Cerma, Pontianak Post, Sudarsono Teng

Ketika Aku Harus Memilih

4.2
(6)

PAGI yang sangat cerah. Entah kenapa perasaanku terasa berbeda pada hari ini. Akankah menerima kabar yang baik pada hari ini? Tapi dari siapa? Begitulah dalam hati aku bergumam. Tiba-tiba HP yang aku taruh di meja berdering. Aku bergegas untuk menggapai handphone-ku, mungkin ini adalah kabar yang akan membuatku gembira. Ujung sambungan HP terdengar suara lembut seorang wanita menyapa, “Hallo selamat pagi, apakah saya sedang berbicara dengan Tika?”

“Iya Bu saya sendiri, maaf ini siapa ya?”

“Perkenalkan saya Ema, dari Perusahaan Imam Jaya, ingin menyampaikan kepada Anda bahwa berdasarkan hasil tes seminggu lalu, perusahaan telah memilih Anda untuk bergabung bersama kami.”

“Ini sungguhan, Bu Ema? Te..terima kasih ya, Bu. Jadi kapan saya bisa bekerja, Bu?”

“Kebetulan Senin depan adalah awal bulan, maka mulai Senin Anda sudah menjadi karyawan kami dan mulai bekerja di perusahaan kami.”

“Iya Bu Ema, sekali lagi terima kasih ya.”

Terima kasih Tuhan. Engkau telah menjawab doaku. Kini aku sudah mendapatkan pekerjaan. Bisa menolong Ibuku yang selama ini telah bekerja keras untuk membiayai kehidupan kami di rumah. Tanpa sengaja, butiran-butiran air bening jatuh di sudut mataku. Aku benar-benar bahagia dan terharu mendapatkan kabar dari Bu Ema.

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Hari ini adalah hari yang sangat spesial dalam hidupku. Aku mulai bekerja di sebuah perusahaan yang sangat besar di daerahku. Setelah mandi dan sarapan, aku berangkat.

Di depan pintu gerbang perusahaan itu, aku sempat berhenti. Terlihat dengan jelas pintu gerbang yang megah. Beberapa satpam sedang mengatur kendaraan yang keluar masuk di gerbang itu. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan bisa bekerja di perusahaan Imam Jaya yang sangat besar ini. Sejurus kemudian aku menghampiri salah satu satpam yang sedang bertugas itu.

“Selamat pagi, Pak, saya Tika adalah pegawai yang baru diterima, mohon bantuannya saya harus ke ruangan mana ya?”

“Selamat pagi, Tika, silakan menuju ke ruangan resepsionis dan silakan tunggu di sana.”

“Terima kasih, Pak,” jawab saya.

Setelah bertemu dengan Bu Ema dan diperkenalkan ke seluruh pegawai yang ada di kantor, aku mulai menemui atasanku yang akan memberitahu tentang semua pekerjaan yang harus saya lakukan. Kantornya benar-benar megah. Di setiap ruangan terasa begitu adem karena dilengkapi dengan alat pendingin suhu ruangan. Hari pertama aku lalui dengan serba bingung karena semua pekerjaan itu sama sekali baru bagi aku. Banyak sekali bukti-bukti transaksi yang harus aku bukukan dan aku catat. Aku teringat pesan-pesan dari kakekku bahwa segala sesuatu awalnya pasti sulit, namun jika kita bekerja keras dan punya kemauan pasti bisa kita lewati. Pesan inilah yang selalu tergiang di telingaku kala aku menghadapi pekerjaan yang cukup menyita pikiranku.

Baca juga  Perihal Sabar

Tidak terasa sudah enam bulan aku bekerja di Perusahaan Imam Jaya. Kini aku tidak bingung lagi dan semua pekerjaan yang diberikan kepadaku sudah aku kuasai dengan baik. Teman-teman di kantor juga sangat ramah dan baik. Mereka semua sudah aku anggap sebagai keluarga besarku karena mereka selalu membantu dan menolong ketika aku menghadapi kesulitan. Ari selalu men-support dan memberikan semangat kepada aku untuk bekerja dengan baik dan pantang menyerah. Ari jugalah yang selalu menemaniku ke kantin bahkan tidak jarang mentraktirku mie instan di kantin.

Kebaikan Ari benar-benar telah membuat perasaanku bercampur aduk. Baik, ganteng dan masih single pula. Apakah Ari juga punya perasaan seperti yang kurasakan? Aku yang terlalu pede dan salah mengartikan kebaikannya? Begitulah beban pikiran yang kini berkecamuk di dalam lubuk hati ini. Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Jawaban yang ada dalam lubuk hati ini tak kunjung mendapatkan jawabannya. Ari tetap seperti biasanya, menyapa dan bercanda tanpa mengutarakan apapun kepada aku. Tidak mungkin aku yang wanita harus mengutarakannya terlebih dahulu, itu bukanlah budaya timur yang sudah menjadi pakem dalam hidupku.

Seperti biasanya setelah pulang dari kantor, aku selalu menghabiskan waktu untuk membuka HP dan menyapa teman-teman di sosmedku. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar: “Tika, ada tamu yang mau bertemu denganmu, katanya teman lama,” terdengar suara Ibu yang lembut dari luar. Aku bergegas membuka pintu dan menuju ke ruang tamu. Di ruang tamu itu telah duduk seorang pemuda dengan stelan kemeja dan celana jeansnya yang tampak sangat matching.

“Selamat malam, Tika, masih ingat tidak dengan saya?” salam dari pemuda itu dengan suaranya yang elegan dan sopan.

“Siapa ya, mohon maaf saya sudah lupa,” jawab saya sambil terus mengingat dan memperhatikan wajah pemuda itu.

“Saya Bruno, dulu kita pernah satu kampung dan sering bermain bareng di halaman belakang gereja,” jawab pemuda itu.

“Oh…yang papanya dulu punya penggilingan padi di kampung?” tanya saya sambil tersenyum kecil.

“Iya benar, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kamu sudah menjadi seorang gadis yang sangat cantik.”

Baca juga  Cerita di Balik Cerita

Jurus gombal Bruno mulai mengusik pikiranku. Bruno yang kukenal dulu adalah Bruno yang hitam dan dekil, namun kini telah menjadi seorang pemuda yang sangat gagah dan tampan. Sosoknya tampak begitu baik dan bahasanya begitu santun. Ibuku diam-diam bersimpati dengan Bruno. Ibu tahu bahwa Bruno datang ke rumah bukan karena kebetulan namun tentu ingin mendekati putri satu-satunya itu.

Akhir Desember. Seminggu sebelum Natal. Bruno ajak aku jalan-jalan untuk menikmati suasana malam. Malam minggu yang sangat cerah. Bruno sudah datang menjemputku saat jam menunjukkan pukul 19.15. Setelah pamitan dan minta izin dengan ibu, kami berangkat.

Di sebuah café yang cukup ramai. Suasananya begitu romantis dengan alunan musik lembut yang diputar oleh café itu. Kami langsung menuju ke meja yang masih kosong. Beberapa makanan kecil dan minuman langsung kami pesan.

Ada keanehan yang aku rasakan. Tidak biasanya kafe ini menyediakan candle light, namun untuk kali ini pelayannya meletakkan dua lilin di meja kami. Belum habis rasa terkejutku, Bruno mulai merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu.

“Tika, sejak kita bertemu kembali beberapa bulan yang lalu, aku merasa bahwa aku telah menemukan belahan jiwaku yang selama ini aku cari ke mana-mana. Untuk itu maukah kau menerima permohonanku untuk menjadi pendamping hidupku?” sambil membuka sebuah kotak kecil yang didalamnya terisi dua buah cincin yang begitu indah.

Aku betul-betul terkejut dan tidak siap untuk menerima semua ini. Aku terdiam beberapa menit sambil menatap wajah Bruno yang tampak mulai memelas menunggu jawabanku. Tiba-tiba terbersit wajah Ari yang ada di kantor. Namun juga teringat wejangan dari Ibu.

“Tika, Bruno itu sangat baik, dia sudah jauh-jauh datang mencarimu, jangan kecewakan dia ya.”

Aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka mulutku yang sejak dari tadi terkatub rapat dan hampir saja pingsan. “Terima kasih telah memilihku menjadi pendamping hidupmu, tapi karena mendadak begini telah membuatku bingung. Tapi aku berjanji akan menjawabnya, beri aku waktu dua hari ya,” sahutku dengan suara yang bergetar dan terbata-bata. Perasaanku benar-benar berkecamuk. Bahagia, bingung, dan ragu bercampur menjadi satu.

Setelah sampai di rumah aku langsung merebahkan badanku di atas peraduanku. Aku masih belum percaya dengan peristiwa yang baru saja kualami. Aku dilamar Bruno. Tapi, Ari bagaimana? Apakah dia juga ingin melamarku? Atau, aku saja yang kepedean? Aku harus bisa memilih satu di antara mereka berdua. Bruno sudah melamar sementara Ari belum apa-apa walaupun dari tatapan matanya, aku tahu kalau Ari juga cinta kepadaku.

Baca juga  Pantai Tatapan

Setelah dua hari berlalu, aku menjawab lamaran dari Bruno dan bersedia menjadi pendamping hidupnya hingga tua kelak. Kami menentukan hari pernikahan dan meminta restu kepada kedua pihak orang tua kami. Aku sudah bertekat bulat bahwa inilah pilihanku yang terbaik karena aku percaya Tuhan telah mengirim Bruno untuk menjaga dan membahagiakanku. Masih dalam lamunanku tiba-tiba pesan Whatsapps dari Ari masuk. Dalam benakku mungkin Ari ingin mengucapkan selamat untuk pertunangan dan pernikahan kami, tapi bagaimana dia bisa tahu? Aku mulai membaca chat dari Ari yang lumayan panjang.

Dear Tika. Sejak kita bertemu. Aku sudah langsung jatuh hati kepadamu. Senyummu, lesung pipimu, uraian rambut hitammu telah mengganggu dalam setiap lerung hatiku. Aku bingung kenapa ini terjadi. Apakah mungkin karena aku sudah jatuh cinta kepadamu. Tika, mohon maaf, kuakui bahwa aku adalah pria yang pengecut dan penakut untuk mengutarakan isi hatiku kepadamu. Setiap ketemu lidahku jadi kelu. Padahal dari rumah sudah latihan di depan kaca untuk menyampai isi hati. Tika, aku cinta dan sangat menyayangimu, maukah kamu menjadi pacarku?

Setelah membaca chat Ari, aku menangis dan dilanda rasa bingung. Bagaimana aku harus membalas chat Ari? Pastinya akan sangat kecewa jika Ari mengetahui bahwa saya dengan Bruno akan menikah. Tapi aku harus memberitahu Ari tentang rencana pernikahanku. Dengan tangan bergetar dan linangan air mata, aku mulai menuliskan chat balasan untuk Ari.

Ari yang baik. Terima kasih atas kasih dan cintanya untuk Tika. Tika tahu bahwa Ari sangat menyayangi Tika. Namun ada satu hal yang perlu Ari tahu. Jika chat abang kirim ke Tika tiga bulan yang lalu, maka tentu situasinya akan berbeda. Kini Tika sudah mau melangsungkan pernikahan dengan pilihan Tika. Untuk itu Tika mohon maaf tidak bisa memenuhi ketulusan dari Ari. Sekali lagi mohon maaf.

Chat itu aku akhiri dengan tetesan air mata. Mungkin ini yang dinamakan jodoh dan sudah diatur dengan baik oleh Sang Pencipta. Hidup adalah pilihan. Ketika kita dihadapkan oleh sebuah pilihan maka buatlah pilihan yang terbaik dan pertahankan apa yang sudah kita pilih. Kini aku telah hidup bahagia dengan Bruno. []

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!