Ahmadun Yosi Herfanda, Cerpen, Koran Tempo

Cantrang

Cantrang - Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Cantrang ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

5
(2)

Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda (Koran Tempo, 10 Mei 2025)

HUJAN dan angin benar-benar marah. Perahu kami diayun makin keras, seperti dibanting-banting, serasa mau pecah. Seisi perahu merasa keder, khawatir ombak besar membalik perahu bermesin diesel 24 PK itu.

“Kita berlindung dulu di dekat pulau itu!” teriak kapten perahu. “Cuaca lagi tidak bersahabat!”

Perahu yang berisi seorang kapten, tiga awak, dan empat pemancing itu hanya bisa berlindung di pulau terdekat sambil menunggu ombak reda. Awak perahu segera mengangkat jangkar dan para pemancing cepat-cepat mengamankan peralatan pancing masing-masing.

Baru seekor ikan kue dan dua ekor barakuda yang kami dapat sebelum badai menyerang perahu kami. Benar juga, di sisi timur pulau kecil itu ombak jauh lebih reda, karena terhalang pulau. Perahu bisa menurunkan jangkar dengan aman, dan kami bisa mengail lagi.

Ketika fajar pagi mulai membayang di ufuk timur, angin dan hujan sudah mulai reda. Cuaca membaik. Kami, para pemancing, bersemangat kembali untuk berburu ikan kue dan tengiri. Bulan September begini sedang puncaknya musim kue, dan kadang-kadang juga masih banyak tengiri. Kapten perahu segera menghidupkan mesin.

“Kita kembali ke tengah. Cuaca sudah membaik!” kata seorang awak perahu, meneruskan ucapan sang kapten. “Kita ke rumpon agak di tengah. Mudah-mudahan masih banyak kue dan tengiri. Syukur kalau ada kakap merah nyasar,” sambungnya.

Mendengar kata kue dan tengiri, aku sudah membayangkan asyiknya kalau strike nanti. Apalagi kalau berat seekornya lebih dari lima kilogram. Tarikannya pasti sedap. Apalagi kalau bisa strike kakap merah, ikan paling mahal di pasar ikan domestik. Tarikan ikan kue dan tengiri juga bisa membuat pemancing ketagihan. Apalagi kue rambe yang besar. Pemancing dan ikan kue bisa adu kekuatan, adu daya tahan.

Jangkar pun ditarik, dan perahu bergerak makin ke tengah, mengarungi ombak yang lembut, dan nyaris tanpa angin. Di kanan-kiri perahu tampak laut biru keabu-abuan seperti karpet yang terhampar sangat luas. Sekitar dua jam kami menikmati kenyamanan berlayar di laut tenang. Angin sepoi-sepoi, yang ditimbulkan oleh laju perahu, menampar muka kami, membuat rambut dan ikat kepala kami berkibar-kibar.

Tiba-tiba ketegangan terjadi. “Hooi, rumpon kami jangan dirusak!” teriak awak perahu dari haluan, memecah keheningan. “Hai… hai…di situ ada rumpon kami! Jangan dirusak!”

Kami, para pemancing, terkejut mendengar teriakan itu dan menengok ke arah yang diteriaki. Rupanya ada kapal ikan besar yang bertengger di spot yang kami tuju. Kapal nelayan itu pasti berukuran di atas 100 GT. Tampak besar sekali, dengan peralatan tangkap ikan yang sangat lengkap. Tampak dua derek jaring pukat menjulang di kanan dan kiri buritan. Aku duga kapal itu memakai jaring cantrang yang sudah dilarang. Jaring yang dapat menyeret apa saja yang ada di dasar laut: ikan, kerang, cumi, terumbu karang, dan mengobrak-abrik rumpon.

Baca juga  Di Atas Tanah Retak

Yang diteriaki, mungkin karena sedang asyik menangkap ikan, seperti tidak menggubris teriakan itu. Jarak perahu kami dan kapal nelayan itu memang masih cukup jauh, sekitar 60 meter. Dalam keremangan cahaya pagi bayang-bayang kapal itu terlihat begitu besar, seakan siap menelan perahu kami yang hanya berdimensi 17 x 3 meter, atau sekitar 20 GT.

Tampak kapal itu menerjunkan beberapa penyelam dengan galah panjang dan menyodok-nyodok ke dalam air, ke arah rumpon kami, ke arah jaring cantrang yang masih terentang dengan tali pengikat besar agak jauh di kanan kapal. Sementara satu jaring tampak dikerek ke atas dengan berkuintal ikan yang tertangkap jaring. Jaring pukat itu menggelembung bulat besar, berisi ikan, dan apa saja yang terciduk di dasar laut.

Perahu kami terus mendekat. Sang kapten perahu kami tampaknya tak peduli perahunya kalah besar. Perahu kami menurunkan jangkar sekitar 40 meter di kanan kapal ikan yang bertuliskan “Hariman Jaya” itu. Ukuran kapal makin jelas, kira-kira lima kali lebih besar dari perahu kami.

Sudah menangkap sebegitu banyak ikan, mereka tampaknya belum puas. Masih ingin menghabisi apa saja yang ada di laut sekeliling kapal. Kapal itu masih menerjunkan beberapa penyelam dengan galah panjang ke laut. Dengan galah itu mereka menyodok-nyodok, mengobrak-abrik rumpon, dan menggiring semua ikan ke jaring yang masih direntang di laut.

“Sudah! Sudaaah…! Di situ ada rumpon kami. Jangan dirusak. Ikannya jangan dihabisin…!” teriak awak perahu lagi, masih dari anjungan.

Kapal ikan itu masih bertengger di tempatnya. Kaptennya tampak tak menggubris teriakan awak perahu kami. Lalu, entah apa yang bakal terjadi. Awak perahu bertubuh hitam kekar itu tiba-tiba meloncat ke laut, sambil membawa galah bambu, lalu berenang ke arah kapal ikan itu. Kemudian, disusul kapten perahu, meloncat ke laut, dan berenang cepat menyusulnya.

Aku menduga, mereka akan mengamuk, karena rumponnya dirusak. Kami, para pemancing, yang baru pertama kali melihat kejadian itu, menunggu dengan perasaan tak menentu. Kami khawatir akan terjadi perkelahian berdarah di tengah laut.

Dua awak perahu yang berjaga di buritan hanya berdiri menunggu apa yang bakal terjadi. Sedangkan seorang awak perahu masih merapikan jangkar yang sudah diturunkan, agar perahu berdiam tenang di posisinya. Kebetulan ombak sedang tenang. Angin juga seperti mati. Laut terhampar tenang seperti karpet yang sangat luas, abu-abu kebiruan, dan kini ketenangan itu sedang dirobek-robek oleh jaring cantrang kapal ikan Hariman Jaya.

Baca juga  Dua Tubuh

Aku melihat, awak perahu yang bertubuh kekar sudah sampai di sebelah buritan kapal nelayan itu. Kemudian, tampak seseorang muncul di atas buritan. Pada saat yang hampir bersamaan, kapten perahu kami sampai di posisi yang sama. Orang di atas buritan kapal tampak memberi kode dengan tangan kanannya. Tampaknya meminta awak dan kapten perahu naik ke kapal. Tampak tangga dari tambang didekatkan ke mereka. Keduanya naik ke kapal, dan menghilang dari pandangan.

Dari jarak sekitar 40 meter kami hanya bisa menunggu. Semoga tak terjadi pertengkaran berdarah. Kemudian, tampak kapal nelayan itu menarik jaring yang masih terentang di laut. Alat dereknya bergerak. Dengan derek jaring itu diangkat ke atas. Ikan-ikan tampak terperangkap di dalamnya, tapi tidak sebanyak jaring pertama.

Aku kembali khawatir, bagaimana nasib awak dan kapten perahu kami? Apakah masih dalam negosiasi, meminta ganti rugi, karena mereka merusak rumpon kami? Negosiasi mungkin saja terjadi dan berjalan dengan alot. Bagaimana kalau negosiasi macet dan mereka saling ngotot? Bagaimana kalau tidak ada yang mengalah dan terjadi saling gebrak dan saling tonjok?

Tiba-tiba terlihat dua sosok turun ke laut dari kapal nelayan itu dengan tangga tali. Begitu keduanya sampai ke laut, menyusul sebuah ember besar berwarna merah pelan-pelan diturunkan ke laut dengan tali. Dua sosok itu ternyata awak dan kapten perahu kami. Keduanya kemudian berenang kembali ke perahu kami sambil menyeret ember besar. Awak perahu lalu menaikkan ember itu di buritan, sementara sang kapten naik ke anjungan.

“Kurang ajar! Kita dibungkam dengan seember ikan.” Awak perahu itu marah-marah begitu naik ke buritan.

Aku mengecek ember itu. Penuh ikan kue, dan beberapa tengiri.

“Terus bagaimana kita? Akan diam saja? Kapal nelayan itu melanggar aturan, lho. Memakai jaring cantrang yang dilarang,” kataku.

“Kita usulkan pada kapten agar dilaporkan,” kata awak perahu. “Dulu, sekitar setahun yang lalu, kapal nelayan itu pernah ditahan dua bulan, karena melanggar aturan. Katanya kena denda. Eh, sekarang diulang lagi.”

Aku lihat, kapten perahu tampak memotret kapal nelayan itu, dengan kamera HP. Tapi, sayangnya kapal nelayan itu sudah berkemas, sehingga jaring cantrangnya tidak terlihat jelas. Aku menyesal, kenapa tadi tidak memotret kapal itu ketika mengerek jaring cantrang. Mestinya ada bukti yang kuat atas pelanggaran itu.

“Mana ikannya?” tanya kapten perahu, ketika sudah bergabung dengan kami di buritan.

“Itu, Kep,” jawab awak perahu tadi, sambil menunjuk ember merah yang berisi ikan kue dan tengiri.

“Kita cuma disogok seember ikan, Kep?” celetukku. “Apakah akan kita biarkan terumbu karang dan rumpon kita dirusak kapal itu dengan jaring cantrang.”

Baca juga  Pawang Jailani Tak Pernah Datang Lagi

“Bukan begitu,” jawab kapten perahu. “Itu ganti rugi rumpon kita yang dirusak. Kapal nelayan itu tetap akan kita laporkan.”

“Terus, sekarang kita bagaimana?”

“Mancing di sini dulu. Siapa tahu, masih ada ikan yang tidak terjaring,” jawab kapten.

Aku mencoba melempar kail yang kami beri umpan udang. Lalu satu kail lagi aku beri umpan cumi-cumi. Kawan-kawan juga melakukan hal yang sama. Ada juga yang memakai umpan ikan kembung, untuk mencoba memancing tengiri. Tetapi, setelah beberapa saat menunggu, tak ada tanda-tanda masih ada ikan di laut sekitar perahu kami.

Kami coba dan coba lagi dengan melempar kail ke arah yang berbeda-beda, dan kami diamkan beberapa saat, tapi tetap sepi. Tidak ada ikan yang menyenggol umpan kami. Apalagi yang menarik dengan kencang. Kami tarik dan lempar lagi ke sisi yang berbeda. Hampir satu jam kami mencoba peruntungan. Sama saja. Tidak ada ikan yang menyenggol umpan kami.

“Wah sepi. Ikannya benar-benar sudah habis,” kataku.

“Ya, sepi,” sahut Aspar.

“Kita pindah saja. Cari spot lain,” usul Armen.

“Gulung kail. Kita mau pindah,” kata awak perahu.

Setelah semua pancing diangkat, perahu bergerak lagi, makin ke tengah. Di kejauhan tampak kapal Polisi Air lewat, meluncur cepat ke tangah, ke arah kapal ikan tadi pergi. Semoga saja sedang mengejar kapal ikan Hariman Jaya, karena pelanggaran tadi.

“Hariman Jaya tertangkap!” teriak awak perahu, tiba-tiba, sambil berdiri di buritan, dan mengarahkan pandangannya ke depan.

Kami semua serta-merta berdiri dan memandang ke arah depan. Tampak kapal nelayan Hariman Jaya bertengger sekitar 100 meter, dengan jaring cantrang yang hendak digulung dengan tiang penderek, dan sebagian lagi masih terentang di laut. Sementara tidak jauh dari kapal nelayan itu, di posisi depan agak menyamping ke kiri, tampak kapal cepat Polisi Air seperti mengawasinya.

Perahu kami mencoba mendekati mereka sampai di jarak sekitar 50 meter. Tampak di atas kapal Polisi Air, seorang petugas mengarahkan kami dengan tangannya agar terus melaju. Arahan itu diperjelas dengan pengeras suara, agar kami terus berlayar menjauhi mereka. Agaknya, akan ada transaksi bisnis di tengah laut yang tidak boleh kami ketahui. ***

.

 .

Banten, 20 Maret 2025

Ahmadun Yosi Herfanda. Sastrawan dan Pemimpin Redaksi Portal Sastra Litera. Menempuh karier jurnalistik sebagai penjaga rubrik sastra di harian Republika.

.
.
Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang. Cantrang.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!