kegelapan bersama ular, ketonggeng, kalajengking, dan serangga-serangga.

Blutus ingin menjerit, tapi lidahnya kelu dan mulutnya terasa tercekat. Ia hanya bisa mendengar jeritan orang-orang yang menghajar gendang telinganya. Suara jeritan itu sangat ia kenal karena mereka selalu hadir dalam mimpi buruknya. ***

.

.

Indra Tranggono. Penulis cerpen dan esai kebudayaan. Empat kumpulan cerpennya yang sudah terbit adalah Sang Terdakwa, Perempuan yang Disunting Gelombang, Iblis Ngambek, dan Menebang Pohon Silsilah.

.
.
Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis. Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis. Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis. Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis. Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis. Lelaki yang Mengaku Tak Bisa Menangis.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Anonymous

    Cerpen yang mengasyikkan

  2. saya menyukai cerpen ini, terutama metafora dan personifikasinya

Leave a Reply

error: Content is protected !!