Ahmad Z Ujung, Cerpen, Koran Tempo

Gomis Biahat

Gomis Biahat - Cerpen Ahmad Z Ujung

Gomis Biahat ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

3.3
(3)

Cerpen Ahmad Z Ujung (Koran Tempo, 07 Juni 2025)

SELURUH tubuh pengoli [1] lumpuh dan mengeluarkan bau busuk. Satu-satunya yang membuat pengoli masih bertahan hidup hanyalah kepalanya yang masih sehat dan tidak terlihat tua. Tidak ada sehelai uban yang tumbuh di kepalanya. Wajahnya masih terlihat muda seperti lelaki berumur 50-an. Pendengarannya juga masih sangat tajam. Namun bicaranya tidak jelas. Terdengar seperti orang yang mengigau. Sudah berapa rumah sakit kami singgahi untuk kesembuhan pengoli, namun hasilnya nihil. Semua dokter yang memeriksa keadaannya tidak bisa menjelaskan penyakit apa yang diderita pengoli. Hal ini yang membuat kami berhenti membawanya berobat.

Jauh sebelum aku lahir, pengoli sudah tinggal di rumah ini. Semenjak popung [2] meninggal, pengoli tinggal bersama kami. Selain ayah khawatir tidak ada yang menjaga dan merawat pengoli jika tinggal sendiri, ayah merupakan anak tunggal sama seperti aku, sehingga tidak ada alasan ibu untuk menentang keinginan ayah.

Rumah kami tidak terlalu luas tetapi memanjang ke belakang. Ada empat kamar—yang berjejer setelah ruang tamu. Kamar pengoli berada paling belakang, satu dinding dengan ruang dapur. Sebelum penyakit aneh itu bersarang dalam tubuhnya, pengoli adalah orang yang paling rajin di rumah kami. Sebelum subuh tumbuh, dia sudah bangun; menyapu halaman, memberi makan perkutut peliharaan ayah, membakar sampah di pekarangan belakang.

Aktivitas itu sudah dilakukannya bertahun-tahun. Hingga pada suatu sore menjelang magrib, ayah menemukan pengoli tergeletak di kamar mandi tidak sadarkan diri. Sejak itu, pengoli tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa. Dan sejak saat itu pula kami mengemban tugas baru untuk mengurus pengoli. Aku, ayah, dan ibu secara bergantian menjadi pengasuh pengoli untuk semua kebutuhannya; memandikan, menyuapi makan, membersihkan air kencing di lantai, dan itu kami lakukan setiap hari.

Setelah tamat SMA, aku memutuskan untuk tidak pergi merantau seperti halnya teman-teman seangkatanku. Aku tidak tega meninggalkan ayah yang sudah sakit-sakitan dan membiarkan ibu bekerja sendiri ke ladang sekaligus mengurus pengoli. “Ini semua karena makhluk terkutuk itu!” teriak ayah sambil melemparkan gelas ke pintu kamar pengoli. Matanya yang sayu tergenang oleh air mata yang segera tumpah. Aku memeluk ibu yang menangis melihat kemarahan ayah.

Aku tahu kemarahan ayah bukan karena membenci pengoli yang sudah seperti mayat hidup tergeletak tak berdaya di kamarnya. Diam sebeku tugu. Ayah mungkin sudah sangat lelah dengan keadaan kami, dengan kehidupan kami, dengan karma yang digunjingkan warga sekampung sebagai balasan dari perbuatan pengoli masa dulu.

Sudah berpuluh tahun kami dikucilkan di kampung ini. Jangankan untuk bertandang ke rumah, sekedar lewat dari depan rumah saja mereka sudah memasang wajah yang ketakutan. Pernah sekali ibu menangis sejadinya, matanya sembab, merah, semerah ludah pengunyah sirih. Aku tanya mengapa. Ibu bilang; anak tetangga habis dihajar orang tuanya karena mengetahui anaknya menerima makanan pemberian ibu.

Pada pagi jahanam itu, segala masih ditangkup kabut. Jika bukan karena cahaya bulan yang bersinar terang, mungkin kebun kopi di lereng bukit itu akan diselimuti gelap. Dan karena cahaya bulan, sosok yang berjalan pelan di jalan setapak itu sedikit tersingkap, bergerak agak samar, sesekali berhenti dan berjalan kembali. Ketika bulan bersinar terang saat tidak terhalang awan, makin jelas sosok itu: seorang lelaki yang membawa cangkul.

Baca juga  Kaum Pengganti

Dia adalah Misran, lelaki paruh baya yang pagi itu berjalan menuju ladangnya di lereng bukit. Seperti biasa, Misran akan singgah di rumah kakaknya yang dilewati sebelum sampai di ladang, untuk sekedar minum kopi dan menitipkan bekal yang dibawa dari rumah. Belum habis kopi diteguk, belum separuh rokok dibakar, tiba-tiba segerombolan lelaki berjumlah lima orang datang dengan tergesa memasuki rumah kakaknya. Seperti pencuri, mereka masuk tanpa mengucapkan salam.

“Di mana Pardi!?”

Seorang dari mereka berteriak menyebut nama kakaknya.

Pardi yang sedari tadi berdiam di dapur berjalan pelan dengan kain sarung yang bergulung di pinggang. Dengan tenang dia duduk bersila di samping Misran, adiknya.

“Mengapa kamu tidak menerima cangkul yang kami berikan?” bentak lelaki itu, menginterogasi Pardi.

“Saya tidak butuh”

“Kamu melawan?”

“Saya tidak paham.”

Plak!!!!!!

Sebuah pukulan mendarat di pipi Pardi sebelah kanan. Pelipisnya berdarah. Lelaki berjaket merah dengan logo palu arit yang terbordir di dada sebelah kanan bajunya semakin berang. Mirna, istri Pardi, meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tubuh ringkih itu gemetar tidak berdaya. Lengannya yang kurus mendekap erat kedua anaknya yang ketakutan.

Misran mencoba menghalangi kelima lelaki itu yang akan membawa Pardi dan kakak iparnya. Misran kalah kuat, sebuah tebasan tepat mengenai lengan kirinya saat hendak menyelamatkan kedua anak kakaknya yang dimasukkan ke dalam goni. Misran terkapar bersimbah darah. Beruntung gerombolan lelaki itu tidak terlalu memikirkan Misran. Mereka mengira Misran telah mati.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Misran mengikuti gerombolan yang membawa Pardi dan keluarganya. Tidak sulit bagi Misran untuk menemukan jejak mereka. Suara tangisan kedua anak Pardi dalam goni sudah cukup menjadi kompas hidup untuknya. Rombongan gerombolan itu berhenti di sebuah tanah lapang yang berjarak sekitar 5 kilometer dari tempat Pardi dan keluarganya dibawa paksa. Hamparan kebun pisang seakan menjadi pagar di sisi kanan tanah lapang tersebut. Sedangkan sisi kirinya adalah sebuah jurang dengan belukar dan pohon-pohon besar yang di bawahnya mengalir deras sungai Lae Renun [3].

Tujuh bendera merah bergambar palu dan arit berkibar tanpa malu di bawah terik matahari yang meraja. Sebuah gubuk kecil beratapkan jerami berdiri di tengah tanah lapang, berhadap-hadapan dengan tiang-tiang bambu yang membentuk kandang. Beberapa tubuh kurus duduk berjejer dengan tangan terikat mengiba untuk dilepaskan. Riuh tangis mereka bersahut-sahutan dengan yel-yel kelompok wanita yang sepertinya sedang melakukan latihan parade. “Gerwani… Gerwani… Gerwani….” kata mereka lantang dengan mengentakkan kaki sambil mengepalkan tinju ke atas.

Misran menahan napas. Lukanya masih sangat terasa sakit walau cucuran darahnya sudah berhenti. Dengan hati-hati, Misran bersembunyi di rerimbunan belukar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di tanah lapang. Tujuannya hanya satu: menyelamatkan Pardi dan keluarganya.

Dua orang bertubuh besar keluar dari dalam gubuk dengan menenteng senapan. Misran terkesiap. Pardi dan keluarganya diseret paksa menuju kandang bambu. Teriakan Pardi dibalas dengan hantaman popor senapan di kepalanya. Pardi tumbang. Mirna meraung: meronta untuk dilepaskan.

Baca juga  Juru Masak di Jalan Flincey

Seorang dari penjaga tersebut kalap, dorr!!! Sebuah tembakan bersarang di dada Mirna. Darah mengalir menjelajah tanah kering berpasir. Mirna ambruk, sejenak hening. Tak ada yang berani melawan. Hanya kegelisahan yang bersarang di wajah-wajah muram para tahanan yang menunggu ajal.

Tak ada yang dapat dilakukan Misran. Membantu para tahanan akan membuatnya mati sia-sia. Darahnya mendidih, dendamnya tumbuh. Pembantaian itu membuatnya bergidik. Kepala para tahanan yang terputus dari badannya begitu saja dilemparkan penjaga ke jurang Lae Renun.

Setelah kejadian itu, besoknya Misran bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah terjadi terhadap Pardi dan keluarganya. Seminggu kemudian, Misran pamit kepada istrinya mencari rotan untuk keperluan membuat kursi di pedalaman hutan Delleng Batu Ardan [4]. Tak lupa dia menitipkan anak-istrinya ke orang tuanya. Tak ada yang tahu tujuan sebenarnya Misran melanglang di Delleng Batu Ardan. Sang istri hanya mengatakan bahwa suaminya pergi mencari rotan ke hutan, jika ada yang bertanya tentang keberadaannya.

Sebulan kemudian Misran pulang. Dua ikat rotan dibawa serta untuk mengelabui istri dan siapa saja yang bertanya tentang hajatnya berdiam di hutan. Semua orang yang mengetahui kepulangan Misran takjub akan keberaniannya. Bagaimana tidak, hutan Delleng Batu Ardan terkenal angker dan sarat dengan cerita-cerita mistis di dalamnya. Hutan hujan tropis yang berada di pegunungan bukit barisan itu juga menjadi rumah bagi hewan-hewan buas.

Malam menjaja gelap. Purnama terang dengan sedikit tertutup awan. Sepoi angin bertiup membawa aroma dupa yang entah dari mana datangnya. Misran turun ke pekarangan, duduk bersila, mencakupkan kedua tangan, mengangkat tegak lurus ke atas kepala menuding langit, merapal mantra. Ia hirup dingin malam, mengalirkannya ke seluruh raga dan jiwa menjadi kemarahan, penyerahan, dendam kesumat dan keberanian untuk membangunkan ajian Gomis Biahat [5] yang dia dapatkan dari hutan Delleng Batu Ardan.

Dengan ilmu itu, Misran akan berubah wujud menjadi manusia berkepala harimau. Dari jari kaki dan tangannya tumbuh cakar tajam seiring dengan berakhirnya mantra terakhir yang dia bacakan. Misran melenggang seringan daun kering, derap kakinya tak terdengar, aroma badannya tak tercium, sehingga anjing di teras rumah pun tak dapat mengendus. Ayam di kandang belakang pun tak menyadari kehadirannya.

Setajam mata dendam dan sekuat keyakinan Misran meninggalkan pekarangan rumah. Bergerak cepat mencari tempat berdiam para pembunuh Pardi dan keluarganya tiga bulan yang lalu di tanah lapang. Cabikan dan gigitan bersarang bertubi di tubuh para penjagal. Erang jerit kesakitan ditelan riuh suara jangkrik malam yang bersahutan. Darah luruh menyusur bumi di bawah kaki Misran yang perkasa. Sebelum subuh tumbuh, perburuan Misran telah selesai. Hasratnya tercapai, dendamnya tunai. Senyum puas penuh kemenangan mengembang dari bibirnya yang hitam.

***

LELAKI bernama Misran itu adalah pengoli-ku. Cerita tentang pengoli-ku bertapa di Delleng Batu Ardan dan mendapatkan ajian Gomis Biahat pemberian Mpung [6] kudapatkan dari ayahku sebelum dia meninggal. Lelaki yang menggunakan ajian Gomis Biahat untuk membalaskan dendamnya atas kepergian kakaknya kini ada di hadapanku. Lelaki itu sekarang tak ubahnya seperti mayat hidup yang menunggu nyawanya tercabut.

Baca juga  Resep Ajaib Dea

Sebulan sebelum jatuh sakit, pengoli-ku sering bertingkah aneh. Pada malam-malam tertentu, dia akan meminta seekor ayam hitam penuh, sebutir telur ayam kampung, segenggam beras, dan sebiji jeruk purut. Semua itu akan dimakan pengoli tanpa dimasak terlebih dahulu. Pernah suatu pagi, pekarangan rumah kami mendadak ramai. Pengoli melompat, berguling, berjalan lalu lalang, dan sesekali mengaum menirukan gerakan harimau yang akan memangsa. Pengoli menjadi tontonan warga sekampung. Sejak itu banyak warga yang mengaitkan kematian para pengurus partai palu-arit di pertengahan tahun 1965 itu adalah perbuatan pengoli-ku. Semenjak kejadian itu kami terkucil mengemban malu.

Suatu siang, saat ingin menyuapi makan, dalam remang kamar lembab itu pengoli menarik tanganku dan mendekatkan mulutnya tepat di telingaku. Dengan suara samar dan tidak terlalu jelas, pengoli membisikkan sesuatu.

“Bukakan dua lembar seng yang menjadi atap kamarku ini,” perintah pengoli.

“Untuk apa, pengoli?”

“Aku ingin mati, Kempu [7],” jawab pengoli lemah.

Sekuat tenaga aku mencabut paku-paku yang tertancap di seng dan melepaskannya. Aku tidak peduli dengan teriakan ibu yang bertanya sedang apa aku di atap rumah. Pikiranku tertuju pada permintaan pengoli, jika ini memang jalan untuk membuatnya mati itu akan lebih baik. Penderitaan pengoli dalam memikul sakitnya akan segera berakhir, dan juga dosa-dosa kami dari amarah dalam merawat pengoli juga akan berhenti.

Kamar dengan ukuran 4 x 4 meter tersebut menjadi terang. Sinar matahari mengisi seluruh bidang ruangan yang mulai dibangun tidak pernah terkena cahaya. Aku duduk di samping kepala pengoli yang rebah di atas tikar yang terbuat dari daun nipah. Aku menunggu perintah selanjutnya. Pengoli menggenggam tanganku dan menyuruhku untuk menatapnya. Bola mata di wajahnya yang pasi menatapku tajam. Aku seperti terkena sihir dan tidak bergerak. Aku terkejut. Sehelai bulu berwarna putih keluar dari hidung pengoli dan terbang memasuki lubang hidungku. Aku terperanjat.

Seketika seluruh tubuhku panas. Sepasang taring tumbuh dari dalam mulutku. Jari kaki dan tanganku mengeluarkan kuku-kuku tajam seperti cakar. Badanku membesar dan bulu-bulu halus berwarna belang mulai terlihat di kedua betis. Aku mengaum seiring dengan kematian pengoli. ***

.

.

Keterangan:

[1] Pengoli = kakek

[2] Popung = nenek

[3] Lae Renun = salah satu sungai yang ada di kabupaten Dairi

[4] Delleng Batu Ardan = gunung di kabupaten Dairi yang berada di pegunungan Bukit Barisan, terkenal angker dan dihuni oleh banyak hewan buas

[5] Gomis Biahat = kumis harimau

[6] Mpung = sebutan kepada raja hutan (harimau) dalam suku Pakpak

[7] Kempu = cucu

.

.

Ahmad Z Ujung. Penulis dan guru kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, 21 Maret 1989. Puisi dan cerpennya tersebar di sejumlah media massa. Novel terbarunya _Tellet (Cerita-cerita Sikkola Tikan Arnia) terbit pada 2024.

.

.

Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat. Gomis Biahat.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!