Cerpen, Kartika Catur Pelita, Solopos

Mengapa Nasi Mak Tumi Basi?

Mengapa Nasi Mak Tumi Basi? - Cerpen Kartika Catur Pelita

Mengapa Nasi Mak Tumi Basi ilustrasi Hengki Irawan/Solopos

2.7
(6)

Cerpen Kartika Catur Pelita (Solopos, 16-17 November 2024)

WARUNG makan Mak Tumi jauh berdiri sebelum pabrik konfeksi milik orang Korea itu dibangun. Warung makan Mak Tumi beratap rumbia, berdinding bambu. Menu makanan yang dijual masakan rumahan: sayur asem, sup, lodeh, pecel, semur tempe, ayam, tahu, dan telur. Pembeli berjubel. Sebagian besar karyawan pabrik konfeksi.

Karena pabrik buka 24 jam, maka warung Mak Tumi juga buka sepanjang hari. Mak Tumi yang memasak di dapur dibantu anak bungsunya dan dua orang tetangga. Mak Tumi juga melayani langsung pembeli.

Mak Tumi seorang yang ramah, mungkin inilah sebab mengapa warungnya laris, tentu selain harga makan relatif murah. Mak Tumi tahu berapa penghasilan buruh pabrik.

Siang terik pukul dua belas siang, warung ramai pembeli. Pembeli antre. Mak Tumi dan anaknya melayani dengan ramah dan cekatan.

“Lodeh, Mak.”

“Sup dua, Mak.”

“Sup udang atau sup ayam?”

“Es teh manis, Mak.”

Karena kursi di warung sudah penuh sebagian pembeli memilih duduk di kursi di luar warung, di pekarangan, dan di bawah pohon mangga.

***

Warung makan Bu Hajidu berdiri setelah pabrik konfeksi dibangun. Warung makan Bu Hajidu berupa bangunan tembok, berlantai keramik, luas, dengan jendela berkaca besar. Makanan yang dijual beraneka menu: sayur, lalap, penyet, olahan ayam, bebek, daging merah, dan seafood. Warung Hajidu juga buka selama 24 jam.

Warung Hajidu dikelola pasangan suami-istri bergelar haji. Pelayan warung berjumlah sepuluh orang, anak muda dan berseragam. Bu Hajidu duduk di kasir, urusan masak diserahkan kepada keponakannya yang konon lulusan sekolah chef luar negeri dan pernah bekerja di hotel berbintang.

Warung makan Hajidu terletak di seberang pabrik, sementara warung makan Mak Tumi berada di deretan pabrik. Jadi, pembeli tidak perlu menyeberang jalan.

Warung Mak Tumi dan warung Hajidu berhadapan, hanya dipisahkan jalan raya yang saban hari berlalu lalang kendaraan. Siang nan terik itu, di balik meja kasir, Bu Hajidu mengamati pembeli yang tengah bersantap siang.

Pembeli tidak melulu makan di tempat, ada sebagian membungkus. Bu Hajidu tersenyum semringah, sesaat saja, karena ketika dari warung dia memandang warung Mak Tumi, api membara tumbuh di dadanya.

***

Menjelang sore bakda Asar, saat suasana warung sedang tidak banyak pembeli, Bu Hajidu meninggalkan warung. Dia mengecek kondisi suaminya yang sedang tidak enak badan. Ketika dia memasuki rumahnya yang bersebelahan dengan warung, di ruang tengah sang suami sedang duduk santai bermain ponsel.

“Katanya sakit, Kang.”

“Sudah enakan.”

“Bantuin di warung, jaga kasir. Aku gerah, ingin mandi.”

“Oke, Mah. Eh, mengapa wajah mamah sungut-sungut gitu sih?”

“Warung buluk laris, warung kita sepi, Kang.”

Baca juga  Cerita Septo

“Bukankah sudah biasa.”

“Benci aku, Kang. Aku tidak tahu sebabnya, mengapa dari dulu warung kita tidak bisa seramai warung buluk itu.”

“Memang dari dulu sudah begitu, Mah. Yang penting warung kita masih jalan, masih punya pelanggan. Pemasukan masih bisa buat memutar modal, membayar pelayan, dan sedikit bisa menabung.”

“Kalau begini terus kapan kita bisa naik haji lagi, Kang?”

“Kalau ingin naik haji lagi kan bisa jual tanah, Mah.”

“Bukan itu maksudku, Kang. Kang tidak paham maksudku sih. Aku ingin warung kita laris sehingga untung kita banyak dan bisa buat ongkos naik haji. Padahal warung kita bangunannya lebih megah. Jualan kita juga lebih banyak, modal kita lebih besar, tapi mengapa kalah laris dengan warung buluk itu? Ternyata benar yang dikatakan orang kalau dia menggunakan pelaris. Aku akan cari tahu supaya warung kita laris dan warung buluk itu bangkrut.”

“Terserah, Mamah. Sudah, Mamah jangan cemberut mulu, nanti cantiknya hilang.”

“Apakah benar aku masih cantik, Kang?”

“Iya, Mah. Swear. Mamah perempuan paling cantik. Sana Mamah mandi dulu, setelah itu dandan cantik supaya warung kita semakin laris.”

“Jangan merayu, Kang. Tidak ada hubungan aku dandan atau tidak. Konon pelaris itu pakai makhluk gaib, mungkin saja aku sudah wangi dan cantik, tapi karena disalahi warung buluk sehingga orang melihatku tidak cantik atau masakan warung kita tidak enak. Akhirnya mereka memilih jajan di warung buluk itu.”

Praduga-praduga buruk semakin tumbuh mengakar di dada Bu Hajinu. Api kebencian bergelora membara.

***

Bu Hajidu memandang lamat-lamat lelaki kerempeng yang berdiri di depannya. Supri, pelayan warung sekaligus orang kepercayaan, mengabarkan sesuatu yang membuat harapan Bu Hajidu kembali menyala.

“Apakah benar yang kau katakan, Pri. Aku ingin bukti.”

“Bener, Bu Haji. Aku tidak bohong. Aku bisa bikin warung buluk sepi, kemudian bangkrut.”

“Dengan cara seperti kemarin? Ke dukun? Hei, dukun mana yang lagi yang kau bilang ampuh?”

“Tidak. Kali ini tidak ke dukun. Ada teman yang punya jimat agar warung sainganmu bisa sepi dan bangkrut-krut.”

“Bagaimana caranya?”

“Aku beri tahu nanti. Tapi, syaratnya Bu Haji yang harus melakukannya sendiri.”

“Aku?”

“Iya. Tentu nanti aku dampingi. Aku ajari caranya.”

“Aku setuju. Ayo kita lakukan.”

“Tidak bisa sembarang waktu. Menunggu Jumat Kliwon. Ada ubarampe dan sajen.”

“Apa saja sajen-nya?”

“Air.”

“Air?”

“Iya. Air Sinatah. Air Sinatah sangat mujarab. Jika ada orang yang kita benci kita cipratkan saja air Sinatah ke rumahnya, nanti dia tidak betah dan menjual rumah atau tanahnya. Jika seorang pejabat terkena cipratan air Sinatah, dia akan linglung dan pikun, kemudian berhenti dari jabatannya. Jika ada warung laris, kemudian kita ciprati air Sinatah, warung laris itu akan bangkrut.”

Baca juga  Veronika Punya 4 Ayah 4 Ibu

“Nah, itu yang aku inginkan, Pri. Aku ingin warung buluk itu bangkrut.”

“Itu cara mudah, Bu Haji.”

“Segera kaucari air Sinatah.”

“Tidak semudah itu mendapatkan air Sinatah, Bu Haji. Ada cara khusus untuk mendapatkan air itu. Aku nanti yang ke sana dan semadi. Tentu saja ada ongkos untuk ke sana. Dusun Sinatah ada di kaki Gunung Muria.”

“Tak perlu khawatir. Nanti ongkos aku yang tanggung. Yang penting berhasil dan aku tak ingin kali ini gagal?”

***

Malam Jumat Kliwon. Kebetulan hujan. Tengah malam, Bu Hajidu dan Supri mendatangi warung Mak Tumi. Supri sudah membawa sebotol besar air Sinatah di dalam tas ranselnya.

“Bu Haji tumben datang ke warung kami. Maaf, ada perlu apa?”

“Aku perlu pertolonganmu, Mak Tumi. Aku mendapat pesanan dan laukku habis. Bisakah aku membeli nasi dan laukmu?”

“Dengan senang hati. Apa saja lauknya? Berapa bungkus, Bu Haji?”

“Ayam atau telur. Sepuluh, Mak Tumi. Aku tunggu ya di luar.”

“Silakan.”

Bu Hajidu dan Supri berada di halaman warung ketika Mak Tumi sedang membungkus makanan. Wak Hajinu diam-diam mencripratkan air dalam botol di halaman rumah Mak Tumi. Bu Hajidu membaca mantra yang sudah diajarkan oleh Supri.

Setelah ritual selesai mereka memasuki warung untuk mengambil makanan pesanan. Sebelum pamit, Bu Hajidu meminta izin pipis ke kamar mandi. Ternyata, Bu Hajidu menuangkan air Sinatah ke sumur Mak Tumi.

***

Siang terik. Jadwal makan siang. Puluhan buruh mendatangi warung makan Mak Tumi, tetapi kemudian menyeberang ke warung makan Bu Hajidu.

Ternyata air Sinatah manjur. Warung Mak Tumi siang itu benar-benar sepi. Mak Tumi terlihat gelisah ketika menjelang sore makanan dan lauk masih utuh. Tak ada pembeli datang.

“Ada apa, Mak?” tanya si anak bungsu.

“Tidak ada apa-apa. Hanya ada yang aneh. Nasi yang kita tanak lama matang sehingga siang hari dan ketika buruh datang nasi belum matang dan mereka pulang kecewa. Ketika nasi sudah matang, eh mengapa cepat basi.”

“Iya, Mak. Padahal beras yang kita gunakan sama. Dandang, air, dan pawon.”

Mak Tumi menggunakan pawon dan selama ini lancar-lancar saja, tapi hari itu benar-benar aneh. Nasi yang lama matang. Ketika nasi tanak, belum ada tengah malam, nasi sudah basi. Hal seperti itu terjadi beberapa hari secara berulang-ulang. Mak Tumi bingung. Sepekan kemudian menutup warungnya.

“Mengapa warungnya tutup, Mak?” tanya seorang pembeli yang siang itu hendak makan.

“Mak harus pulang kampung. Ada kerabat punya hajat.”

Di kampungnya, usai mendatangi kerabat yang punya hajat. Mak Tumi dan anak bungsunya menyambangi orang pintar di kampungnya. Wak Ajib Sukarta namanya.

Baca juga  Nusantara Abad 16

Wak Ajib berumur tujuh puluh tahun dan membujang. Konon Wak Ajib menjadi orang pintar karena perewangan. Menurut penerawangan Wak Ajib, ada seseorang yang membuat warung Mak Tumi sepi bahkan bangkrut.

“Apakah ada orang yang tega berbuat begitu, Wak?”

“Terkadang kita berpikir semua orang baik pada kita. Ternyata ada yang menyimpan iri dengki pada kita.”

“Selama ini aku tidak memiliki musuh, Wak. Aku berjualan untuk meneruskan hidup setelah ditinggal mati suamiku. Aku membuka warung demi menghidupi anak-anak agar mereka bisa sekolah atau kuliah. Sebagai ibu aku bertanggung jawab mengentaskan mereka. Sekarang setelah kejadian ini, apa yang harus kulakukan, Wak?”

***

Mak Tumi pulang dari kampung. Beberapa hari kemudian dia kembali membuka warung. Tentu saja sebelumnya dia membersihkan pekarangan, halaman, dan sekeliling rumahnya. Wak Ajib, si orang pintar, memberinya air dan sekantung abu. Sambil merapal doa, Mak Tumi menyipratkan air dan menebarkan abu di sekeliling halaman dan empat pojok rumahnya.

Mak Tumi dan anak bungsunya mengucapkan syukur. Tidak ada keanehan lagi, nasi yang ditanak matang sesuai waktu, nasi juga tidak basi. Pelanggan kembali berdatangan. Warung Mak Tumi ramai seperti dahulu kala.

***

Siang terik, para pelanggan sedang makan di warung Mak Tumi ketika terjadi keributan. Di warung Hajidu orang-orang berlarian keluar dari warung makan. Ada api membara di dalam warung. Entah dari mana datangnya api yang mengamuk dan membakar seluruh isi warung, bahkan merembet ke rumah Hajidu. Para pelayan berlarian menyelamatkan diri. Bu Hajidu dan suaminya berteriak meminta tolong.

Tidak ada yang berani menolong saat sepasang suami istri membopong brankas dan mereka terkepung lautan api. Orang-orang, termasuk para pelayan, hanya berani memandang.

Supri hanya berteriak-teriak seperti orang gila.

Orang-orang, termasuk Mak Tumi dan anak bungsunya pun menjadi saksi dan ketika pemadam datang, yang tertinggal hanya bangunan yang rata dengan tanah dan sosok-sosok orang yang berubah serupa arang. ***

.

.

Kota Ukir, September 2024

Kartika Catur Pelita, menulis karya sastra bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Tulisan dimuat di puluhan media cetak dan daring. Juara pertama Sayembara Novela Psikoteks Basabasi 2023. Buku terbarunya Kembang Randu. Bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).

.
.
Mengapa Nasi Mak Tumi Basi? Mengapa Nasi Mak Tumi Basi? Mengapa Nasi Mak Tumi Basi? Mengapa Nasi Mak Tumi Basi? Mengapa Nasi Mak Tumi Basi? Mengapa Nasi Mak Tumi Basi? Mengapa Nasi Mak Tumi Basi?

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!