Ahmad Amroe, Cerpen, Kaltim Post

Membungkam Anarki

Membungkam Anarki - Cerpen Ahmad Amroe

Membungkam Anarki ilustrasi Kaltim Post

0
(0)

Cerpen Ahmad Amroe (Kaltim Post, 18 Mei 2025)

SIANG itu sang surya menyinari bumi begitu teriknya. Menghiasi hari dengan cahaya keemasan yang begitu menyengat apa saja yang diterpanya. Di balik itu, sang bayu bertiup semilir menyusupi, mengembuskan tipis-tipis sedikit kesejukan. Menyentuh lembut pori-pori kulit untuk sekadar membantu menepiskan kegerahan.

Namun damainya suasana hati menikmati hari kini mulai berangsur pergi. Ada momen tak menyenangkan mengusik ketenanganku yang sedang menikmati makan siang di warung ini. Ada banyak pecahan piring berserakan di tanah. Piring yang terbuat dari tanah liat itu nyaris mengenai kepalaku tadi saat terlempar. Saat itu aku berpura-pura menunduk mengambil lidi yang terjatuh dari meja, untuk menghindari kesan bahwa aku tahu ada sesuatu yang berbahaya meluncur ke arahku. Aku enggan menangkisnya karena tak mau mengotori baju ataupun tanganku akibat serpihannya. Selain itu, karena aku tak ingin identitas asli diriku terbuka di sini.

Aku bernama Samiun Prawira. Pendekar Pisau Sakti yang berasal dari Perguruan Bulan Sabit di Puncak Bukit Kembar. Perawakanku tinggi dan -kata orang-orang sih- wajahku tampan. Tanpa kumis. Tanpa jenggot. Juga tanpa cambang. Seorang jagoan beladiri tak mesti brewokan kan. Aku mengenakan baju lengan panjang dan terkancing lengkap. Tanpa ada celah dada sedikit terbuka karena beberapa kancing sisi atas yang tak terkait layaknya para jagoan di zaman ini. Aku sama sekali tak suka memamerkan raga berotot ini seperti mereka.

Aku bahkan tak ingin terlihat sebagai seseorang yang mahir bela diri meskipun kenyataannya aku seorang pendekar. Aku lebih suka menyembunyikannya. Kupakai ikat kepala agar rambut panjang sebahu ini tidak menutupi pandangan saat menunduk. Ikat kepala merah dan baju merah ini dipadu celana panjang hitam, menurutku adalah pakaian yang cukup santun dan jauh dari kesan jagoan. Kesan tersebut memang harus kuhindari agar aku dapat bergerak leluasa di mana pun aku berada.

Dari guruku, Eyang Jayaraga, aku diamanahi misi menemukan kembali buku rahasia perguruan Bulan Sabit yang telah dicuri oleh kakak seperguruanku, Gerta Wangsa. Kini dia melarikan diri membawa buku itu entah ke mana. Dan aku harus menemukannya. Demikian perintah guru.

Selama dua bulan berkelana ini, sudah dua desa yang kudatangi. Berbaur dengan masyarakat layaknya orang biasa. Menjadi kuli, buruh pasar, pencarí kayu bakar, atau buruh tani kulakoni selain demi terpenuhinya kebutuhan hidup, juga demi mendapatkan informasi keberadaan Gerta.

Namun hingga hari ini, belum juga membuahkan hasil. Bagiku, jalani dan nikmati saja hidup ini. Kini aku memasuki desa baru lagi. Ini desa yang ketiga. Setelah lelah berjalan, waktunya untuk istirahat dan makan. Kulihat ada warung kecil, maka singgahlah aku di sini.

Namun kini makan siangku terganggu ulah seseorang yang sengaja melemparkan piring ke arahku.

“Hahahaa. Seharusnya kena sih,” seorang pemabuk tertawa di seberang meja sana.

“Oh nekat juga orang itu,” gerutuku dalam hati. “Dia sengaja mencari gara-gara.” Dialah yang melempar piring tadi ke arahku.

“Atau aku coba lagi ya?”

Seketika aku melotot mendengarnya. Tanpa melihatnya, sejurus kemudian lidi yang kupungut tadi kusentilkan sedikit. Begitu cepat. Nyaris terlihat tanpa gerakan. Lidi melesat cepat dan tepat menusuk ibu jarinya. Tembus.

“Aduh … duh .. duh .. apa ini?? Kenapa ada lidi di jariku! Aduh, sakit! Sakiitt!!” Dia mengerang kesakitan karena lidinya tertancap dengan sempurna di daging ibu jarinya. Tentu saja dengan begitu dia tak akan bisa lagi melempar apapun ke arahku.

Baca juga  Dalam Lingkaran Laut

Aku bangkit dari tempat dudukku lalu menghampiri ibu penjual di warung makan ini. Aku membayar makanan dan minuman yang kupesan tadi. Termasuk piring yang pecah tadi sambil meminta maaf meski itu bukan salahku. Sebenarnya aku belum selesai makan karena masih menyisakan sebiji pisang. Tetapi aku lebih memilih pergi meninggalkan warung itu. Masalah sebaiknya kuhindari. Begitu pikirku.

Aku tak begitu suka makanku terganggu. Dan juga tak ingin ada keributan. Apalagi berurusan dengan pemabuk.

Sambil berjalan, aku mengunyah pisang dari warung tadi. Terus berjalan. Begitu nikmat hingga akhirnya aku merasakan sesuatu yang tak lazim di belakangku. Aku berhenti melangkah. Ada orang yang membuntutiku. Kucoba pejamkan mata sejenak.

“Oh dua orang. Sekarang bersembunyi dibalik pohon mangga itu,” gumanku dalam hati setelah mencoba melihatnya dengan mata batinku. Tanpa menoleh.

Aku lempar kulit pisang ke udara. Meluncur ke atas lalu mulai jatuh ke bawah. Dan ketika kulit pisang itu sudah menyentuh tanah. Aku telah berpindah tempat. Kedua orang yang mengikutiku tadi keluar dari persembunyian. Terheran-heran melihat hanya kulit pisang yang ada di tanah yang kupijak tadi.

“Lho, kemana orang tadi ya??”

“Cepat sekali hilangnya!”

“Aku di sini. Ada apa mengikutiku?”

Keduanya terkejut dan mencari asal suaraku. Betapa kagetnya mereka ketika melihatku sudah berdiri di atas pohon mangga, pohon tempat mereka bersembunyi tadi.

Kulihat mereka berusaha tenang. Tak menjawab sedikitpun pertanyaanku tadi. Aku pun melompat turun dari atas pohon. Mendarat tepat di depan mereka. Keduanya mundur sedikit dan langsung memasang kuda-kuda untuk bertarung.

“Aku tak punya masalah dengan kalian. Aku juga tak kenal kalian. Kalian tak mau menjawab pertanyaanku tadi, tak apa. Yang penting, minggir. Aku mau lewat!” kataku sambil menyingsingkan lengan baju merah ini.

“Justru karena kamu orang baru masuk desa ini, kamu harus bayar!” salah seorang dari mereka mulai berbicara dengan setengah membentak.

“Oh. Hehehe…. Harus membayar bila masuk desa ini ya?”

“Iya! Serahkan uangmu!”

“Cepat!!”

“Bagaimana kalau aku tak mau membayar?” ujarku pada kedua orang yang menurut perkiraanku, mereka remaja berusia 17 tahunan.

“Kamu akan menyesal. Tangan atau kakimu bisa patah. Kami tak main-main bila bertarung. Jadi, jangan sampai membuat kami marah!”

“Bagaimana bila yang patah itu tangan atau kaki kalian? Kalian baru menyesal?”

“Orang ini pintar bicara juga. Korin, kita kasih dia pelajaran. Biar dia tahu apa jadinya bila berhadapan dengan si kembar jagoan pasar, Korin dan Gorin!”

“Pedagang-pedagang di pasar sangat kenal dengan kami. Lambat sedikit memberi upeti, dagangan mereka akan kami obrak-abrik. Orang baru yang masuk ke desa ini bila tak mau membayar, bakal babak belur. Kami dan guru kami tak main-main mengatasi orang-orang yang berani menentang kami.”

“Oh … Nama kalian Korin dan Gorin. Berarti yang berbaju kuning itu Korin. Dan kamu yang berbaju biru ini Gorin. Tapi, guru kalian di mana?”

“Jangan banyak bicara. Ciaaaatt!” Gorin maju melesatkan pukulan.

Aku tersenyum tipis lalu berkelit menghindari. Kaki kanan kubuka sedikit ke samping. Akibatnya, Gorin tersandung dan jatuh.

Kulihat Korin pun memulai serangannya dengan menggunakan tongkat rotan panjang. Melesat membelah udara di depanku. Tak kena karena aku sudah membaca arah serangannya, jadi cukup bergeser sedikit ke kiri. Korin hilang keseimbangan dan jatuh. Tongkat rotan itu terlepas.

Baca juga  Pakarena

Kusentakkan kakiku ke ujung tongkat itu. Tongkat lalu terangkat dan kutangkap. Kulempar ke atas dan akhirnya senjata Korin itu tersangkut di salah satu dahan pohon mangga yang tinggi.

“Aman. Kini dia tak bersenjata,” pikirku.

Aku mulai serius karena aku tak ingin membuang waktuku berlama-lama di sini. Kuda-kuda serangan kupasang. Kedua kakiku membuka selurus bahu. Kedua tanganku menyilang di depan wajah dengan posisi seluruh jari tangan membuka lebar lalu perlahan mengepal.

Kedua lawan di depanku seperti terperangah melihat ancang-ancangku. Mereka buru-buru berdiri dan memperbaiki sikap lalu mulai memasang kuda-kuda juga.

Namun mereka cuma bisa terhenyak ketika aku melesat hilang dari hadapan. Dan tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka. Kedua tanganku sudah mencengkeram kuat batang leher mereka masing-masing dari belakang.

“Bergerak sedikit, leher kalian akan remuk,” ucapku di dekat telinga mereka.

Seketika itu juga kulihat mereka berkeringat dingin. Cengkeraman tanganku makin kukencangkan. Rasa sakit pasti sudah mulai menjalari leher mereka.

“Akh… Akkkhh… Ampun, Bang .. Ampun. Ma.. ma.. maafkan.. ka..kamii…. Akkhh…,” ucap Korin terbata-bata sembari melirik Gorin yang tak mampu bersuara karena cengkeramanku sangat kuat di batang lehernya.

Aku tersenyum. Lawan sudah menyerah. Aku pun melepaskan mereka. Korin dan Gorin terduduk sambil memegangi leher masing-masing yang memerah.

“Hehehe … Baiklah. Hari ini kuampuni. Jangan halangi aku lagi,” aku kemudian berlalu di depan mereka.

“Ap.. apa.. apakah abang ini Samiun Prawira?”

Aku tersentak dan berhenti melangkah ketika mendengar pertanyaan Korin.

Aku berbalik dan bertanya. Berpura-pura tak mengerti, “Siapa dia? Siapa Samiun Prawira yang kamu maksud?”

“Ya, abang lah yang saya maksud Samiun Prawira itu.”

“Oh ya?” tanyaku lagi penasaran.

“Kemarin guru kami berkata, bila nanti bertemu dengan pemuda yang tinggi kekar. Tampan. Memakai ikat kepala merah, berbaju merah dan celana hitam…”

“Ah, orang seperti itu banyak. Para jawara di wilayah kerajaan Majapahit ini kan juga ada yang seperti itu. Sudahlah jangan ganggu aku,” sanggahku memotong kata-katanya.

Aku berbalik. Ingin cepat-cepat melangkah pergi.

“Ta.. Tap.. Tapi kata guru kami, kuda-kuda serangnya itu kedua kaki membuka selurus bahu. Lalu kedua tangan menyilang di depan wajah dengan posisi seluruh jari tangan membuka lebar lalu perlahan mengepal. Itulah Samiun Prawira, begitu katanya,” lanjut Korin.

Aku berhenti lagi tapi tanpa menoleh. “Lalu apa katanya lagi?”

“Bi… bi.. bila bertemu dengannya, larilah secepat mungkin. Karena dia bukan tandinganmu. Gerakannya sangat cepat, nyaris tak terlihat. Jurusnya mematikan. Dia punya senjata dibalik bajunya. Tujuh pisau yang bila dilemparkan, seperti terbang, melesat tepat ke arah sasaran.… Dan, dia bernama Samiun Prawira, si Pendekar Pisau Sakti,” sambung Gorin.

Aku membalikkan diri dan tersenyum tipis.

Tiba-tiba sebuah tombak meluncur cepat ke arahku. Aku tersentak dan refleks melompat menghindari. Tombak itu tertancap di tanah dan seseorang mendarat lalu mencabut senjata berjangkauan panjang itu.

“Samiun Prawira. Hahahaaa … Akhirnya kita bertemu lagi.”

Tampak seorang lelaki paruh baya dengan rambut panjang yang diikat. Kumis dan jenggotnya yang panjang menambah keseraman wajahnya.

“Guru!!” seru Korin dan Gorin.

“Oh ini guru kalian?” tanyaku setengah tak percaya.

“Namanya Pak Gawil, kan. . Dia ini maling di desa sebelah. Aku yang meringkusnya malam itu. Seharusnya kamu tak berani lagi muncul di depanku, Pak tua,” kataku memperjelas tentang pak tua yang mungkin dialah selama ini melatih Korin dan Gorin bela diri hingga mereka memanggilnya guru.

Baca juga  Kitab Tipu Muslihat

Mungkin dia pula yang mengajarkan hal-hal tak benar seperti memalak para pedagang di pasar dan orang baru yang memasuki desa ini.

“Kamu boleh besar kepala karena berhasil mengalahkanku saat itu. Tapi kali ini, berbeda. Kamu akan ku …”

Belum selesai berbicara, aku sudah melesat dan mendaratkan pukulan keras ke perutnya. Itu pukulan dengan tenaga dalam. Dia tumbang. Langsung pingsan. Tanpa sempat berkata-kata lagi, meski hanya sekadar mengucapkan kata “aduh”.

Aku muak melihat orang yang suka menyusahkan orang lain. Biang keladi kesengsaraan masyarakat. Biang kerok anarki.

Aku berjalan menghampiri Korin dan Gorin. Mereka seperti ketakutan setelah melihatku dengan mudahnya membungkam sang guru.

“Dengarkan nasehatku, tinggalkan dia. Orang yang mengajarkan keburukan, kejahatan, dan kebatilan tidak pantas disebut guru. Dia cuma memanfaatkan kalian untuk memeras masyarakat dan berbuat onar agar ditakuti. Jangan korbankan waktu dan masa depan kalian untuk hal-hal tidak baik dan sia-sia. Ibu kalian tidak melahirkanmu untuk menjadi orang sesat. Tapi menginginkan anaknya menjadi orang yang baik, punya harga diri, dan bermartabat,” ucapku.

Aku lalu berbalik, melangkah pergi menjauhi mereka. Namun baru beberapa langkah kakiku menyusuri jalan setapak ini, aku merasa ada yang membuntutiku lagi.

“Kalian masih mengikutiku. Apakah kata-kataku kurang jelas agar jangan menggangguku? Atau kalian kurang paham betapa mengerikannya jurus peremuk batang leher tadi?”

“Ampun, Bang. Kami cuma mau ikut. Kemanapun Bang Samiun pergi, kami ikut. Kami ini sudah yatim piatu. Keluarga pun tak ada. Kami tak punya tempat untuk pulang. Izinkan kami ikut, Bang,” ucap Korin memelas.

“Kami ingin jadi orang baik. Orang yang benar. Seperti nasehat Bang Samiun tadi,” sambung Gorin setengah memelas.

Aku terdiam sejenak. Terhenyak karena mereka bilang, yatim piatu dan tak punya keluarga. Tak ada tempat untuk pulang.

“Baiklah, kalian boleh ikut aku. Tapi, aku bukanlah orang kaya. Bila perlu uang, aku juga biasa bekerja sebagai kuli panggul di pasar, buruh, atau kuli bangunan untuk mendapatkan upah. Buat makan dan keperluan yang lain. Hidupku pun juga berpindah-pindah. Tidak menetap,” terangku.

“Aku mengembara karena sedang mencari buku milik perguruanku yang hilang dicuri oleh kakak seperguruanku. Aku tak tahu sampai kapan perjalananku ini. Tapi aku senang saja bila kalian memang ingin mengikutiku. Jadinya aku punya teman perjalanan,” sambungku.

“Sebenarnya aku tidak ingin membahayakan kalian karena aku tak tahu apa dan bagaimana bahaya di depan nanti. Tapi kalau kalian memang yakin ingin ikut. Boleh lah. Setidaknya aku tak perlu lagi berjalan sambil melamun, karena sekarang sudah ada teman bicara. Dua orang lagi,” lanjutku.

Korin dan Gorin tertawa. Aku pun akhirnya ikut tertawa. Kami pun lalu melangkah berjalan bersama. Menyusuri jalan, yang entah di mana nanti ujungnya. Kami berhenti sejenak untuk beristirahat bila mulai terasa lelah. Namun satu hal yang pasti bagi kami, untuk menjadi orang baik, tak ada kata lelah dan berhenti. ***

.
.
Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki. Membungkam Anarki.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Anonymous

    Jelaskan dari penulis, dari bagian frasa Anarki itu apa?

Leave a Reply

error: Content is protected !!