Cerpen

Di Bawah Pohon Kersen

Di Bawah Pohon Kersen - Cerpen Atta Verin

Di Bawah Pohon Kersen ilustrasi Antonius Kho/Kompas

3.1
(23)

Cerpen Atta Verin (Kompas, 23 Mei 2021)

AKU berada di atas batang pohon kersen yang kuberi nama Tuwut bersama buku gambar bajak laut dan bolpen merah yang kucuri dari meja kerja Papi. Dari atas aku bisa melihat ke ruang kerja Papi yang tampak berantakan karena terlalu banyak tumpukan buku, kertas, dan botol-botol berserakan. Hampir tidak ada ruang untuk meletakkan sebejana bunga potong atau sekotak kertas warna-warni bertuliskan mantra pengusir sedih. Jendela di sana hanya menjadi jalan masuk cahaya matahari.

Dari atas pohon aku juga bisa melihat bagian utara dapur tempat Mami biasanya duduk menyalin resep masakan, membuat kue, atau mendengarkan musik kesukaannya sambil membuat selimut dari kain perca.

Aku bisa pula melihat bagian belakang rumah Bu Madya di bawah bukit sana. Perempuan salih, kata Mami. Ia senang memberi dan selalu menyapa siapa pun yang berpapasan dengannya. Bahkan seekor kambing sekali pun. Biasanya dia ada di beranda belakang itu sambil mengupas singkong, mangga, atau menumbuk kacang tanah. Ia memang senang membuat banyak makanan lalu membagikannya kepada siapa pun yang dia temui.

Kemudian aku juga bisa melihat Sori, anak laki-laki seumurku—baru sebelas tahun—yang sering mengintip dan mencuri pandang ke arahku. Kata Papi, orang tua Sori tidak tahu bahasa Inggris karena kalau tidak mereka pasti tak akan memanggilnya Sori. Mungkin jadinya Anshor karena menurut Papi akan lebih aneh lagi kalau namanya lengkap disebutkan, yakni Anshori. Papi pikir itu berarti “Maafkan aku”. Mungkin bagi Papi itu terdengar seperti “I’m sorry.”

Sori sebenarnya lebih senang bermain di lapangan, tetapi kata Mami dia sengaja nongkrong di teras samping rumahnya yang berbatasan dengan rumah Bu Madya hanya agar aku bisa membalas mengintipi dia. Tetapi aku tidak pernah merasa perlu mengintip. Dia terlihat jelas dari pohon kersenku. Dari sela-sela halaman buku yang kubaca, atau boneka-boneka kain yang kubawa naik ke atas pohon, dia akan terlihat sesekali, seperti penjual es badeg langganan Papi yang seharusnya setia datang seminggu sekali saja, tapi setiap hari selalu menampakkan diri berharap Papi akan membeli dagangannya.

Suatu hari Sori melempariku yang sedang berada di atas pohon kersen dengan mainan plastik berbentuk miniatur tentara. Tentara kecil hijau tua itu memakai helm, menyandang bedil panjang, dan ada ransel kecil di punggungnya. Lucu. Tapi ada kertas yang diikat karet pada mainan itu. Isinya: “Nang kali, yok!”

Dia mengajakku bermain di sungai. Tapi aku tidak mau ke sungai tanpa Papi. Bukan karena takut hanyut atau bertemu ular, tapi karena hanya Papi yang selalu punya cerita tentang sungai. Aku yakin si Sori ini tidak bisa mengalahkan Papi soal itu.

Namun, sepertinya anak laki-laki ini agak bandel dan keras kepala. Tidak berhasil dengan lima mainan tentara hijau, dia lalu melempariku dengan buah-buahan—apel mentah, tomat mentah, jambu monyet, dan belimbing mentah. Semuanya berasal dari halaman belakang rumah Bu Madya.

Kukembalikan semua buah-buahan mentah itu kepadanya beserta jawaban di atas kertas bekas kalender China: “Nggak”, “Emoh”, “Gendeng”. Begitu terus kuulang-ulang.

Baca juga  Apa Yang Lebih Kuat dari Maut?

Sori mungkin sering melihatku bersama Papi di sungai. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Jika semua bekal makanan dan minuman yang dibawakan Mami habis, barulah kami pulang. Sepertinya dia iri. Dia pasti ingin tertawa-tawa dan asyik bermain bersama kami, tapi dia terlalu malu untuk bertemu Papi yang dia sebut “Om Bule” itu. Sebetulnya aku bisa saja bermain bersama dia di sungai atau di atas sini, di bawah kerimbunan daun-daun beludru Tuwut. Tetapi, dia belum memberiku cukup alasan untuk bermain bersama.

Aku pernah tak sengaja mendengar Mami mengobrol dengan Bu Madya tentang Sori. Mami ingin agar aku punya teman bermain. Namun, Bu Madya berkata bahwa sebaiknya aku bermain bersama Asti saja. Asti anak perempuan tukang jamu langganan Mami yang usianya lebih tua sedikit dariku. “Biar sekalian momong Mira,” kata Bu Madya kepada Mami.

Mami sepertinya tidak setuju. Mami mengatakan pendapatnya tentang itu kepada Papi ketika Papi menemaniku membaca sambil tiduran di bawah Tuwut. Aku membaca di atas tentu saja, di tempatku. Mami pikir, karena aku berada dua meter di atas mereka, aku tak akan jelas mendengar pembicaraan mereka. Mami salah.

Aku bisa mendengar Mami keberatan jika Asti datang ke rumah kami karena nanti ibunya yang tukang jamu Mami itu jadi punya alasan untuk berlama-lama juga di rumah kami. Mami menuduh ibunya Asti itu suka mencuri barang-barang di dapur, dimasukkan ke dalam tas atau disisipkan ke bawah tumpukan botol jamunya.

Papi bertanya apakah Mami pernah melihat langsung perbuatan itu. Mami menjawab ia pernah melihat sendiri. Satu kali ketika Mami sedang membuatkan mereka teh manis dan membalikkan badan tiba-tiba, Mbak Sari ibunya Asti itu sedang menjejalkan sendok-sendok kecil yang gagangnya berhias bendera negara-negara peserta Olimpiade ke dalam gendongan jamunya. Itu koleksi kesayangan Mami pemberian kerabat jauh Papi.

Mami lalu mengalihkan obrolan. Ia bertanya kenapa Papi membiarkan aku berlama-lama di atas pohon kersen setiap hari. Kata Mami, tetangga kami mulai menjulukiku munyuk bule karena aku terlalu sering berada di atas pohon kersen.

Papi lalu berteriak ke arahku dalam bahasa Inggris. “Hei, Em, kamu keberatan kalau dipanggil munyuk bule?” tanya Papi sambil tertawa berderai.

Aku hanya menjawab, “Uh, huh!” sambil menggeleng.

Aku memang tidak peduli mau dijuluki apa pun. Mereka punya hak berpendapat dan menjuluki siapa pun semau mereka. Tapi aku tak peduli. Lalu Papi menjelaskan kepada Mami bahwa memanjat pohon kersen membuat badanku lentur dan pohon ini mengajari aku banyak hal.

“Mengajari?” ulang Mami tak percaya.

“Pohon kersen daunnya banyak dan rimbun. Mira harus menyapanya dulu dan meminta izin sebelum mencari dan memetik buah-buah kersen yang sudah matang. Kadang-kadang Mira membujuknya dengan mengelus-elus batang utamanya sambil minta izin untuk memanjatnya. Nah, kalau sudah diajak bicara baik-baik begitu, buah-buah merah ranum yang tadinya tidak terlihat dari bawah akan terlihat sedikit demi sedikit. Itu karena pohonnya sudah memberi izin Mira memanjat dan memetiki buahnya. Meminta izin terlebih dahulu juga membuat batangnya akan membantu Mira naik, tidak mudah patah, dan memudahkan kaki kecil Mira menjejaknya. Kamu boleh tak percaya, tapi Mira sudah membuktikannya sendiri. Kamu bisa mencobanya sendiri, Sayang. Coba kamu memanjatnya tanpa minta izin dan minta izin baik-baik kepada pohonnya. Kamu akan merasakan bedanya.”

Baca juga  Layang-Layang Tanpa Kepala

Dari atas pohon kersen aku bisa melihat Mami melongo mendengar penjelasan Papi. Tapi kemudian Mami tersenyum dan mencubit tangan papi dengan mesra. Aku tertawa senang. Aku yakin betul Mami tidak memercayainya.

“Ya, ya, ya… Kamu pasti mengira aku sedang mengarang. Tak apa-apa. Tapi Mira belajar banyak dari pohon kersen ini. Ia membawa alat untuk mengambil buah-buah kersen di ranting terjauh yang tak terjangkau tangan kecilnya. Alatnya ia buat sendiri dari botol plastik bekas yang dia temukan di dapur dan ia sambungkan dengan gagang sapu bekas. Ketika ia memanjat membawa alat itu, ia tidak bisa membawa buah lebih banyak dari yang bisa ditampung oleh alat yang dibawanya itu. Ia diajari untuk merasa cukup meskipun masih banyak buah kersen ranum di pohon ini. Ia belajar untuk tidak serakah. Aku katakan kepada Mira bahwa buah-buah yang tidak bisa ia petik itu mungkin memang harus ia sisakan untuk burung atau hewan lain. Dan Mira paham itu. Ia belajar bersyukur dengan buah yang bisa dia dapatkan, berterima kasih pada pohon ini, dan menikmatinya. Dengan semua itu, ia merasakan buah yang ia petik jadi jauh lebih nikmat dari seharusnya.”

Mami tertawa-tawa lagi.

“Kamu tidak percaya, ya? Sekali-sekali kamu harus melihat bagaimana putrimu naik ke atas pohon ini. Ia akan berbicara dan membuat perjanjian terlebih dulu. Ia meminta pohon ini memastikan dulu bahwa tidak ada ular atau lebah berbahaya yang diam-diam menunggunya di atas sana. Mira menjalin hubungan baik dengan pohon kersen ini.”

Mami tertawa lepas. Aku bisa membaca isi kepala Mami ketika dia tertawa. Mami menertawakan bahasa Indonesia Papi yang menurut Mami aneh. Dan semua yang dikatakan Papi dimaklumi Mami sebagai gangguan pemahaman Papi dalam berbahasa. Berbeda dengan Mami yang orang Jawa, Papi memang orang asing. Dia berasal dari Skotlandia. Mereka bertemu dan saling jatuh cinta dua belas tahun lalu saat Papi melakukan penelitian di desa ini. Setahun setelah mereka menikah, lahirlah aku.

Aku tidak pernah tahu apakah Mami pada akhirnya memahami apa yang dimaksud oleh Papi atau tidak. Tetapi kuharap Mami akhirnya tahu.

***

Malam itu empat lelaki yang tak kami kenal menerobos masuk ke rumah kami. Aku mendengar Mami menjerit-jerit. Ketika aku memburu ke kamar mereka, Papi menangkap tanganku dan menarik tubuhku ke balik lemari. Aku tahu Papi menatapku tajam meski di dalam kegelapan. Kedua tangannya merengkuh wajahku, menciumiku, lalu berbisik di telingaku, “Bersembunyilah dengan Tuwut. Jangan turun sampai siang. Papi dan Mami menyayangimu!”

Aku didorong Papi untuk merangkak keluar dari pintu dapur, keluar perlahan ketika orang-orang itu berusaha mencari benda-benda berharga di kamar Papi dan Mami. Aku lalu naik ke atas Tuwut, pohon kersenku. Aku memeluknya erat-erat sambil menangis tanpa suara dan duduk dalam kegelapan di tempatku biasa duduk membaca komik.

Tanpa aku berkata apa pun, aku yakin Tuwut tahu apa yang kurasakan. Tuwut memelukku. Daun-daunnya merapat, menghangatkan tubuhku di udara dingin malam. Angin menggoyang-goyangkan dahannya, tapi aku merasakan Tuwut menimang-nimangku, seperti Mami atau Papi menggendongku ketika aku kecil untuk meninabobokan aku.

Baca juga  Hidayah di Ujung Sya’ban

Dari atas Tuwut aku mendengar jeritan Mami dan Papi, bentakan orang-orang serakah itu, tawa keji mereka, dan bunyi barang-barang pecah. Lalu terdengar suara orang-orang itu ribut mengambil mobil kami. Dua orang di antara mereka membawanya pergi dengan banyak barang di dalamnya. Dua orang lagi entah ke mana.

Aku diam menanti di atas Tuwut. Aku tidak berani turun. Dua penjahat yang lain mungkin sedang menungguku di dalam rumah. Tetapi kemudian semuanya hening.

Aku merasa Tuwut memelukku, menidurkanku. Lama kemudian aku terbangun oleh teriakan Bu Madya. Langit sudah terang. Perempuan setengah baya itu berteriak-teriak di bawah sana memanggilku. Tetapi aku tak mau meninggalkan Tuwut. Aku memeluknya erat. Aku tahu Tuwut juga memelukku. Dia tidak mengizinkan aku turun meninggalkannya.

“Mira, sini turun, Nak!” ratap Bu Madya.

Ada banyak orang di bawah sana. Mereka keluar masuk rumahku. Orang-orang menggotong tubuh Mami dan Papi yang tak bergerak ke dalam sebuah mobil, lalu tubuh dua lelaki jahat itu.

Aku tak mau pergi meninggalkan Tuwut. Aku tahu kini aku hanya punya Tuwut. Aku tak mau turun meskipun orang-orang mengambil tangga untuk menurunkanku. Bu Madya dengan kakinya yang gemetaran berusaha naik ke atas Tuwut. Tetapi aku tetap tidak mau turun.

Lalu, Sori datang. Dia merentangkan tangannya dan berteriak, “Nang kali, yok!”

Wajah Sori tampak aneh. Mungkin dia baru saja menangis. Aku ingin pergi ke sungai bersamanya, ingin mandi dan berendam. Namun, aku bisa merasakan bahwa Tuwut tidak mengizinkan aku turun.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak tahu bagaimana turun dari ketinggian Tuwut. Di atas pohon aku merasa aman. Aku tidak suka berada di bawah pohon kersen. ***

.

.

 Atta Verin adalah ibu penuh waktu, penulis, penerjemah, dan pegiat literasi. Dia menulis cerpen, puisi, novel, dan laporan jurnalistik. Novel terjemahannya yang telah terbit, antara lain, Namaku Merah Kirmizi (Orhan Pamuk, 2006—diterjemahkan bersama Anton Kurnia). Kini dia bergiat bersama putrinya, Amorafati “Maura” Antonia, di Ponggy (Ponggok Green Library), sebuah perpustakaan dan arena kreatif yang dia rintis dan semai di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah.

Antonius Kho, lahir tahun 1958 di Klaten, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan seni rupa di Bandung, melanjutkannya di Koln, Jerman. Menerima sejumlah penghargaan, antara lain, 1st Prize “Mask in Venice” Art Addiction Annual di Venesia (1998), Gold Masks “Diploma of Excellence”, Palazzo Correr di Venesia (1989). Sejak 2004, mendirikan Liang Art Space (Wina Gallery), di Ubud, Bali.

.
Di Bawah Pohon Kersen. Di Bawah Pohon Kersen. Di Bawah Pohon Kersen. Di Bawah Pohon Kersen.

Loading

Average rating 3.1 / 5. Vote count: 23

No votes so far! Be the first to rate this post.

7 Comments

  1. Kal

    Woi siapa itu yang kasih bintang cuma satu?!

  2. Sastra Jamu Puyeng

    Ilustrasinya bagus.

    Ceritanya nggak.

  3. Edi Miswar

    Bagus. Suka sama cerita dan ilustrasinya.

  4. Bagus, aku senang

  5. Dave

    Cerita ini ialah potret anak muda bernama Mira, bercampur darah (Barat dan Jawa) yang mencari identitasnya dan posisinya di kampung Jawa. Aspek kejawen terlihat dalam bahasa Jawanya dan kepercayaan Jawanya. Narator aktor Mira, anak perempuan berusia 11 tahun, yang suka banyak menyendiri di pohon Kersen, sehingga tak ada interaksi yang bermakna dengan anak lain di kampung. Ada Sori, anak sesusia di kampung yang berusaha membuat Mari menjadi temannya dan mengajak dia main di kali. Meskipun begitu Sori terus ditolak karena Mari lebih suka ikut Papinya, peneliti budaya Jawa untuk berpiknik sekeluarga di tepi kali dan mendengarkan cerita Papinya. Papinya, orang asing (Skotlandia) juga menghabiskan banyak waktu di ‘benteng’ dia sendiri yaitu di kamar studinya di antara buku-bukunya dan banyak menulis. Tampaknya dia peminum dan tersurat sangat sedih. Papi pada Mari juga memeluk kepercayaan Jawa dan percaya pohon Kersan yang menjadi ‘benteng’ anaknya memiliki ruh dan yakin pohon itu mengajar anaknya banyak pelajaran yang bermanfaat tentang kehidupan. Ironisnya ada orang Barat yang menganut kepercayaan ini dan mengajar anaknya tentang kepercayaan ini. Namun keasingan Papinya juga mencuat, dia memakai bahasa Inggeris pada anaknya, memperolok nama ‘Sori’, dan waktu berbicara pada istrinya dalam bahasa Indonesia, maksudnya agak susah dipahami istrinya. Sebaliknya Maminya, orang Jawa yang pragmatis dan selalu sibuk menyalin resep dan memasak, bergaul sama orang orang kampung lagipula mencari teman bagi Mari agar tidak terus menerus menyendiri. Si Mira sudah dijuluki munyuk bule oleh orang kampung dan walaupun Mari tak tersinggung oleh julukan itu jelas orang kampung menganggap dia berbeda (berkulit putih dan menyendiri), jadi terpisah dari orang kampung. Di akhir cerita dengan pembunuhan orang tuanya di tangan anggota gerombalan watku merampok rumahnya, pilihan Si Mari adalah tetap menyendiri di tempat yang aman di pohon Kersen atau turun dan menjadi bagian dari kampung suatu tempat tinggal orang yang baik dan jahat.

Leave a Reply

error: Content is protected !!