Cerpen Kiki Sulistyo (Solopos, 24-25 Mei 2025)
RUM Tarus tak pernah mengunci pintu rumahnya, baik pintu gerbang, pintu depan, atau pintu kamar. Bahkan, ia kerap membuka lebar-lebar pintu gerbang dan pintu depan. Rum Tarus percaya semakin banyak orang mencuri darinya, semakin banyak rezeki yang akan didapatkannya.
Keyakinan itu terbukti. Setidaknya begitulah yang dilihat para tetangga. Rum Tarus selalu tampak gembira, begitu pula dengan istri dan kedua anaknya.
Tampak gembira artinya bahagia, dan bahagia artinya banyak rezeki. Bukan itu saja, secara kasat mata para tetangga juga bisa melihat rezeki Rum Tarus memang bertambah. Mulanya ia cuma punya satu sepeda motor, yang dipakainya secara bergilir dengan istri dan anak sulungnya. Sekarang, ia punya tiga sepeda motor sehingga mereka tak perlu lagi saling menunggu apabila hendak memakai kendaraan.
Rumahnya juga terus diperbaiki, bahkan kabarnya akan dibuat bertingkat. Kecuali itu, Rum Tarus juga kerap menyumbang uang, baik di masjid saat Sembahyang Jumat maupun ketika ada kegiatan-kegiatan tertentu. Ada orang yang gemar mengamat-amati ketika Rum Tarus menyelipkan uang ke kotak sumbangan. Dari mulut orang itu diketahui Rum Tarus sering menyumbang dengan jumlah di atas rata-rata orang kebanyakan.
Semua orang di perumahan tahu Rum Tarus bekerja pada sebuah yayasan pendidikan yang dikelola sebuah organisasi agama. Istilahnya mengabdi. Dulu ia juga lulusan yayasan tersebut, tempat di mana kini ia menjadi tenaga pengajar. Gajinya tak seberapa. Untuk menambah penghasilan, istrinya berjualan kebutuhan sehari-hari di pasar.
Sekian lama mereka hidup biasa-biasa saja, tak kekurangan, tapi juga tak bisa dibilang berlebih. Maka, di benak orang-orang sungguh mengherankan apabila kekayaan Rum Tarus cepat bertambah, apalagi jika itu dihubung-hubungkan dengan kebiasaan Rum Tarus yang tak pernah mengunci pintu rumahnya.
Pada mulanya orang-orang mengira Rum Tarus cuma lupa. Namun, karena pintu rumah Rum Tarus tetap saja tak dikunci, mereka jadi terheran-heran. Padahal perumahan tempat mereka tinggal tak bisa dibilang aman. Di jalan masuk perumahan tak ada portal dengan penjaga sebagaimana perumahan pada umumnya sehingga orang asing bisa masuk dan keluar kapan saja.
Di perumahan itu tak jarang terjadi pencurian. Setiap hendak keluar rumah atau hendak tidur malam, orang-orang selalu memeriksa berkali-kali apakah gerbang sudah digembok, apakah pintu depan sudah dikunci dengan benar, atau apakah anak kunci kamar sudah dicabut dari induknya. Cuma Rum Tarus yang tidak seperti itu.
Suatu ketika, seusai sembahyang, seorang tetangga bertanya apakah Rum Tarus tak pernah kemalingan. Dengan enteng Rum Tarus menjawab, “Sering kok.”
“Terus?” tanya tetangga itu lagi. “Dibiarkan saja?”
“Ya, begitulah…”
Lama-lama orang resah juga. Membiarkan maling masuk rumah adalah tindakan konyol. Selain karena berarti membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata, juga bisa berakibat lebih buruk. Bagaimana kalau yang masuk rumah bukan lagi maling kelas teri melainkan gerombolan perampok berparang besar? Rum Tarus harus ditegur dan orang yang sewajarnya menegur Rum Tarus adalah Ketua RT. Namun, karena ketua RT tak lain adalah Rum Tarus sendiri maka beberapa warga meminta kepala lingkungan mengambil alih tugas tersebut. Kebetulan, anak kepala lingkungan satu kelas dengan anak bungsu Rum Tarus dan kebetulan pula istri kepala lingkungan adalah tetangga istri Rum Tarus di pasar tempat mereka sama-sama berjualan.
Melalui anak bungsu Rum Tarus, kepala lingkungan menitip pesan agar Rum Tarus berkunjung ke rumahnya. Melalui istri Rum Tarus, istri kepala lingkungan menyampaikan pesan sama.
Rum Tarus tak terlalu mengindahkan pesan tersebut, tapi pada suatu hari ketika ia hendak menjemput anak bungsunya, kebetulan kepala llingkungan ada di rumahnya. Rum Tarus tak bisa menghindar, maka duduklah ia di beranda rumah kepala lingkungan.
Kepala lingkungan menanyakan kabar keluarga Rum Tarus, terutama soal anak sulung Rum Tarus yang akhir-akhir ini tak pernah kelihatan di perumahan. Rum Tarus bilang anak sulungnya melanjutkan sekolah agama di pondok luar pulau. Cuma sesekali anaknya itu pulang.
Setelah berbasa-basi, akhirnya kepala lingkungan menyampaikan keluhan warga. Saat itulah Rum Tarus mengungkapkan keyakinannya bahwa semakin banyak orang yang mencuri darinya, semakin banyak pula rezekinya.
Ditanya perihal dari mana ia memperoleh keyakinan itu, Rum Tarus menjawab bahwa suatu ketika ada seorang guru muda bertandang ke pondok tempat ia mengajar. Guru itu bercerita bahwa ketika dia masih kecil, dia suka mencuri makanan di sebuah kios pasar yang tak jauh dari kampung halamannya.
Guru kecil itu tak sendirian. Dia selalu beraksi bersama beberapa kawannya. Satu orang berpura-pura mengalihkan perhatian si empunya kios dengan menanyakan harga ini dan itu, sementara yang lainnya dengan sigap meraih makanan yang diincar. Sementara itu, kawan-kawan yang lain berjaga di sekitar.
Aksi mereka tak pernah ketahuan. Kelak, kata guru itu, setelah dia dewasa dia tahu bahwa si empunya kios sebetulnya mengetahui aksi mereka. Dengan tenang sekali si empunya kios berkata, “Tak mengapa. Banyak maling, banyak rezeki. Semakin banyak yang maling dari saya, semakin banyak rezeki saya.” Dan, kata si guru lagi, hal itu memang terbukti. Si empunya kios menjadi salah satu orang terkaya di kawasan itu.
Cerita Rum Tarus soal guru itu kemudian menyebar ke semua orang di perumahan. Ada yang menganggap itu mengada-ada dan mengusulkan agar Rum Tarus diturunkan saja dari posisinya sebagai ketua RT. Kata orang-orang, tak ada hubungan antara kekayaan Rum Tarus yang terus bertambah dengan keyakinannya yang tidak masuk akal.
“Tentu saja dia bisa tambah kaya, kan organisasi tempat dia bekerja baru dapat proyek tambang!” serunya berapi-api.
Tidak banyak yang menimpali pendapat orang ini. Kebanyakan orang menerima keyakinan Rum Tarus sebagai karomah. Bahkan salah seorang warga, yang tak lain adalah tetangga sebelah rumah Rum Tarus, memilih mengikuti keyakinan itu. Ia mulai membiarkan semua pintu rumahnya tak terkunci.
Tentu saja rumahnya segera kemalingan. Ketika kali pertama maling masuk rumahnya dan menggondol beberapa barang elektronik, tetangga itu senang. Kemalingan artinya rezeki akan bertambah. Kedua kali, beberapa barang lain menyusul hilang, tetangga itu masih sabar menunggu rezeki yang bakal bertambah. Namun, karena rezeki yang ditunggu-tunggu tak juga datang, saat kali kelimanya maling masuk rumahnya dan hendak menyambar sepeda motor, tetangga itu tak bisa lagi bersabar. Ia segera berteriak sejadi-jadinya lantas menghambur keluar sembari mengacung-acungkan linggis. Maling berhasil melarikan diri. Namun, untunglah sepeda motor tak sempat diangkut.
“Jangan-jangan dia yang mengorganisir maling-maling itu!” kata orang yang sebelumnya berbicara soal proyek tambang. Dia yang dimaksud adalah Rum Tarus. Saat itu, warga berkumpul di warung kopi untuk membahas peristiwa kemalingan yang dialami tetangga Rum Tarus. Mereka memutuskan berjaga-jaga.
Apabila ada orang yang mencurigakan masuk rumah siapa saja harus langsung dihajar. Tak ada maling yang boleh masuk ke perumahan itu. Semua warga setuju. Dengan berapi-api mereka siap mengganyang siapa saja.
Kepala lingkungan yang memimpin pertemuan mengusulkan agar mereka menunggu keputusan Rum Tarus. Bagaimana pun Rum Tarus masih menjabat sebagai ketua RT. Namun, warga menolak usul tersebut. Mereka tampaknya sudah sama-sama sepakat menuntut Rum Tarus turun dari jabatannya meski tak ada satu pun warga yang membicarakan hal itu.
Pada akhirnya, kepala lingkungan mau tidak mau ikut setuju. Sementara itu, Rum Tarus tidak hadir sebab ia memang sedang ditugaskan keluar daerah oleh pimpinan yayasan.
“Bagaimana kalau yang punya rumah mengizinkan dengan ikhlas siapa saja yang mau maling di rumahnya?” tanya istri kepala lingkungan setelah suaminya menceritakan hasil pertemuan warga. Kepala lingkungan tak bisa menjawab. Ia hanya bilang bahwa sebagai pimpinan ia harus mendengar suara terbanyak.
Tiga malam kemudian, tetangga yang sebelumnya kemalingan, melihat seseorang masuk ke rumah Rum Tarus. Tetangga ini memang yang paling bersemangat dalam menjaga keamanan lingkungan. Sejak peristiwa kemalingan yang dialaminya, ia kerap tidur larut malam.
Kurang tidur membuat dendam dan kemarahan meluap-luap dalam tubuhnya. Ia juga kerap berkeliling perumahan, seakan-akan warga telah mengangkatnya menjadi satpam. Malam itu, dengan mata memicing ia melihat ada orang yang masuk rumah Rum Tarus. Orang itu mengendap-endap keluar sambil menuntun sepeda motor. Tanpa menunggu lama, tetangga itu segera berteriak sejadi-jadinya lantas menghambur keluar sambil membawa linggis.
Warga serentak turut berhamburan keluar seakan-akan tak ada satu pun dari mereka yang sudah tidur. Mereka langsung memburu si maling yang tampak panik, tak tahu mau lari ke arah mana. Maling itu tak sempat menghindar.
Satu pukulan menghantam kepalanya disusul pukulan lain. Ia pun tumbang. Orang-orang segera menghajarnya. Istri dan anak bungsu Rum Tarus ikut keluar.
Di tengah hiruk pikuk, anak bungsu Rum Tarus berteriak kepada ibunya sambil menunjuk-nunjuk kerumunan, “Ibu! Itu Abang! Itu Abang!” ***
.
.
Mataram, September 2024
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).
.
.
Banyak Maling, Banyak Rezeki. Banyak Maling, Banyak Rezeki. Banyak Maling, Banyak Rezeki. Banyak Maling, Banyak Rezeki. Banyak Maling, Banyak Rezeki. Banyak Maling, Banyak Rezeki. Banyak Maling, Banyak Rezeki.
Leave a Reply