Cerpen, Kaltim Post, Sahari Nor Wakhid

Aku Telah Haji

Aku Telah Haji - Cerpen Sahari Nor Wakhid

Aku Telah Haji ilustrasi Kaltim Post

3
(2)

Cerpen Sahari Nor Wakhid (Kaltim Post, 25 Mei 2025)

HARI pertama setelah kepulanganku, aku berjalan di pasar desa dengan kepala tegak. Warga desa menyambutku dengan hormat, menyebutku Pak Haji Hamid. Namun, mereka yang mengenalku dengan baik merasa ada yang aneh. Meskipun aku telah pulang dengan gelar haji, tabiatku tetap sama. Aku masih sering marah-marah, bahkan lebih sering memamerkan gelarku.

Aku duduk di sebuah warung kopi bersama beberapa warga desa, termasuk Haji Mahmud. Pembicaraan pun mengalir dengan ringan hingga satu topik muncul.

“Pak Haji Hamid, bagaimana pengalaman haji kemarin? Pastinya luar biasa, ya?” tanya Udin, salah satu warga.

“Tentu saja, Din. Semua orang sangat ramah. Rasanya seperti di surga,” balasku dengan bangga.

Haji Mahmud yang duduk di sudut, memperhatikan dengan saksama. Pandangnya penuh curiga seolah ingin mengkritisi omonganku.

“Hamid, kau merasakan perubahan dalam dirimu setelah pulang dari haji?”

“Perubahan? Maksudmu apa, Pak Haji?” balasku seraya mengangkat bahu.

“Pergi haji bukan hanya tentang perjalanan fisik, Hamid. Itu adalah perjalanan spiritual. Seharusnya ada perubahan dalam hati dan perilaku kita. Apakah kau merasa lebih sabar, lebih pemaaf?” ucapan Haji Mahmud terasa semakin meneror.

“Aku tidak tahu. Yang jelas, sekarang aku seorang haji. Itu yang penting, bukan?”

“Status sosial adalah ilusi, Hamid. Kehormatan sejati datang dari hati yang tulus dan perilaku yang baik. Haji bukanlah mahkota yang bisa dipamerkan, tetapi adalah cermin yang memantulkan kebijaksanaan dan kedewasaan kita.”

Udin mendengarkan percakapan kedua haji tersebut dari tadi. Terasa ganjil baginya ikut menyela di saat yang tidak tepat. Saat kesempatan hinggap padanya, ia pun memberanikan diri mengangkat suara.

“Betul sekali, Pak Haji Mahmud. Saya pernah mendengar bahwa haji yang mabrur adalah yang meninggalkan kesan baik dalam perilaku sehari-hari, bukan hanya di depan orang lain, tetapi juga di hadapan Tuhan.”

Baca juga  Mengapa Nasi Mak Tumi Basi?

“Kalian tidak mengerti. Orang-orang menghormatiku sekarang. Itu yang penting!” balasku merasa sedikit malu, namun harga diriku terlalu tinggi.

“Hamid, jika hanya status yang kau cari, itu seperti mengejar bayangan. Semakin kau mengejar, semakin ia menjauh. Kehormatan sejati adalah buah dari kebaikan hati dan kebijaksanaan jiwa,” Haji Mahmud seperti tahu di dalam hatiku, ia menatapku dengan tatapan penuh belas kasihan.

Sepulang dari warung kopi, kata-kata Haji Mahmud terus terngiang di kepalaku. Aku duduk sendirian di beranda rumah.

Ingatanku terlontar saat akan pergi haji dulu. Hari itu, di tengah rintik hujan yang lembut, aku berbicara dengan istriku. Hujan menetes perlahan menciptakan irama yang menenangkan.

“Aku ingin pergi haji, Siti,” kataku dengan nada penuh tekad.

“Kenapa tiba-tiba, Bang? Bukankah pergi haji itu butuh persiapan yang matang, baik dari segi fisik maupun batin?” Siti menatapku dengan mata yang penuh keheranan.

“Aku hanya ingin dihormati seperti Pak Haji Mahmud. Lihatlah bagaimana orang-orang memperlakukannya, seperti seorang raja. Setiap kali dia lewat, semua orang memberikan salam, bahkan memintanya untuk memimpin doa.”

“Pergi haji itu bukan hanya soal status sosial, Bang. Itu adalah ibadah suci. Kalau hanya untuk mendapatkan penghormatan, apa gunanya?” ucap Siti penuh kegetiran di dalamnya.

“Kau tidak mengerti, Siti. Di desa ini, status adalah segalanya. Aku bosan menjadi orang biasa. Aku ingin dihormati, dianggap penting.”

Debat itu tak kunjung reda. Aku tetap pada pendirianku. Akhirnya, dengan berbagai cara, aku berhasil mengumpulkan uang dan berangkat. Aku pulang dengan gelar baru, Haji Hamid.

“Bang, apa yang kau pikirkan?” suara Siti membuyarkan lamunanku, aku menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan.

Baca juga  Pemilin Kematian

“Mungkin aku salah, Siti. Mungkin yang dikatakan Pak Haji Mahmud benar. Aku terlalu terobsesi dengan status hingga melupakan esensi dari ibadah itu sendiri.”

Siti menggenggam tanganku erat. Rasa syukur yang telah lama aku lupakan karena memiliki istri yang begitu peduli.

“Oh, ya, Bang. Aku belum cerita mengenai Pak Haji Mahmud. Sebenarnya, Pak Haji Mahmud yang bijaksana itu adalah seorang yang belum pernah menunaikan ibadah haji. Dia hanya seorang yang selalu menolong orang lain, rendah hati, dan memiliki kebijaksanaan luar biasa. Warga desa menghormatinya bukan karena gelar, tetapi karena perilakunya yang selalu memberi teladan baik.”

“Jadi, sebutan haji itu orang-orang saja yang memberikan?” tanyaku penuh penasaran.

“Iya, Bang. Sebutan itu hanyalah tanda penghormatan dari warga desa. Mereka melihat keikhlasan dan kebijaksanaan Pak Haji Mahmud yang luar biasa. Sehingga tanpa gelar pun, dia tetap dihormati sebagai sosok yang mulia,” Siti tersenyum lembut, namun penuh makna.

Aku terdiam, merenungkan perkataan Siti. Selama ini, aku begitu terpaku pada gelar dan status. Aku beranggapan bahwa menjadi seorang haji akan otomatis mendatangkan penghormatan dan pengakuan. Namun, kisah tentang Pak Haji Mahmud membuka mataku.

“Bang, kau tahu, yang membuat seseorang dihormati bukanlah gelarnya, tetapi bagaimana ia menjalani hidupnya dan berbuat baik kepada sesama. Pak Haji Mahmud selalu menekankan pentingnya keikhlasan dalam berbuat baik. Itulah yang membuatnya begitu dihormati.”

“Siti, aku menyadari betapa aku telah melupakan nilai-nilai itu. Aku terlalu sibuk mengejar status hingga melupakan esensi dari ibadah itu sendiri,” aku menghela napas panjang, merasa malu pada diri sendiri.

“Tidak ada kata terlambat untuk berubah, Bang. Jadikan perjalanan hajimu sebagai pelajaran berharga. Kembalilah menjadi dirimu yang sejati, yang penuh dengan keikhlasan dan kebaikan hati.”

Baca juga  Mbah Mar

Perlahan, aku tersenyum. Kata-kata Siti menenangkan hatiku yang gundah. Aku merasa beban di pundakku mulai terangkat.

“Terima kasih, Siti. Kau selalu tahu bagaimana mengingatkanku pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.”

Hatiku tiba-tiba mekar serupa warna senja yang menampakkan sinar indahnya.

Sejak saat itu, aku berusaha menjadi pribadi lebih baik, bukan karena gelar atau status, tetapi karena ingin menjalani hidup dengan penuh keikhlasan dan kebijaksanaan. Aku belajar dari Pak Haji Mahmud bahwa kebijaksanaan dan penghormatan sejati tidak datang dari gelar, melainkan dari hati yang tulus dalam berbuat kebaikan.

Aku mulai mengubah cara pandang terhadap kehidupan. Aku bukan lagi mencari pengakuan melalui gelar atau kedudukan, melainkan melalui perbuatan baik yang dilakukan dengan ikhlas. Setiap kali aku merasa ragu atau tergoda untuk kembali ke jalan yang lama, aku mengingat nasihat Siti dan teladan Pak Haji Mahmud. Keikhlasan dan kebijaksanaan menjadi kompas hidupku. Aku menyadari bahwa penghormatan sejati datang bukan dari apa yang terlihat di luar, tetapi dari kebaikan yang tulus dari dalam hati. ***

.

.

Sahari Nor Wakhid, Guru SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur. Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak tahun 2020. Telah menerbitkan 9 buku solo dan 38 antologi bersama. Buku paling mutakhirnya adalah Perempuan yang Menuju Dermaga (Novel 2025). Bisa dikontak melalui IG @saharienwe.

.
.
Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji. Aku Telah Haji.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!