Cerpen Petrus Nandi (Kompas, 18 Mei 2025)
AMA duduk dekat tungku api yang masih membubungkan asap ke loteng dapur. Serentang tangan darinya, kami duduk bersila di atas tikar sembari menerima makanan dari tangannya. Seusai mengedarkan makanan, Ama mengarahkan tubuhnya ke sebuah piring kosong yang terletak di samping kanannya. Piring itu berukuran lebih besar dari piring-piring kami. Itu piring milikmu. Ia selalu ada di setiap perjamuan malam. Tapi kau tak ada.
Pada bagian tengah piring itu, sebuah gambar mengabadikan potongan wajahmu. Wajah yang tak terhubung lagi dengan anggota tubuh yang lain. Tapi itu hanya gambar. Wajahmu yang sesungguhnya telah dibuang entah ke mana pada suatu malam, lima tahun lalu.
Hanya dalam lima kedipan mata, gambar itu tertimbun nasi, kangkung tumis, ikan asin bakar. Dan setelah piring besar itu terisi makanan, mulut Ama komat-kamit seperti aksi seorang dukun di hadapan orang sakit. Ia merapalkan kata-kata yang tak satu pun dapat kami dengar. Di akhir rapalannya, ia menyapamu dengan ucapan yang selalu diulang-ulang setiap malam, “Selamat makan, Maun.” Dan seperti biasa, kelopak mata Ama pun digenangi air mata yang lekas menjatuhkan diri ke permukaan tikar sebelum sempat disapu tangannya.
Selamat makan, Maun. Itu seruan yang terdengar dengan sangat jelas dan tegas. Seruan yang membekukan percakapan kami. Meski kemudian Ama tidak berbicara lagi untuk sekadar mengingatkan, kami tahu bahwa seruan itu adalah tanda keramat akan dimulainya perjamuan malam tanpa percakapan. Dapur mendadak sunyi. Mulut kami serentak membisu seperti radio yang dimatikan secara tiba-tiba. Tidak Ameta, tidak Agali, tidak juga aku dapat menghentikan ritual hening ini. Selama makan malam, hanya tokek, tikus, dan anjing-anjing yang bertengkar di bawah kolong dapur yang boleh bersuara.
Sudah lima tahun kami mematuhi disiplin yang Ama tetapkan. Kecuali kami, hanya Tio Bendito yang bisa menginterupsi ritual ini. Tio Bendito, kau sendiri tahu, adalah orang yang tak kehabisan stok kata ketika berbicara. Mulutnya bak sungai yang mengalirkan air tanpa henti. Sesekali, di sela pembicaraannya, ia menertawai bahkan mencibir kebiasaan Ama memberimu makan meskipun engkau tidak ada. Dan jika hatinya sedang berantakan—yang kebanyakan diakibatkan oleh perkelahian sengit dengan Tia Alberta di rumahnya—ia datang ke dapur kami, mendobrak pintu dan tanpa ampun membalikkan piringmu sehingga makanan berserakan di mana-mana.
Tio Bendito juga sering memasuki dapur kami tengah malam. Tengah malam adalah waktu yang biasa dihabiskan Ama untuk menggoreng pisang yang akan kujual di sekolah keesokan harinya. Sesekali salah satu dari kami, kali lain salah dua, dan kadang-kadang secara bersamaan, kami bangun dan merapat ke dapur bila mendengar suara Tio. Namun, Ama selalu menyambut dengan tatapan khusus. Tatapan yang menyiratkan perintah agar kami kembali ke kamar untuk lanjut tidur.
Dua malam lalu, Tio Bendito kembali datang. Dari antara sekian pertemuan mereka, pertemuan malam itu menjadi satu-satunya yang kuberi perhatian secara diam-diam. Aku mengintip lewat lubang pintu. Saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat tangan Tio Bendito menjelajahi tubuh Ama dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Ini demi biaya sekolah Julio, Ameta, dan Agali,” seru Tio Bendito sembari meremas buah dada Ama.
“Itu demi biaya sekolah Julio, Ameta, dan Agali,” balas Ama teriring derai air matanya. Ia terlihat seperti robot yang bisa berbicara.
“Ini demi rumah reyot dan tanah kecil yang kalian terima secara gratis,” lanjut Tio Bendito seraya memukul-mukul pantat Ama.
“Itu demi rumah reyot kami dan tanah kecil yang kami terima secara gratis,” timpal Ama tanpa bergerak sedikit pun. Dadaku terasa lebih panas dari minyak goreng di atas tungku bernyala itu.
“Pisang sudah matang, Maun. Saya keluarkan dulu,” Ama perlahan melepaskan tubuhnya dari rengkuhan Tio Bendito dan membereskan semua yang ada di atas tungku.
“Yang terakhir: demi nyawa dan masa depan kalian di negeri ini. Cepat matikan apinya, bodoh!” Ama segera memenuhi perintah kakak iparnya itu. Lalu dengan kasar, Tio Bendito menarik kembali tubuh Ama, melumat bibir Ama, membuka celana dan baju Ama.
Aku berlari ke kamar, menarik selimut dan menutup seluruh tubuhku yang meriang tiba-tiba. Malam hingga pagi, aku menutup mata tapi tak terlelap. Aku seolah-olah dapat melihat Ama dan Tio Bendito meskipun mataku terkatup, wajahku diselimuti kain, dan dinding kamar menghalau pandanganku. Kau di mana pada malam itu? Adakah kau melihatnya? Mengapa kau tega membiarkan penghinaan itu menimpa Ama?
“Apa pun yang Tio Bendito lakukan di rumah ini, kita harus menerimanya. Seorang pun tidak boleh melawan, mengerti? Biarkanlah, biarkanlah dia bertindak seturut maunya. Dia punya kuasa penuh atas hidup kita,” demikian suatu hari Ama mengingatkan kami. Itulah sebabnya aku tidak bisa berbuat apa-apa pada malam neraka itu meski aku yang sebentar lagi SMA cukup kuat untuk memotong penis dan mengeluarkan semua isi perut kakak kandungmu itu.
Lagi pula, aku bisa apa di hadapan Tio Bendito? Sejak hari pertama menginjakkan kaki di kampung ini, kau tahu, hidup kami sepenuhnya berada di tangan dia. Dia yang berurusan dengan pihak pemerintah saat mengurus pembagian tempat tinggal para pengungsi. Sebidang tanah yang mengalasi rumah ini, dialah yang mengurusnya sehingga bisa kami tempati. Kami mendiaminya, tapi nama yang tertera di kertas sertifikat adalah Bendito Baros da Cruz, Tio Bendito.
Kau seharusnya ada di Fohorem pada hari-hari sebelum kami mengungsi. Sebab, pada masa itulah hidup serba sulit bagi kami. Tio Bendito dan kelompok milisi terus-menerus meneror lewat pekik senapan dan gemerincing pedang. Semua semata karena kepala keluarga kami, siapa lagi kalau bukan engkau sendiri, adalah seorang Fretilin garis keras.
Sejak kepergianmu, kami bagaikan kawanan sapi tak bergembala. Satu tiang penyangga keluarga telah hilang dan Ama—tiang penyangga yang tersisa—terlalu rapuh untuk menopang rumah tangga yang kalian dirikan dua puluh tahun lalu. Hanya demi hidup yang konon katanya tenteram, juga demi lolos dari teror pedang dan senapan milisi, Ama membawa kami dalam giringan Tio Bendito ke Indonesia.
Aku ingat sekali malam itu. 6 September 1999. Kami belum sempat menghabiskan makanan kala Tio Bendito dan koleganya datang dengan wajah binatang buas. Belasan orang menyiram bensin di papan dinding dan atap alang-alang. Membakar rumah dan menghapus semua jejak kehangatan cinta di dalamnya. Yang lainnya menendang-nendang segala isi rumah. Tak ada suatu harta dapat diselamatkan. Tak ada yang kami bawa saat diusir dari rumah, kecuali sepiring makanan yang masih dipegang Ama. Itu makanan untukmu. Ia ada di tangan Ama. Tapi kau tak ada.
Kau menghilang sebelum pasukan iblis itu merangsek ke dalam rumah. Malam itu juga, kami berlari menuju kebun jagung kita. Di sana, ada pondok peninggalanmu yang bisa menampung kami. Di bawah cahaya obor, kami menyusuri jalan mencari tempat aman untuk menghirup aroma kenyamanan. Tapi, di kebun itu, bukan kenyamanan yang kami hirup. Yang masuk ke lubang hidung kami malah bau amis yang ganjil.
Begitu mendekati pondok, kami melihat seorang pria dewasa berdiri sambil memeluk pohon mangga yang ada di depan pintu pondok. Dan orang itu, oh Na’i Maromak, orang itu telah kehilangan kepalanya. Darah masih mengalir dari lehernya. Lalat mengerubunginya. Tubuh tak berkepala itu disatukan dengan pohon mangga. Isi perutnya dililitkan pada batang pohon. Telapak tangannya dipakukan pada batang pohon yang sama sehingga ia tetap dapat berdiri seolah-olah masih hidup.
Maun Ameta memberanikan diri untuk mendekatinya. Celana yang dikenakan dan tato Salib Kristus di punggung memberi dia jawaban bahwa tubuh tak bernyawa itu bukan milik orang lain. Ya, itu mayatmu. Saat itu, kau tampak begitu kaku dan tak peduli pada anak-anak dan istrimu sendiri yang meraung pilu bak anjing tergilas mobil.
Senja sebelum malam terkutuk itu, kau pulang ke rumah. Kau kira, hasil referendum yang telah diberitakan dua hari sebelumnya bisa membuatmu bebas untuk menunjukkan batang hidungmu di hadapan milisi. Kau kira pula, mereka mengampunimu setelah kau kabur dari penangkapan yang pertama sebulan sebelumnya. Nyatanya, kau salah. Tio Bendito tak memelukmu sebagai saudaranya saat ia datang ke rumah. Percakapan sengit yang kukuping dari balik kamarku menguarkan aroma permusuhan yang tak akan hilang sebelum salah satu dari antara kalian memilih untuk mengalah.
“Alin, saya tidak tahu dari sisi mana kau melihat masa depan negeri ampas ini. Apa yang masih kau harapkan dari tanah yang tak dapat memberikanmu apa-apa selain kemiskinan? Apa yang dapat kau andalkan dari sesama rakyat yang penuh percaya diri ingin membangun rumah di atas pasir, heh?”
“Maun….”
“Rona ha’u, Alin! Bangsa yang kau benci itu adalah bangsa yang hebat. Punya sistem pemerintahan yang kuat. Punya sumber daya melimpah. Punya sejarah kemenangan menakjubkan atas penjajah. Bertahun-tahun kau telah diberinya makan. Dan ia akan tetap memberimu makan sampai kau mati. Lalu kurang apa sampai kau memilih hidup di negara bandingan dengan masa depan tak jelas ini? Jangankan tinggal, membayangkan negara yang didukung oleh 78,5 persen penduduk bodoh dan miskin, di bawah rezim makhluk liar yang dibesarkan oleh buah-buahan hutan ini, saya tidak bisa, sama sekali tidak bisa, Alin.”
“Cukup! Maun bilang apa? Bertahun-tahun saya diberi makan? Diberi makan apa? Roti? Daging?”
“Alin!!!”
“Rona ha’u, Maun! Kita memang lahir dari rahim yang sama. Namun, itu tidak berarti kita harus selalu memegang pendirian yang sama. Maun memperjuangkan integrasi, silakan! Itu hak Maun. Tapi, jangan pernah memaksa saya mengikuti jejak busukmu. Jangan melarang saya meneruskan perjuangan saya. Sampai kapan pun, saya akan tetap menjaga Loro Sae. Semiskin-miskinnya tanah ini, saya akan tetap berdiri di atasnya, mencintainya, meski Maun dan seluruh bajingan milisimu, kumpulan lafaek yang lupa tanah kelahirannya, merobek dan memasukkan racun kematian ke dalam tubuh saya dan keluarga saya. Saya akan tetap di sini, hanoik katak!”
“Oh, sekarang kau berani angkat kepala di hadapan saya, heh? Mengapa pula kepalamu yang berbatu itu tak turut kucopot bersama telunjuk dan kelingking malangmu sebelum kau kabur hari itu?”
“Karena kalian lebih senang makan jari daripada kepala manusia, ya, kan?”
“Oh, baik, Alin. Sebentar lagi, kami akan makan kepala manusia.” ***
.
.
Skolastikat Hati Maria, Februari 2025
Petrus Nandi, lahir di Pantar, Flores, pada bulan Juli 1997. Ia giat menulis cerpen, puisi, dan esai. Karya-karyanya tersiar di beberapa media, seperti Tempo, Basis, Basabasi.co, Suara Merdeka, dan Mata Puisi. Ia adalah anggota Kongregasi Para Misionaris Claretian. Ia bergiat di Kelas Puisi Bekasi.
Tamar Saraseh, lahir di Sumenep pada 1966, seniman multitalenta yang menekuni seni rupa, sastra, dan teater. Ia memulai pendidikannya di IKIP Malang (kini UM) dan pernah menjadi ilustrator untuk majalah sastra Horison dan koran Tempo. Sejak 2006, ia fokus pada seni rupa. Selain pameran tunggal, dia pernah beberapa kali ikut pameran kelompok nasional dan internasional, seperti Face to Face International Art Exhibition di India (2022).
.
.
Ritual Makan Malam. Ritual Makan Malam. Ritual Makan Malam. Ritual Makan Malam. Ritual Makan Malam. Ritual Makan Malam. Ritual Makan Malam.
Leave a Reply