A Warits Rovi, Cerpen, Solopos

Pelajaran Menaklukkan Buaya

Pelajaran Menaklukkan Buaya - Cerpen A Warits Rovi

Pelajaran Menaklukkan Buaya ilustrasi Hengki Irawan/Solopos

3
(1)

Cerpen A Warits Rovi (Solopos, 03-04 Mei 2025)

AKU di tengah jembatan bambu saat di seberang sungai orang-orang berteriak. “Hati-hati, ada buaya di bawah ujung jembatan. Lebih baik mundur.” Orang-orang yang sedang menapak jembatan bambu reot itu — termasuk aku — langsung panik.

Bambu rapuh yang cuma berjajar tiga itu jadi bergetar-getar. Mengerikan. Terlebih setelah coba kuamati keadaan di bawah ujung jembatan seberang, dua ekor buaya terlihat mengambang, sekadar menampakkan permukaan tubuh mereka. Sesekali mulut mereka menganga.

Jembatan kian bergoyang-goyang karena orang-orang berdesak mundur dalam keadaan panik. Mereka melintas tubuhku dalam keadaan berimpitan satu demi satu.

Tali pegangan ala kadarnya yang terbuat dari pilinan kulit kayu pun bagai didera badai. Berjalan di jembatan itu bukan perkara mudah. Harus tertatih. Mengancam nyawa. Itu karena bambu yang dijadikan jembatan hanya bertopang dengan tali seadanya, pada dahan-dahan kayu yang ada di tepi sungai. Sedang di bagian tengah, diikat tergantung pada tali tambang yang bagian permukaannya sudah putus-putus. Jika terjatuh, meski tak ada buaya sekali pun, arus sungai yang deras pasti akan mengantar siapa pun ke tangan maut.

Aku mencoba tenang, bertahan dengan menambah kekuatan pegangan sambil menahan map berisi buku rapor siswa agar tak jatuh ke sungai. Sebentar aku menoleh ke arah matahari. Lalu kutoleh jam tangan: pukul 07.13. Anak-anak sudah pasti menungguku untuk menerima rapor. Dan bisa kupastikan mereka menunggu sambil bergurau dengan suara gaduh dan nyaring di dalam atau di luar kelas yang tentu saja mengganggu kelas lain. Aku ingin segera tiba di sekolah. Tapi…

“Hei! Jangan keras kepala! Sayangi nyawamu. Ayo mundur!” teriak seorang lelaki menunjukku.

“Aku tahu kamu seorang guru yang ingin segera sampai di sekolah. Tapi, untuk saat ini, jangan gadaikan nyawamu dengan maut jika masih sayang pada muridmu.”

Lelaki lain di seberang meneriakiku sambil menyatukan telapak tangan dalam posisi miring di sisi mulutnya sehingga tampak seperti corong toa, mungkin agar suaranya nyaring jelas ke pendengaranku. Aku berusaha mundur, tertatih, dan gemetar. Tak kusangka map berisi rapor yang kupegang meluncur jatuh ke bawah – menimpa arus hingga timbul tenggelam. Aku tiba-tiba seperti tak punya daya melihat map itu; tugasku ludes sia-sia.

“Eiiii!! Eiiii! Bahaya!” suara gaduh orang-orang yang berderet di tepian semakin nyaring. Ternyata seekor buaya yang semula di tepi bergerak cepat ke tengah sungai, tepat di posisi bawah tubuhku yang masih tertatih di jembatan.

Dengan sigap, moncong buaya itu mengangkat map dari air dan dibiarkan begitu saja di atas moncongnya itu sambil lalu perlahan balik berenang ke tepi. Sampai di tepi, ia mengibaskan moncongnya dengan maksud melempar atau tepatnya menyelamatkan map itu ke tepi sungai bagian atas.

Baca juga  Oma Tina

Pikirku, ternyata buaya itu tak begitu buas. Aku bimbang, antara terus mundur atau lanjut. Beruntung tiba-tiba aku teringat mantra buaya yang diajarkan Ki Silo seminggu lalu. Aku membacanya sambil melanjutkan langkah menyeberang. Orang-orang berteriak melarang dengan beragam hujatan, namun aku terus beranjak maju. Nyatanya, dua ekor buaya itu juga beranjak pergi meninggalkan tepian sungai.

Orang-orang tercengang dengan kejadian yang ajaib itu. Nyaris setiap mata memandangiku seolah aku pawang rahasia yang bisa menundukkan keganasan buaya. Mungkin karena mantra yang diajarkan Ki Silo di teras rumahnya, saat tanggal ganjil bulan Hijriah. Mantra yang tak kupahami, tapi kuhafal dan kurasakan manfaatnya.

Akhirnya aku memungut map kesayanganku. Mengeluarkan semua isinya yang sudah basah dan nyaris robek. Segera kuambil HP, menelepon kepala sekolah agar pembagian rapor ditunda besok. Tapi, aku baru sadar, di dusun ini tak ada sinyal sama sekali. Terpaksa aku melanjutkan perjalanan menuju sekolah, melintas jalan setapak penuh rumput, kadang menanjak, kadang menurun.

Ada juga jalan yang kering dan yang berlumpur, ada yang dipenuhi batu, serta ada yang dipenuhi duri. Di kanan-kiri jalan ada semak dan pohon rimbun lain yang tak jarang mengirim hewan-hewan liar, seperti ular, kelabang, dan kalajengking.

Mungkin banyak yang tidak percaya: rapor yang kubawa basah dari tepi sungai, sampai di sekolah kondisinya sudah hampir kering. Itu karena saking lamanya perjalanan. Saat tiba di sekolah, waktu sudah pukul sembilan. Sekilas, kelas IV kulihat sepi. Aku menduga mungkin anak-anak sudah di ruangan dalam kondisi tenang. Setelah sebentar ke kantor untuk pamit mengedarkan rapor, Pak Rizki dengan cepat memberi informasi bahwa siswa kelas IV masih ke rumah temannya yang meninggal.

“Siapa yang meninggal, Pak?”

“Wildan, Bu.”

“Wildan? Innalillah, meninggal karena apa, Pak?”

“Sebelah kakinya disantap buaya tadi pagi saat hendak pergi ke sekolah ini.”

Aku terkejut. Gemetar. Nyaris tak punya energi. Rapor yang kubawa terlepas begitu saja ke lantai.

***

Setiap kali mengingat kesulitan dan ancaman bahaya di pelosok ini, aku kadang berpikir untuk berhenti mengajar — lebih baik pulang kampung dan berbisnis bersama keluarga. Tapi, naluri seorang guru tak boleh spekulatif dan hanya mementingkan dirinya seperti itu. Aku harus sabar dan tangguh.

Baca juga  Mek Mencoba Menolak Memijit

Seiring berjalannya waktu, jumlah korban keganasan buaya bertambah, nyaris tiap minggu selalu ada korban. Banyak warga, orang tua, dan anak-anak yang waswas keluar rumah. Banyak siswa seberang yang tidak masuk sekolah.

“Bu! Coba ajari saya cara menaklukkan buaya,” pinta Sahib padaku saat kelas sedang sepi.

“Betul, Bu. Kini kami lebih butuh ilmu itu daripada ilmu yang diajarkan di buku,” sambung Iqon.

“Kami sekolah sebenarnya butuh ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan kami agar bisa bertahan. Salah satunya ya ilmu menaklukkan buaya,” celetuk Ari.

Aku terdiam. Agak lama. Terus terang pertanyaan-pertanyaan polos siswa itu bagiku lebih sulit daripada memecah soal rumit Matematika, tapi di satu sisi, guru memang harus memberikan solusi.

“Baiklah, izinkan Ibu berpikir tepat untuk mencari ilmu yang kalian maksud itu. Selambat-lambatnya besok semoga aku sudah bisa mengajarkannya pada kalian,” jawabku kemudian di tengah-tengah buntunya pikiran mencari cara.

Keesokan harinya, anak-anak itu sepertinya mengabarkan pelajaran menghadapi buaya kepada warga. Di luar kelas, banyak orang yang berdiri sambil menampakkan kepala mereka di jendela. Kata Sahib, mereka sengaja datang ke sekolah ini demi mendapat ilmu menghadapi buaya yang akan kuajarkan. Aku menggeleng-gelengkan kepala: antara lucu dan haru.

Setelah memanggil salam, aku pun langsung masuk ke materi inti, cara ampuh menaklukkan buaya. Dengan jujur kujelaskan bahwa ilmu jenis ini tidak ada dalam mata pelajaran.

“Justru ilmu ini berasal dari tetua dusun ini,” ungkapku sambil berdiri di tengah-tengah kelas. Anak-anak saling pandang. Orang-orang di luar kelas semakin berdesak-desakan supaya bisa mendapatkan ilmuku.

“Ilmu apa itu, Bu?” tanya Ari.

“Ini hanya mantra.”

“Mantra?” nada tanya keras dan lirih terdengar dari bibir siswa dan orang-orang yang berdesakab di jendela. Mereka kembali saling pandang dengan tatap penuh rasa penasaran.

“Namanya mantra Tolak Liar. Ilmu ini kudapatkan dari Ki Silo.”

“Huuuuuuu!”

Spontan orang-orang yang ada di balik jendela bersuara huuuuu hampir bersamaan. Suara huuu dengan nada seperti itu di dusun ini biasanya sebagai ekspresi kekecewaan. Dan benar, wajah mereka tampak hambar, seperti tak suka saat mendengar nama Ki Silo. Mereka meninggalkan jendela dengan cepat, banyak yang sambil bisik-bisik.

Tak menunggu aku membaca mantra.

Sementara itu, anak-anak masih tetap fokus dan penasaran. Setelah orang-orang di jendela pergi, aku mengajari mantra yang dibacakan Ki Silo dengan lima kali pengulangan tak boleh ditulis kepada anak-anak dan mereka ternyata hafal semua. Wajah mereka berseri-seri —mungkin merasa tak takut lagi kepada buaya.

“Kalian tahu siapa itu Ki Silo? Dia kakek sakti yang tinggal di lereng Bukit Lembana. Sejak muda, ia sudah menundukkan puluhan buaya terbuas di dusun ini,” ceritaku pada anak-anak. Mereka mengangguk-angguk seperti salut.

Baca juga  Sangkar Madu

Pertemuan belum sempat kuakhiri, di luar ada kegaduhan berupa teriakan.

“Ada korban buaya lagi. Ada korban lagi.”

Aku dan anak-anak langsung keluar dengan dada berdebar tegang.

“Ya! Ada lagi korbannya. Megenaskan.”

“Siapa dia?”

“Ki Silo! Ki Silo mati mengenaskan dihantam buaya.”

Pyarr. Dadaku bagai tersambar petir. Tapi aku tidak percaya jika Ki Silo kalah pada buaya. Aku langsung menuju lokasi dengan jalan kaki sendirian untuk memastikan kabar itu.

Saat tiba di lokasi, ternyata kabar itu benar. Tubuh Ki Silo sobek separuh bagai dicincang dan berlumur darah. Anehnya, justru banyak warga yang bersorak ria melihat mayat Ki Silo.

“Hei mengapa kalian seperti bahagia melihat Ki Silo mati? Bukankah dia tetua ahli mantra buaya yang telah menyelamatkan banyak warga?” lantang suaraku penuh emosi.

“Hahaha, Ki Silo itu buaya, jadi kami sangat bahagia kalau buaya dimakan buaya.”

“Betul. Hahaha!”

Aku terdiam, menunduk, mencoba cermati apa yang warga katakan. Setelah kuingat-ingat, ternyata benar. Seminggu lalu saat dia mengajariku mantra, tangannya sempat menyentuh pahaku dan bergerak usil menuju daerah terlarangku. Beruntung segera kutepis.

Setelah ingat kejadian itu, aku lantas mengangguk. Menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Sepintas, aku kembali didera rasa putus asa dan ingin segera berhenti jadi guru. Namun, ada satu petuah bijak yang sempat terlontar dari Ki Silo, “Guru itu adalah orang tangguh, yang mampu menghadapi seribu jenis buaya, terutama buaya yang bersarang dari dalam dirinya sendiri.” ***

.

.

Gapura, 2025

A Warits Rovi. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel memenangi beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media. Buku cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020), “Bertetangga Bulan” (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangi Lomba Buku Puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura dan berkesenian di Sanggar 7 Kejora, juga di Komunitas Damar Korong.

.
Pelajaran Menaklukkan Buaya. Pelajaran Menaklukkan Buaya. Pelajaran Menaklukkan Buaya. Pelajaran Menaklukkan Buaya. Pelajaran Menaklukkan Buaya. Pelajaran Menaklukkan Buaya.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!