Cerpen Indra Tranggono (Jawa Pos, 26 April 2025)
AKHIRNYA Logoza berhasil mendarat di Bandara Internasional Luzon, Republik Lambardoz. Seorang teman menyarankan dia untuk menemui dokter Palimermo di negara itu, di Kota Kadalla.
Tanpa menyebut jabatan atau profesinya, Logoza menjelaskan jika dia berasal dari Republik Qeeshrooh.
“Di mana ya negara Anda itu?”
“Jauh sekali dari sini. Namanya juga tidak terkenal….”
“Ooooo…. Lalu apa profesi Anda?”
“Saya cuma pengusaha kecil….”
“Pasti Anda merendah…. Lalu apa yang bisa saya bantu?”
Logoza tersipu. Lalu, ia pun menyampaikan niatnya. Dia minta dokter itu untuk membekukan jantung dan otaknya.
“Oh my God!” seru dokter Palimermo. “Maaf, saya tidak bisa!”
“Dok… bagi saya, bunuh diri itu cara terbaik untuk menebus dosa dan rasa bersalah. Tolong bebaskan penderitaan saya. Tolong….” mata Logoza menatap tajam.
Dokter Palimermo berdiri tenang. Tetap menggelengkan kepala. “Anda bisa melakukan sendiri. Konsultasi selesai. Silakan keluar.”
“Maaf dok…. Saya belum selesai bicara…. Saya benar-benar ingin bunuh diri tanpa rasa sakit dan menderita….”
“Apa urusannya dengan saya?”
“Dokter tinggal menyuntik saya. Lalu aku mati. Dan, semua selesai!”
“Tugasku memperpanjang umur orang, bukan membunuh!”
“Tapi untuk sekali ini saja, saya mohon dokter berkenan untuk mengakhiri hidup saya. Terserah mau pakai pil pembeku darah, kapsul penghenti detak jantung, atau suntik kematian! Aku siap membayar berapa pun. Dan dokter tidak perlu khawatir kena tuntutan hukum. Keluarga saya, saudara-saudara tidak ada yang tahu.”
“Dokter yang bisa nyuntik mati, banyak, di mana-mana ada. Kenapa tak cari dokter di negara Anda?”
“Saya tidak ingin bunuh diri dan mati di negeri sendiri…. Makanya saya ke sini.”
“Saya tak mungkin mengingkari sumpah saya sebagai dokter. Berapa pun Anda membayar saya! Ini komitmen!”
“Sesekali melanggar kan nggak apa-apa, dok.”
“Saya tidak bisa dipaksa!”
“Apa Anda ini tidak takut pada Tuhan?”
“Dok, saya sangat percaya Tuhan itu ada. Tapi Tuhan tidak turut campur dalam hidup manusia. Manusia berhak menentukan hidup dan tak dirnya sendiri!”
“Omongan Anda ngaco. Mestinya Anda ini bertobat. Siapa tahu Tuhan mau mengampuni dosa-dosa Anda.”
“Bertobat? Apakah saya ini manusia paling hitam di mata Tuhan yang dokter percayai itu?”
“Mungkin saja Anda ini jauh lebih kelam dari yang Anda kira…. Karena itu bertobatlah, agar tidak masuk neraka.”
Logoza terdiam. Ia menggigit bibirnya, menahan kecemasan yang menggigit jiwanya.
“Apakah neraka yang dokter percayai ada itu dan kelak jadi tempat terbaik bagi saya?”
“Mungkin tempat Anda jauh lebih buruk dari neraka!”
“Apa tidak ada sedikit pun kebaikan dalam diri saya?”
“Ada.”
“Apa?” Logoza penasaran.
“Niat untuk membatalkan bunuh diri!”
“Kenapa harus itu?”
“Bunuh diri hanya melukai perasaan Tuhan, karena hak mematikan setiap makhluk bernyawa hanya ada di tangan-Nya. Paham?”
Tawa Logoza berderai. “Dok, saya punya kedaulatan atas diriku sendiri…. Sekali lagi saya katakan, Tuhan tidak ikut campur. Dan saya tak ingin bikin Dia repot….”
“Kenapa ketegaranmu untuk bunuh diri melebihi kekuatanmu untuk hidup? Bukankah hidup itu indah. Penuh berkah….”
“Hidup itu sangat menyebalkan. Lebih ganas dari asam lambung yang bandel mengaduk-aduk perut, lalu bergerak hingga jantung dan ulu hati. Mau muntah tak bisa. Menyiksa!”
“Makanya selalu mendekatlah pada Tuhan?”
“Untuk apa?”
“Maaf, sejak kapan kamu ateis?”
Logoza tertawa.
“Aku bukan ateis, tapi agnostik.”
“Kenapa tadi kamu bilang soal neraka? Seolah-olah kamu beriman pada Tuhan….”
“Itu memori lama yang muncul dan tak bisa kutahan. Ya, seperti pacar pertama yang selalu datang dalam ingatan. Begitu juga Tuhan, nabi, kitab suci….” Logoza tersenyum.
“Oke. Berarti Tuhan tak perlu dilibatkan dalam perkaramu. Dan aku bekerja atas nama rahmat Tuhan. Kita berbeda. Silakan cari dokter lain….”
“Dokter mengusir saya?”
“Jam bicara saya sudah habis.”
Perasaan kesal mendorong Logoza keluar dari ruangan. Langkahnya membelah halaman yang dipenuhi pohon, diiringi suara cericit burung burung kecil.
***
Logoza menikmati kopi seharga lima belas dolar Amerika di Bulan Ungu Cafe, lantai 23 Diamond Hotel. Gelap malam menjelmakan bangunan-bangunan seperti raksasa dirubung jutaan kunang-kunang.
Namun kopi itu tak mampu meredakan kecemasan Logoza. Ia pesan wiski, martini campur vodka. Langsung diminumnya. Pelan-pelan alkohol merambat dalam darah, mengalir ke jantung dan dikirim ke otak. Kepala Logoza mulai kliyengan. Berputar-putar. Lalu muncul berbagai fantasi. Ia merasa seperti berada di atas awan.
“Kenapa Anda ingin bunuh diri?” mendadak ada suara menggema.
Logoza mencari sumber suara. Dan, ia melihat sosok putih, bersayap.
“Tuan, malaikat?”
Sosok putih itu diam. Ia menggerakkan kedua sayapnya.
“Tolong bilang pada Tuhan, aku ingin bunuh diri….”
“Bukankah Anda bilang, Tuhan tidak ikut campur dalam urusan manusia?”
“Bagaimana Tuan malaikat tahu?”
“Aku punya radar pendengaran yang tidak bisa dibayangkan kekuatannya.”
“Ohhh dahsyat sekali….”
“Sekarang katakan, kenapa Anda ingin bunuh diri?”
“Saya malu.”
“Kenapa?”
“Dulu saya ini pernah jadi presiden di sebuah republik yang selalu kisruh dan gelap. Sebenarnya, saya sendiri tak pernah ingin jadi presiden, tapi ada belasan jenderal dan ratusan pengusaha kaya raya memaksaku untuk jadi presiden. Dan, saya kok kebetulan mau….”
“Dulu kamu kerja apa?”
“Tukang bikin meja, kursi…. Jelek-jelek saya ini juragan mebel.”
“Kenapa orang-orang penting itu bisa mengenal dan percaya pada Anda?”
“Karena saya ini pernah jadi kepala daerah. Itu karena ada parpol besar yang mempromosikan saya. Juga ketika saya bisa jadi kepala daerah tingkat provinsi…. Nama saya pun sangat terkenal. Orang-orang memuja saya sebagai pemimpin yang punya etos kerja tinggi dan jujur. Begitu juga para peng usaha dan jenderal.”
“Bagaimana mereka percaya pada Anda?”
“Mereka bilang, negara saya butuh orang jujur. Dan mereka menilai, sayalah satu-satunya orang jujur di negara saya. Maka, saya pun dipilih jadi presiden melalui pemilihan yang sudah diatur….”
Malaikat menahan tawa.
“Apa yang Anda lakukan selama jadi presiden?”
“Yang utama adalah membuat peristiwa di depan para wartawan. Misalnya bikin jumpa pers. Dan saya bilang, saya tidak akan mengambil gaji sebagai presiden.”
“Beneran?”
“Ah, sebenarnya bohong….”
“Lalu?”
“Saya juga harus masuk gorong-gorong, membantu orang-orang yang kena banjir… Ikut mencangkul di sawah bersama ratusan petani….”
“Beneran?”
“Bohong juga…. Semua sudah direkayasa.”
“Yang lain?”
“Banyak sekali. Tapi intinya semua yang saya lakukan itu sembilan puluh persen bohong.”
“Dan Anda menyesal?”
“Dulu tidak, tapi sekarang, setelah tidak jadi presiden, saya sangat-sangat menyesal. Saya malu. Malu sekali. Karena itu saya ingin bunuh diri.”
“Sudah mantap?”
“Sudah. Tekadku sangat bulat!”
“Bunuh diri itu hakmu. Kamu yang akan menanggung akibatnya. Sekarang lakukanlah….”
Logoza kaget, ternyata malaikat itu tidak mencegah niatnya. Padahal ia sangat berharap malaikat itu akan kasih nasihat panjang lebar agar dirinya tidak jadi bunuh diri.
“Ayo lakukan. Kenapa diam?”
“Saya masih harus memilih cara bunuh diri yang indah…. Apakah menggantung diri, merobek perut, atau terjun dari loteng hotel…. Juga banyak cara lainnya. Yang jelas saya tak mau minum racun serangga. Terlalu klise. Saya ingin bunuh diri dengan cara yang paling syahdu dan indah.”
“Kenapa?”
“Ya, agar saya punya kenangan yang indah dalam mengakhiri hidup saya…. Dan kelak, media massa akan memberitakan kematian saya ini dengan penuh drama. Sehingga para pengagum saya yang jumlahnya jutaan itu takjub….”
“Terima kasih atas seluruh informasimu. Kini tugasku sudah selesai. Dan semua sudah saya catat. Selamat bunuh diri….” Malaikat langsung terbang.
Mulut Logoza ternganga melihat malaikat yang melesat ke langit.
Pengaruh alkohol semakin menipis, lalu lenyap. Logoza pun sadar. Ia ingin beranjak meninggalkan kafe. Namun mendadak muncul sosok tinggi besar. Hitam. Bau busuk tubuhnya menyengat. Logoza ketakutan, tapi tak mampu berlari menyelamatkan diri. Ia merasakan ada kekuatan besar yang mencekik lehernya. Sangat kuat. Hingga ia tak berdaya. Lalu tangan perkasa itu melemparkan tubuhnya dari lantai 23. Ia pun melihat tubuhnya melayang-layang, lalu jatuh ke tanah. Lantai pun basah oleh darahnya.
Logoza yakin, itu hanya halusinasi. Ia kembali duduk di kursi. Lalu, belasan menit kemudian, ia melihat ada mobil ambulans datang. Beberapa orang menggotong tubuhnya ke dalam mobil. Logoza kaget. Ia bergegas mengejar mobil. Tapi mobil itu pun melaju sangat cepat, diiringi suara sirene yang meraung-raung.
Logoza termangu. Ia me rasa masih hidup dan ya kin bisa mencari cara yang paling indah untuk bunuh diri. ***
.
Catatan:
Agnostisisme adalah suatu pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan atau hal-hal supranatural adalah sesuatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Alasan yang dimiliki manusia tidak mampu memberikan dasar rasional yang cukup untuk membenarkan keyakinan bahwa Tuhan itu ada atau keyakinan bahwa Tuhan itu tidak ada (Wikipedia).
.
.
Indra Tranggono. Esais dan penulis cerpen, tinggal di Jogjakarta. Empat kumpulan cerpennya yang sudah terbit: Sang Terdakwa, Menebang Pohon Silsilah, Iblis Ngambek, dan Perempuan yang Disunting Gelombang.
.
.
Cara Bunuh Diri Seorang yang Mengaku Agnostik. Cara Bunuh Diri Seorang yang Mengaku Agnostik. Cara Bunuh Diri Seorang yang Mengaku Agnostik. Cara Bunuh Diri Seorang yang Mengaku Agnostik. Cara Bunuh Diri Seorang yang Mengaku Agnostik. Cara Bunuh Diri Seorang yang Mengaku Agnostik.
Anonymous
Hmmm Logoza mengingatkanku pada seseorang… siapa ya?