Cerpen, Koran Tempo, Triyanto Triwikromo

Bunuh Diri Para Malaikat

Bunuh Diri Para Malaikat - Cerpen Triyanto Triwikromo

Bunuh Diri Para Malaikat ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4.6
(5)

Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 17 Mei 2025)

SEMULA aku tak yakin sebagian besar malaikat di Gerlin bunuh diri. Karena ingin membuktikan, jauh-jauh dari Praha, aku kembali ke kotaku yang dipenuhi oleh kastil-kastil kuno berusia 300 tahun, istana-istana berbalkon yang dibangun pada 1789, dan gereja-gereja abad XVII yang telah ditinggalkan oleh para pemuja.

Sejak dari Stasiun Kereta Hlavni Nadrazi, aku telah membaca secara serampangan berita mengenai apa saja yang memungkinkan para malaikat bunuh diri. Ada 11 berita, ditulis oleh Mirek, jurnalis andalan Blesk!, yang menjelaskan aneka cara yang digunakan oleh para malaikat untuk bunuh diri.

Selebihnya, enam berita mengenai kebangkitan dari kuburan perempuan-perempuan yang terbunuh oleh mafia Jerman dan tiga berita perihal binatang-binatang bertubuh hiu berkepala perempuan yang tiba-tiba bermunculan dari Danau Blaufisch. Mirek memang jurnalis yang kerap menulis hal-hal unik di Jerman, termasuk yang terjadi di Gerlin.

Terhadap kisah perempuan-perempuan yang bangkit dari kuburan, aku tidak terlalu tertarik. Tinggal selama 20 tahun di Gerlin sebelum bermukim di Praha, aku terbiasa menyaksikan perempuan-perempuan Yahudi menjebol tanah kuburan. Biasanya setelah berdiri dan memandang orang-orang yang menonton, mereka akan berlari ke rumah masing-masing.

Aku bahkan pernah bertabrakan dengan salah satu dari mereka. Aku bertabrakan dengan Felice, tetanggaku. Tak suka terhadap peristiwa itu, Felice, yang sebelum mati disalib dan lambungnya ditusuk dengan lembing, menghardikku dengan sangat kasar. “Dasar lesbian buta, perempuan segendut aku pun engkau tabrak.”

Saat itu aku tak meladeni omelannya. Aku memilih menghindar. Menghindar dari segala bau yang menyengat. Menghindar dari bau aneka bunga yang sebagian masih bertaburan di rambutnya.

Aku juga tidak terlalu tertarik mengetahui lebih lanjut satwa-satwa setengah hiu setengah manusia itu. Di Gerlin, hewan-hewan bertubuh campuran bukanlah keajaiban. Aku, terutama ketika masih kecil, bersama kawan-kawanku pernah melihat gajah bertubuh kuda, ikan berkepala kambing, bekicot bertubuh anjing, dan kambing berkepala banteng. “Kelak setelah mati, kau akan berubah menjadi kelelawar berkepala kucing,” kata kawan-kawanku pada sebuah senja di pinggir danau, “Kalau kau tak mati-mati juga, pada usia 60 tahun di punggungmu akan tumbuh sayap. Kau akan berubah menjadi kelelawar raksasa berkepala manusia.”

Aku selalu tertawa mendengar gurauan teman-temanku itu. Akan tetapi berhadapan dengan malaikat-malaikat yang bunuh diri, aku tidak bisa tertawa. Bukan karena aku religius, melainkan di rumahku tinggal Gabriol, malaikat tua yang sayap-sayapnya hampir patah. Lewat Gabriol, keluargaku menerima aneka wahyu dari Ye, tuhan kami. Gabriol-lah yang mengontrol perbuatan-perbuatan kami dan membimbing kami agar kelak bisa tinggal di surga.

Akan tetapi sudah lama Gabriol tidak menerima wahyu dari Ye. Gabriol merasa disepelekan. Gabriol merasa tak berguna. Karena itulah, kata ibuku di telepon, “Pulanglah ke Gerlin. Cegah Gabriol bunuh diri.”

Aku tertawa mendengar perkataan ibuku yang kuanggap sebagai gurauan itu. Namun aku tak bisa tertawa ketika ibuku bilang, “Gabriol mencoba mencabuti bulu-bulunya sendiri. Gabriol sekarang mengurung diri di kamar. Kuintip dari lubang kunci, dia melesat dari lantai ke atap untuk membenturkan kepalanya berkali-kali. Ketika kugedor pintunya, dia tak mau membuka. Aku khawatir dia akan segera mati.”

Tak ingin Gabriol mati, aku memilih pulang ke Gerlin. Lebih dari itu, aku tak ingin kehilangan Gabriol. Karena begitu dia mati, ibuku bisa saja tak ingin beragama Aohahem dan tak punya tuhan lagi. Karena itulah, aku harus menyelamatkan Gabriol dan kalau bisa malaikat-malaikat lain. Tak pelak, aku harus tahu apa yang menyebabkan malaikat-malaikat itu bunuh diri.

***

SAYANG selama perjalanan dari Praha hingga ke Bad Schandau aku tertidur sehingga tak sempat membaca dengan lebih saksama berita-berita mengenai alasan para malaikat bunuh diri. Ketika orang-orang ramai memuji keindahan pohon-pohon berdaun aneka warna yang sebentar lagi akan gugur, aku baru bangun.

Baca juga  Botol Kubur

Takut tertidur lagi, aku segera memilih membaca berita ketimbang menikmati tebing-tebing raksasa bak candi-candi megah dan agung di Bad Schandau dari jendela kereta. Aku tak menikmati pemandangan yang seakan-akan baru saja diciptakan Tuhan sejam lalu dan kerap dijadikan subjek lukisan oleh para perupa itu.

Aku yakin seandainya dinikmati pada November 1923, saat 4.000.000.000 mark Jerman hanya bisa ditukar dengan 1 dolar Amerika Serikat, kejernihan air sungai-sungai Bad Schandau akan tetap menguarkan keindahan. Aku juga yakin sulur-sulur di tebing-tebing akan tetap memesona meskipun disaksikan pada saat Hitler (sosok yang selalu dihubungkan dengan pembantaian 6.000.000 orang Yahudi) dan pasukannya tiba-tiba menyerbu Munich Beer Hall untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah.

Akan tetapi sekali lagi aku memilih tak melihat pemadangan itu. Aku pun membaca aneka berita dan kutemukan beberapa penyebab malaikat-malaikat di Gerlin bunuh diri. Izr, misalnya, malaikat yang oleh Ye ditugasi mencabut nyawa, bunuh diri dengan menggantung di salah satu pohon di Taman Je.

Je adalah adalah tiruan Taman Sanssouci yang bisa disaksikan oleh siapa pun di Potsdam. Izr tak mau menjadi malaikat lagi karena dia merasa para pemuka agama di Gerlin telah berdandan dan bertingkah seperti dirinya. Para pemuka agama membeli sayap-sayap malaikat dan mengenakan sayap-sayap itu di sembarang tempat. Mereka juga berlagak menjadi makhluk yang mampu mencabut nyawa. Tentu saja mereka mampu mencabut nyawa siapa pun karena ke mana-mana menenteng senapan.

Uhr, malaikat yang senantiasa memberi rezeki tak terduga kepada orang-orang miskin maupun orang-orang kaya, bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari tebing teratas di Bad Schandau ke jurang terdalam. Uhr tak ingin menjadi malaikat lagi karena apa pun yang dia berikan, dibuang di sungai oleh orang-orang Gerlin.

Orang-orang tak mau lagi menerima pemberian Uhr. Uhr tak lagi dianggap sebagai malaikat pemberi, tetapi lebih dipahami sebagai malaikat kafir. Uhr dianggap lebih dekat dengan setan ketimbang para malaikat dan orang-orang beriman. Seluruh warga Kota Gerlin bilang, “Bunuh Uhr! Kita tak membutuhkan malaikat kafir!”

Merasa tak diperlukan oleh orang-orang Gerlin yang merasa paling beriman, Uhr memutuskan bunuh diri. Sebelum bunuh diri, Uhr berdoa, “Ye, Tuhanku, aku akan meninggalkan-Mu. Setelah aku mati, bukan tak mungkin mereka, makhluk-makhluk yang merasa paling beriman itu, akan membunuh-Mu. Mereka telah memiliki tuhan baru.”

Ezrumr, malaikat yang memberi hujan dan menyalakan matahari, bunuh diri dengan melindaskan tubuh di kereta yang sedang melaju dari Gerlin ke Potsdam. Ezrumr bunuh diri karena merasa tak bisa mengatur panjang dan pendek musim panas. Dia juga tak bisa mengatur kapan harus terjadi musim dingin, musim semi, dan gugur. Orang-orang tak lagi bilang, “O, Malaikat Ezrumr sungguh indah musim gugur dan musim semimu tahun ini.”

Semula orang-orang tak menyangka Ezrumr bunuh diri. Akan tetapi begitu melihat pakaian besi dan sayap megah yang masih melekat di tubuh, mereka baru yakin Malaikat Ezrumr telah mati.

Ajehur, malaikat yang melulu membuat orang-orang yang berdekatan dengan dirinya mendengar aneka musik yang lembut dan sangkakala syahdu, bunuh diri dengan cara yang aneh. Setelah membuat orang-orang di Bandara Gerlin Geggell mendengarkan musik yang sangat syahdu, dia berteriak di depan pesawat yang hendak terbang ke Paris. “Ini lagu terakhirku!”

Setelah itu, setelah melengkingkan sangkakala yang menyayat-nyayat, dia menabrakkan diri ke pesawat terbang. Tentu saja sekuat apa pun Ajehur, malaikat murah senyum ini, tetap saja mati. Saat itu, untuk menghormati kematian Ajehur, Bandara Gerlin Geggell tidak beroperasi dua hari.

Baca juga  Penakluk Lebah

Hubahr juga bunuh diri. Sebelum bunuh diri, malaikat yang melindungi orang-orang yang tak beribadah sesuai dengan agama Aohahem di Gerlin itu dihajar di Taman Brumtrasse. Dia ditusuk lembing oleh orang-orang yang mengaku sebagai Tentara Tuhan. Para Tentara Tuhan itu tidak menginginkan di Gerlin ada orang-orang yang beragama selain Aohahem.

Sebenarnya lembing-lembing itu tidak bisa mematikan Hubahr. Darah memang mengucur dari lambung Hubahr, tetapi tak sampai membuat malaikat yang gampang menangis itu tewas. “Baiklah,” kata Hubahr, “Kalau kalian tak menginginkan aku hidup dan Hwe meninggalkan aku begitu saja, aku akan menuruti keinginan kalian. Aku akan membunuh diriku sendiri.”

Hubahr tak membual. Dia terbang ke menara tertinggi, merusak, mematahkan-matahkan sayap, dan akhirnya menjatuhkan diri ke jalan raya. Kepalanya pecah. Wajahnya yang tampan tiba-tiba berubah seperti menjadi raut kelelawar.

***

AKU sampai di Gerlin ketika angin santer menghantam stasiun dan jalanan berlampu aneka warna. Gerlin menjadi kota yang sangat sibuk. Banyak orang berjalan di trotoar tetapi saat berpapasan, mereka membisu.

Mereka asyik dengan diri mereka sendiri. Mereka memasang headset di telinga masing-masing. Jalan penuh dengan mobil. Dulu aku sangat jarang mendengar klakson, kini rasa-rasanya hampir setiap mobil membunyikan klakson. Dulu orang menyeberang dengan tertib, kini siapa pun tergesa-gesa melewati zebra cross tanpa menunggu lampu hijau.

Gerlin menjadi kota yang semrawut. Di kereta banyak orang tak membawa karcis sehingga polisi mengusir mereka dari stasiun-stasiun yang dipenuhi penumpang-penumpang yang entah mengapa mengenakan sepasang sayap di bahu. Ada karnavalkah? Aku tak tahu. Aku tak ingin mencari tahu.

***

AKU tak langsung ke rumah ibuku dan menemui Malaikat Gabriol. Aku lebih memilih ke Einstein Kaffee untuk menemui Dora Bettina. Jauh-jauh hari sebelum pulang ke Gerlin, aku menelepon mantan pacarku yang bekerja di Gerliner Zeitung itu.

Sebagai jurnalis di surat kabar yang berdiri pada 1945 itu, Bettina pasti paham terhadap segala persoalan penting yang terjadi di Gerlin. Bettina menulis 15 berita mengenai malaikat-malaikat yang tewas di Gerlin dalam setahun terakhir. Dalam versi Bettina, tidak ada satu malaikat pun yang bunuh diri.

“Aku yakin malaikat-malaikat itu dibunuh. Mereka memang seakan-akan mati bunuh diri. Akan tetapi sesaat sebelum mereka tewas, ada sosok-sosok tak kelihatan yang membunuh mereka,” kata Bettina.

“Siapa yang membunuh?”

“Aku belum tahu sepenuhnya,” jelas Bettina, “Untuk sementara mereka yang membunuh para malaikat itu kuberi nama Serikat Pembantai Malaikat.”

“Mengapa para malaikat itu dibunuh?” aku bertanya.

“Masih kuselidiki,” kata Dora, “Aku menduga Serikat Pembantai Malaikat tak menginginkan warga Gerlin menjadi makhluk-makhluk lemah pemuja Ye. Tak bisa membunuh Ye secara langsung, mereka membunuh utusan Ye terlebih dulu. Mereka ingin di Gerlin tak ada agama, malaikat, dan tuhan.”

“Siapa anggota Serikat Pembantai Malaikat?”

Bettina terdiam. Bettina lebih memilih menyeruput kopi.

“Para pembaca Nietzsche? Mereka yang menginginkan tuhan lebih baik mati saja?” kataku, ngawur.

Bettina menggeleng.

“Lantas siapa?” aku tak sabar.

“Mereka adalah para pemuja Hobre.”

Hobre? Tentu saja aku tahu siapa Hobre. Hobre sangat tidak suka kepada para pemuja agama Aohahem. Siapa pun yang memuja agama Aohahem, dia bunuh. Tak kurang 8.000.000 orang Hudija (para penganut agama Aohahem) tewas. Ada yang ditembak. Ada yang dikubur hidup-hidup. Ada yang dimasukkan ke dalam truk tertutup sangat rapat dengan knalpot mesin yang diarahkan ke bagian dalam. Ada yang dibunuh di kamar gas.

“Karena usaha membunuh orang-orang Hudija dihalang-halangi oleh para malaikat, Hobre menggerakkan pasukan untuk membunuh para malaikat. Malaikat takluk. Banyak yang terbunuh,” kata Bettina.

Aku mengangguk. Meskipun demikian, aku belum percaya para malaikat dibunuh oleh para tentara. Aku masih percaya kepada ibuku. Aku masih percaya malaikat-malaikat itu bunuh diri.

Baca juga  Kado Istimewa

***

AKU baru yakin Hobre membunuh para malaikat ketika aku menyusup ke Kamp Konsentrasi Hezormides di pinggiran Gerlin. Sebelum menuju ke Hezormides aku membeli sayap dan perisai di toko penyedia perlengkapan karnaval. Aku mengenakan sayap dan siapa pun tak akan bisa membedakan apakah aku malaikat atau orang yang sedang akan mengikuti pawai akbar. Untuk ke Hezormides, aku naik trem.

Tak ada yang takjub. Di Gerlin malaikat dan manusia berbaur. Di tengah jalan, trem dihadang oleh pasukan Hobre. Semua penumpang diminta turun. Aku dan makhluk-makhluk bersayap (mungkin sebagian malaikat asli sebagian malaikat palsu sepertiku) dihardik dan dibentak-bentak. Kami diminta pindah ke truk. Semua menolak perintah pasukan Hobre. Ini membuat pasukan Hobre murka. Mereka menembak kami dengan senapan mesin. “Dasar malaikat Hudija berengsek!” teriak salah seorang tentara, “Kalian memang layak dibunuh.”

Sebagian besar makhluk bersayap tumbang. Sebagian yang lain bisa mengibaskan peluru dengan sayap. Aku termasuk yang tak tumbang karena berada di belakang malaikat asli yang mampu menepis semua peluru. Meskipun mampu menepis peluru-peluru itu, bahu para malaikat berdarah. Itu membuat sayap-sayap mereka tak bisa digerakkan. Para malaikat menjadi sangat lemah. Ini memudahkan pasukan Hobre menangkap mereka dan tentu saja aku.

Tak butuh waktu lama untuk memindahkan tumpukan mayat makhluk bersayap yang telah tumbang ke dalam truk. Tubuh mereka ditumpuk-tumpuk. Tak butuh waktu lama juga memaksa kami untuk naik ke truk. “Kalian memang lebih layak kami kirim ke Kamp Konsentrasi Hezormides. Kalian akan kami bakar!”

Tak ada yang gigrik. Tak ada yang takut sama sekali. Justru karena itulah, aku yakin semua malaikat yang ditangkap sedang ingin bunuh diri. Mereka tak takut dibakar. Mereka tak takut dibunuh. Sepanjang perjalanan ke Kamp Konsentrasi Hezormides, sangat mungkin mereka membayangkan kenikmatan digantung dan kepala dipisahkan dari batang leher, disembur gas beracun, dan dibakar hidup-hidup di krematorium. Di benakku, para malaikat yang bukan gadungan itu, berteriak tak keruan. “Segera bakar kami!”, “Jangan menunda-nunda memberi kematian yang indah!”, “Segera racun kami!”, “Bakar!”, “Bakar!”, “Bakar!”, “Bunuh!”, “Bunuh!”, “Bunuh!”, “Tak ada gunanya kami hidup lebih lama!”

Aku tentu saja gemetar. Akan tetapi karena tak ada kemungkinan untuk hidup, begitu sampai di Kamp Konsentrasi Hezormides, akulah yang justru kali pertama berteriak keras-keras, “Bakar kami, Babi!” Setelah itu muncul teriakan yang sangat keras: “Bakar kami!”, “Bakar kami!”, “Bakar kami!”

Tak ada ampun. Tanpa diperintah oleh siapa pun, para tentara Hobre menggiring kami ke krematorium. Aku tak gemetar lagi saat itu. Bersama para malaikat, aku masuk ke krematorium dengan langkah tegap, dengan hati yang sangat gembira. Kami tak merasa bunuh diri saat itu. Kami menari dan menyanyi ketika api mulai menjilat tubuh kami. Kami merasa melakukan perlawanan berarti dengan tak mengeluh sedikit pun ketika jilatan api mengubah kami menjadi arang atau abu yang mengonggok dalam sunyi, dalam sepi. ***

.

.

Rumah Kisah, 2025

Triyanto Triwikromo. Penulis novel Pertempuran Lain Dropadi. Novelnya yang lain, Seperti Gerimis Merah di Auschwitz, dalam proses terbit. Ia mendapat penghargaan Tokoh Seni 2015 Pilihan Tempo untuk buku Kematian Kecil Kartosoewirjo.

.
.
Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat. Bunuh Diri Para Malaikat.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!