Bamby Cahyadi, Cerpen, Pikiran Rakyat

Akhir Cerita yang Tak Diharapkan

Akhir Cerita yang Tak Diharapkan - Cerpen Bamby Cahyadi

Pengepungan ilustrasi Aditya NA/Pikiran Rakyat

4.3
(6)

Cerpen Bamby Cahyadi (Pikiran Rakyat, 10 Mei 2025)

PAGI ini tak dapat dihindari lagi peperangan tengah menuju ke arah Jakarta. Di mana-mana terlihat kesibukan di kalangan militer untuk mempersiapkan diri mempertahankan Jakarta setelah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung dan kota-kota di Jawa Barat serta Banten tumbang dikuasai pihak musuh.

Daerah tempatku tinggal di apartemen Kalibata City seolah-olah memang disiapkan menjadi arena perang terbuka, di setiap menara apartemen dikelilingi senjata perang bermacam jenis. Mengingat kawasan apartemen kami bersebelahan dengan Taman Makam Pahlawan Kalibata yang merupakan obyek vital nasional yang perlu dilindungi negara.

Aku tinggal di apartemen ini setelah pindah dari Bandung, sepuluh tahun yang lalu. Dulu rumah perpustakaanku—aku menyebutkan demikian—di Bandung jauh lebih bagus, terdapat halaman yang cukup luas untuk berkebun. Pun isi rumah dilengkapi berbagai mebel perabot dan segala isinya yang kukumpulkan sejak pertama aku bekerja di sebuah restoran cepat saji. Sekarang kupastikan rumah beserta isinya itu telah musnah kena serangan bom dan rata dengan tanah. Membayangkan Kota Bandung kini telah dikuasai pihak musuh hatiku pedih.

Terlebih lagi rumah di Bandung kurancang laiknya perpustakaan. Dinding rumah dipenuhi barisan buku dengan rak-rak yang tidak begitu tinggi sehingga tidak diperlukan tangga-tangga tinggi beroda yang diletakkan di samping rak-rak buku berselang-seling kayak perpustakaan di luar negeri. Di rumah yang kusebut perpustakaan itulah biasanya aku menyalurkan hobi terpendam, ialah menulis cerita fiksi.

Aku memutuskan membeli apartemen di Jakarta untuk tujuan investasi, setelahnya aku sewakan melalui sebuah biro properti. Hingga suatu ketika aku dipindah tugas ke kantor pusat di Jakarta, aku pun mulai menempati unit apartemen ini. Kini kondisi kawasan apartemen ini sangat penuh dengan pengungsi dari pinggiran Jakarta yang berhasil menyelamatkan diri. Tidak hanya kawasan Kalibata City yang penuh, kurasa semua tempat di Jakarta telah dipenuhi warga kota pinggiran yang berhasil selamat dan mengungsi ke kota ini.

Sejak zaman sebelum perang seperti sekarang ini, Kota Jakarta yang pernah menjadi ibu kota negara rupanya telah mempersiapkan diri dengan infrastruktur pertahanan militer yang mumpuni dan paripurna.

Kudengar kabar saat ini hanya ada 5 kota yang masih bertahan. Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, diam-diam ketika membangunnya, pemerintah melengkapi dengan peralatan pertahanan perang seperti yang dimiliki zionis Israel. Banda Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam pascabencana tsunami besar pada 26 Desember 2004, rupanya telah dibangun benteng besar yang tersembunyi di pesisir pantai sepanjang garis pantai Aceh. Ketika ada bahaya seperti perang saat ini, benteng itu secara otomatis keluar dari tanah dan membentang melindungi wilayah kota. Lalu Denpasar di Bali, jelas, Bali adalah daerah wisata yang menyumbangkan devisa terbesar bagi negara. Denpasar dilengkapi infrastruktur pangkalan militer yang lengkap. Kota lainnya ialah Jayapura di Papua, dalam usaha meredam gerakan separatis ternyata pemerintah melengkapi Jayapura dengan fasilitas militer yang modern. Kota selanjutnya tentu saja Jakarta, tetapi memang fasilitasnya tidak secanggih IKN.

Baca juga  Keroncong Cinta

Kondisi Jakarta khususnya di kawasan apartemen ini sesungguhnya amat menyedihkan setelah berminggu-minggu dikepung pasukan musuh, pasokan bahan bakar minyak, sembako gas, listrik, dan air bersih menjadi sangat terbatas. Kemarin aku antre untuk mendapatkan air layak minum dalam kemasan. Dan itu adalah kemasan galon terakhir yang tersisa. Ya, pemerintah melarang kami meminum air yang bersumber dari air tanah atau jaringan PDAM karena dikhawatirkan telah terkontaminasi senjata kimia pihak musuh.

Malam hari Jakarta gelap gulita. Listrik sengaja dipadamkan agar sirene tanda bahaya serangan udara bisa dibunyikan dengan sisa energi listrik yang tersedia. Menara apartemen tempat tinggal kami sesungguhnya sudah tidak dipergunakan lagi. Di setiap menara mempunyai lahan parkir luas dan besar di rubanah, di tempat itulah kami menetap tidur berlindung dan menyimpan segala macam barang berharga yang tersisa. Area parkir rubanah benar-benar menjelma sebagai lubang perlindungan dari serangan udara musuh.

Di setiap Menara, kami membentuk kelompok rubanah hampir semuanya perempuan dan anak-anak karena sebagian besar laki-laki dewasa bahkan remaja bertugas di garis depan di batas kota untuk bertempur. Laki-laki yang ada di kelompok kami adalah mereka yang sudah tua atau lelaki muda yang terluka dan cacat akibat perang atau ada juga lelaki muda pengecut yang tidak berani maju ke medan pertempuran. Di kelompok rubanah menara apartemenku, aku ditunjuk sebagai juru bicara karena aku menguasai beberapa bahasa asing

Dari hari ke hari, keadaan Jakarta semakin gawat. Meskipun memiliki infrastruktur pertahanan yang canggih, tetapi karena diisolasi oleh pasukan musuh berpekan-pekan, penghidupan warganya terasa sangat berat karena kebutuhan pokok makin sulit didapatkan. Peluru artileri pun makin kerap berdesingan di angkasa dan suara bom tidak henti-hentinya meledak di hampir semua penjuru langit kota lantas menerjang apa pun yang ditemuinya.

Baca juga  Mimpi Berjumpa Gus Dur

***

HARI ini saat cahaya matahari melindap, terjadilah keheningan yang mencekam dan mengerikan. Menjelang tengah malam, komandan pasukan militer yang menjaga wilayah TMP Kalibata mengabarkan kepada kami, para perwakilan kelompok rubanah apartemen, bahwa musuh telah melewati garis pertahanan Kota Jakarta. Pasukan yang berjaga di kawasan TMP dan apartemen Kalibata telah diperintahkan mundur untuk berjaga di kawasan Bundaran Monas dan Istana Merdeka. Sebagian persenjataan laras panjang yang ada di setiap menara diserahkan kepada kami untuk dipakai sekadar mempertahankan diri apabila musuh masuk ke kawasan apartemen.

Kejadian dramatis akhirnya dimulai sore esok harinya. Ketika kami sedang mempersiapkan makan malam, terdengar langkah-langkah kaki yang berat datang mendekat. Satu peleton serdadu musuh rupanya berhasil merangsek ke wilayah apartemen dan satu regu pasukan tempur musuh bersenjata lengkap dengan tangkas menemukan kelompok rubanah kami. Kemunculan seregu serdadu membuat kami terkesiap menggigil ketakutan karena sadar bahwa sesuatu yang mengerikan bakal terjadi. Senjata laras panjang yang disandang beberapa perempuan dewasa di kelompok kami menjadi tak berguna.

“Siapa yang bertanggung jawab di sini?” tanya seorang yang mungkin komandan regu pasukan.

Aku yang sudah telanjur sanggup menjadi juru bicara terpaksa berdiri dan maju selangkah dari anggota kelompok yang terduduk ketakutan. Tentara yang bertanya itu hanya menatapku. Ia tidak mengucap sepatah kata pun, tetapi ia maju tiga langkah ke arahku, mencoba mengamati wajahku lebih dekat karena memang hari sudah sore dan kondisi rubanah cukup temaram. Anggota pasukan yang lain bersiaga dengan senjata terkokang di tangan.

Terus terang aku merasakan puncak ketakutan. Gejalanya sama seperti ketakutan menghadapi kematian. Sumsum tulang belakang di punggung terasa dialiri air es yang sangat dingin dari atas ke bawah berulang-ulang. Detak jantung terdengar berdentam-dentam tak keruan. Situasi mengerikan ini mendadak mencair ketika seorang anak kecil dari anggota kelompok kami berdiri dan menyodorkan setangkai permen lolipop yang tengah ia kulum-kulum kepada komandan serdadu yang sedang berhadapan denganku itu.

Tentara itu menyeringai, lantas tersenyum sambil menggelengkan kepala tanda bukan permen manis keras yang berbentuk bulat warna-warni dan memiliki tangkai atau tongkat itu yang ia inginkan. Melihat ia tersenyum dan tampak sedikit ramah, kugunakan kesempatan ini untuk bicara meski dengan suara bergetar.

Baca juga  Cipung

“Apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu?” spontan kalimat itu yang melesat dari bibirku.

Si Komandan itu tersenyum lagi mendengar suaraku, mungkin ia tersenyum karena bahasa yang kuucapkan terdengar tidak enak di telinganya. Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab, ia menggelengkan kepala ketika kutawari rokok elektrik, minuman beralkohol atau alat pemuas seksual untuk laki-laki. Ia menaikkan alisnya. Sesaat kemudian, ia baru berucap, hanya satu patah kata, “Internet!”

Internet yang ia maksud bukanlah jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan jaringan komputer dan fasilitas komputer yang terorganisasi di seluruh dunia melalui telefon atau satelit. Bukan! Bukan internet itu yang mereka butuhkan.

Aku dan semua anggota kelompok menggelengkan kepala. Ia memandang kami dengan tajam, menyeringai lagi, tampaknya ia cukup mengerti gelengan kepala kami dan tanpa tambahan kata-kata ia pun meminta pasukannya untuk mundur, pergi meninggalkan kami menuju pusat kota setelah sebelumnya mereka melucuti senjata kami.

Manusia adalah makhluk yang sangat dungu. Mereka mempunyai sesuatu yang mungkin sangat bernilai harganya, namun terkadang mereka abai menjaganya seperti internet yang di maksud. Ya, aku mau jujur perihal cerita ini. Sesungguhnya internet yang mereka butuhkan ialah penyebab negara-negara lain menyerang dan menggempur habis-habisan Indonesia: Indomie Telor Kornet!

Anda berpikir aku bercanda saat mengarang cerita ini? Kenyataannya, hal sepele itu penyebab perang dunia ini. Kini aku berdiri di atas balkon lantai yang retak-retak dan hampir runtuh sambil tertawa-tawa memandang Menara-menara apartemen lain di depanku yang telah hancur lebur akibat perang tak berkesudahan. ***

.

.

Apartemen Kalibata City, 01 April 2025

Bamby Cahyadi penulis cerpen kelahiran Manado yang berasal dari Tasikmalaya. Buku kumpulan cerpennya: Tangan untuk Utik (2009), Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (2012), Perempuan Lolipop (2014), Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (2016), dan Seminar Mengatasi Keluhan Pelanggan (2022).

.
.
Akhir Cerita yang Tak Diharapkan. Akhir Cerita yang Tak Diharapkan. Akhir Cerita yang Tak Diharapkan. Akhir Cerita yang Tak Diharapkan. Akhir Cerita yang Tak Diharapkan. Akhir Cerita yang Tak Diharapkan.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!