Cerpen, Kompas, Ni Komang Ariani

Mata-mata di Kepala

Mata-mata di Kepala - Cerpen Ni Komang Ariani

Mata-mata di Kepala ilustrasi Hadi Soesanto/Kompas

2.7
(7)

Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 25 Mei 2025)

TANPA harus dijelaskan, aku sudah paham. Sore itu, sehabis mandi dan rambutku masih basah, pintu kamar kontrakanku diketuk berulang kali. Tiga orang laki-laki berkaus hitam dengan rambut yang klimis menjemputku.

“Silakan, Bu. Ini waktunya.”

Ketiganya tersenyum ramah. Sekilas, ketiganya tampak sebagai laki-laki baik. Namun, kedatangan mereka bukanlah untuk sesuatu yang baik untukku. Pengalaman pahitku sejak kecil hingga hari ini membuat aku bisa mengenali marabahaya yang datang walaupun dibungkus dengan senyum dan keramahan yang sempurna sekalipun.

Aku mengangguk sekilas. Bersiap menghadapi hari terburuk dalam hidupku. Mungkin hari ini ajalku akan tiba. Entahlah. Atas semua rasa pahit yang kurasakan sejak kecil sampai saat ini, kematian mungkin tidak terlalu buruk. Menurut beberapa buku yang aku baca, kematian yang cepat adalah anugerah bagi beberapa orang. Aku hanya berharap tidak menderita cukup lama untuk kematianku nanti.

“Tidak perlu cemas, Bu. Ibu akan pulang dalam keadaan selamat.”

Selamat. Apa arti kata ‘selamat’ sebenarnya? Aku tidak pernah selamat semenjak aku kecil sampai dengan umurku empat puluh saat ini. Aku hidup bertahun-tahun sebagai golongan orang yang diperas habis-habisan oleh mereka yang menamakan dirinya negara.

Mereka membawaku ke sebuah rumah. Rumah itu terlihat kuno, seperti bangunan peninggalan Belanda. Rumah itu memiliki pintu dan jendela yang besar, dengan dinding berwarna putih yang agak kusam.

“Kami hanya akan menerapkan sebuah prosedur sederhana. Menyuntikkan jarum kecil di belakang telinga Ibu. Bius lokal. Jadi Ibu tidak akan merasakan apa-apa. Setelah setengah jam, Ibu akan terbangun dengan kepala segar. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ibu juga jauh lebih sehat. Jarang sakit kepala lagi seperti yang sudah-sudah. Boleh dibilang ini teknologi pengobatan mutakhir, untuk membuat Ibu menjadi orang yang lebih sehat dan lebih baik.”

“Apakah saya boleh menolak prosedur ini?”

“Sayangnya tidak, Bu. Ini sudah menjadi prosedur negara. Demi kebaikan negara.”

Aku mengangguk sekilas. Aku sudah tahu apa itu artinya.

Aku memejamkan mata saat membaringkan tubuhku pada ranjang putih yang terasa amat dingin. Seluruh ruangan ini berwarna putih, seolah-olah yang memiliki begitu takut pada warna lainnya.

Aku merasakan pergerakan di telinga kiriku. Betul kata orang berpakaian hitam itu. Aku tidak merasakan sakit sedikit pun. Aku hanya dapat merasakan sesuatu, entah apa, dimasukkan ke dalam kepalaku. Aku merasakan ada sensasi cairan yang mengalir melalui urat-urat di kepalaku. Namun, tiba-tiba cairan itu berhenti di tengah-tengah.

Aku merasakan kesadaranku tinggal setengah, namun aku mendengar seseorang berkata.

“Hentikan. Perempuan ini berbahaya.” Seorang laki-laki tinggi berbaju putih terdengar panik di ujung ranjang.

Baca juga  Pupu yang Sombong

“Berbahaya bagaimana?”

“Perempuan yang rambutnya putih ini memiliki kemampuan untuk melakukan serangan balik dengan jutaan kelabang.”

“Kelabang….” Laki-laki itu bergidik ngeri.

“Hanya kelabang yang bisa mengalahkan kita. Ular sanca pun tidak.”

“Perempuan itu terlihat seperti perempuan paruh baya biasa. Sangat lemah. Reaksinya ketika cairan dimasukkan pun sama saja seperti orang-orang lainnya.”

“Begitu cairan itu masuk seluruhnya ke kepala perempuan itu. Tubuhnya akan secara otomatis mengaktifkan pembalasan. Serangan satu juta kelabang. Seluruh pasukan muka hitam bisa mati seketika. Negara akan limbung.”

“Itu omong kosong macam apa. Mana ada manusia yang bisa melakukan itu?”

“Perempuan itu keturunan terakhir dari sebuah suku langka. Kita tidak boleh macam-macam terhadapnya.”

Orang berbaju hitam itu tampak geleng-geleng kepala tidak percaya.

“Segara hentikan, sebelum kamu yang dimakan pertama si kelabang.”

Si baju hitam mendengus kesal. Terpaksa menuruti perintah paling tidak masuk akal yang pernah ia terima. Ia menghentikan gerakannya. Mencabut sesuatu di telinga kiriku. Membuka sarung tangannya dan mendengus meninggalkan ruang. “Tugasmu mengoperasi perempuan ini kalau nanti kau salah info. Aku bosan. Aku sudah mengoperasi ratusan orang minggu ini.”

Laki-laki berbaju putih itu hanya tersenyum simpul. Ia melakukan beberapa prosedur terhadapku. Menyuntikkan sesuatu di lenganku dan aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Aku tidak ingat berapa lama aku tertidur. Aku terjaga saat panas matahari mengenai pipiku. Jam dinding menunjukkan jam sembilan pagi. Itu artinya aku sudah tidur semalaman di ruangan ini. Tidak hanya setengah jam seperti yang dijanjikan laki-laki berkaos hitam.

Seorang perempuan muda berseragam rapi menungguku di sudut ruangan.

“Ibu sudah bangun?” tanya perempuan itu lembut. Sebuah pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan. Perempuan itu sudah melihat mataku terbuka.

“Silakan mandi dan berganti baju, Bu. Baju sudah kami sediakan di kamar mandi. Kami akan mengantar Ibu pulang.”

“Ke kontrakanku?”

“Tidak, Bu. Negara menghadiahi sebuah rumah untuk Ibu. Saya akan mengantar langsung ke lokasi.”

Aku tahu, tanda tanya besar yang aku miliki di kepala tidak akan terjawab oleh orang-orang ini. Keteraturan dan kesopansantunan yang mereka pertontonkan di sisi yang lain adalah kengerian yang tidak terbayangkan. Tak seorang pun diizinkan menolak atau memiliki pendapat yang berbeda.

Aku menuruti permintaan perempuan itu, tanpa banyak bertanya-tanya. Tidurku semalam terasa nyenyak tapi sekaligus penuh dengan mimpi-mimpi yang aneh. Aku melihat orang-orang bergantian ke luar dari ruangan putih, dan mereka terlihat aneh. Sinar bola mata mereka seperti orang yang masih hidup, tetapi bola mata mereka memancarkan cahaya yang asing. Mereka terlihat bercakap-cakap dan bersenda-gurau seperti orang normal lainnya, tetapi cuping hidung mereka mengembuskan aroma yang aneh. Aroma yang menyerupai tiga laki-laki berpakaian hitam. Aku baru sadar bahwa pantulan cahaya dari bola mata orang-orang itu begitu identik. Kira-kira apa yang menyebabkannya?

Baca juga  Ibu Pergi Memancing

Aku tidak dapat lagi berpikir lebih jauh karena perempuan muda berseragam rapi itu sudah menungguku dengan matanya yang bercahaya. Oh, cahaya yang persis sama. Keramahtamahan, dan kebaikan, tetapi kengerian yang aku rasakan setiap kali memandangnya. Cairan itu, apakah semua orang ini sudah mendapat suntikan cairan itu dan tidak dapat lagi mengenali diri mereka yang baru.

“Bu, mari berangkat, ini sudah waktunya,” kata perempuan itu lembut. Identik.

Sepanjang perjalanan dengan mobil sedan yang terlihat kuno, aku hanya bisa menyandarkan kepalaku di jendela. Dan suara di radio terdengar tanpa kuinginkan. Suara seorang teman, yang pernah sama-sama membentuk semacam organisasi, sekarang ia sudah menjadi juru bicara negara. Ia akan mewakili negara untuk menjelaskan urusan kenaikan pajak, iuran, atau apa pun yang makin menjerat kaumku. Keturunan terakhir dari suku langka? Kekonyolan macam apa lagi itu. Sekarang aku sendirian menjadi manusia yang bisa mengetahui semuanya dengan terang-benderang, sementara kepala orang-orang sudah diseragamkan sesuai dengan keinginan negara. Entah siapa antara aku atau teman lamaku yang ‘selamat’ dalam hal ini. Yang jelas temanku itu sudah memiliki kekayaan yang berlimpah.

Mobil sudah melaju selama tiga jam, tetapi belum ada tanda-tanda aku akan sampai ke rumah yang dituju. Rasanya aneh. Tiba-tiba aku dipindahkan ke sebuah rumah, yang bahkan aku tidak tahu di mana.

“Di kota mana rumah tinggal saya nanti?” tanyaku ke perempuan muda yang menyetir itu.

“Nanti Ibu akan tahu setelah kita sampai,” jawabnya dengan tersenyum

“Baju-baju di kontrakan bagaimana. Aku tidak punya baju pengganti.”

“Jangan khawatir, Bu. Kami sudah sediakan baju-baju yang pas untuk Ibu. Ibu coba saja. Pasti cocok. Karena saya yang membelikan sendiri, sesuai dengan baju-baju lama Ibu di kontrakan.”

Di sini aku makin merasa semua hal makin tidak masuk akal. Bahkan, baju-bajuku dipilihkan oleh perempuan muda itu. Aku memang bukan perempuan trendi yang mempunyai selera baju-baju yang keren. Bajuku lebih banyak jeans, kaus, dan kemeja. Ya, tapi, alangkah anehnya jika baju-bajuku saja dipilihkan oleh orang lain.

Aku terlalu lelah untuk bertanya, kapan aku sampai di rumah yang dijanjikan itu. Aku tertidur di tengah mulusnya jalan tol yang kami lalui. Aku tidak ingat berapa lama kami sudah berkendara. Aku menoleh ke arloji, jam tiga pagi. Perempuan muda itu tiba-tiba memelankan lajunya dan membelok ke sebuah jalan kecil. Rumah penduduk tampak jarang di kawasan ini. Lebih banyak sawah atau ladang. Tiba-tiba perempuan itu menghentikan lajunya di sebuah rumah kecil, tetapi lahan yang cukup luas.

Baca juga  Tilas Harimau, Langgam Harimau

“Ini rumahku?” kataku bingung.

“Betul, Bu. Di sini tidak sesepi yang Ibu kira. Begitu subuh tiba, akan banyak yang lalu lalang.”

“Lalu apa yang bisa aku kerjakan di sini. Dulu aku bekerja di sebuah koran untuk mengedit tata bahasa. Apa yang bisa aku kerjakan di kota yang terpencil ini?”

“Jangan khawatir, Bu, negara akan menggaji Ibu setiap bulan. Sangat cukup untuk hidup di desa ini. Ibu bisa bersantai-santai, sambil menikmati hidup.”

Aku tersenyum kecut. “Bagaimana mungkin Mbak bisa membayangkan hidup Mbak tanpa pekerjaan. Itu sama saja dengan mati.”

“Ibu bebas mengerjakan apa yang Ibu mau. Asal jangan mencampuri urusan negara. Ibu boleh berkebun, berjualan bunga, berjualan kerajinan, sembako, toko buku, atau apa pun. Kami bisa menyediakan modalnya. Kami hanya meminta Ibu tidak macam-macam. Tidak berkomentar yang aneh-aneh. Tidak menghasut warga desa.”

Kalimat-kalimat itu membuat aku tercengang. Hidup macam apa yang disediakan oleh negara kepadaku ini. Inikah yang mereka sebut sebagai ’selamat’ sebagaimana ucapan laki-laki berkaus hitam. Selamat namun tidak hidup. Dengusku putus asa. ***

.

Keterangan:

Tiga kalimat pertama dalam cerpen ini dimodifikasi dari cerpen “Rahim” karya Cok Sawitri.

.

.

Ni Komang Ariani, dilahirkan di Bali, 1978. Pada tahun 2003-2006 bekerja sebagai penyiar dan jurnalis radio di Global FM Bali dan KBR 68H Jakarta. Pada tahun 2008 menjadi Pemenang Pertama Lomba Menulis Cerita Bersambung Femina melalui noveletnya, “Nyanyi Sunyi Celah Tebing”. Tiga kali masuk Cerpen Pilihan Kompas. Dua kali masuk 10 Besar Khatulistiwa Literary Award dan pada tahun 2011 diundang sebagai pembicara di Ubud Writers and Readers Festival. Di tahun 2017 terpilih sebagai peserta residensi ASEAN-Japan Literary Festival dan pada Agustus 2018 terpilih sebagai salah satu penulis yang menjalani program residensi selama sebulan di Thailand yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional.

Hadi Soesanto, lahir di Jember, Mei 1968. S-1 Program Studi Seni Lukis, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Pernah pameran di Kashmir, Moldova, Turki, Nepal, Korea, Jepang, Vietnam, Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan, China, Filipina, dan Kanada.

.
.
Mata-mata di Kepala. Mata-mata di Kepala. Mata-mata di Kepala. Mata-mata di Kepala. Mata-mata di Kepala. Mata-mata di Kepala. Mata-mata di Kepala

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!