Cerpen, Kompas, Martin Aleida

Lelakiku

Lelakiku - Cerpen Martin Aleida

Lelakiku ilustrasi Melodia Idris/Kompas

3.7
(3)

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 08 Juni 2025)

AKU tak tahu apa niat Mbah membujuk kami menginap di rumahnya. Apakah dia merasa tidak layak, dan barangkali akan bikin geger seisi desa, bila lelakiku melewatkan malam di rumahku. Karena ibuku sudah menjanda. Atau dia hendak memerangkap kami berduaan belum waktunya, berbuat mesum.

Kami merebahkan diri di amben yang terbuat dari belahan bambu. Kuhamparkan selendang batik tenunan ibuku di atasnya.

Sepanjang malam kami hanya merem. Padahal, rasanya sudah begitu memilin. Kulit sudah beradu. Membuat tubuhku seperti pasir berdesir. Namun, lelakiku hanya mengecup jemari dan keningku. Membisikkan selamat tidur ke kupingku. Membikin jantungku bergedebam. Tanganku mencengkeram tepi amben. Berserah diri. Telentang seperti batang pisang, jadi padang penyerahan tempat semua lelaki menemukan muara hasrat mereka yang terkekang. Tapi, tidak dengan lelakiku.

Sepanjang malam, yang kutunggu hinggap merayap tak datang-datang jua. Aku tahu, saling bertindihan bahu di sebelahku, dia berusaha keras untuk membatu mencegah jangan sampai belahan bambu berderak. Menyentakkan Mbah, lalu mengintip lewat celah, menangkap basah kami berdua.

Setelah dipisahkan lebih setahun oleh kekuasaan, di zaman kegelapan dan penuh kekhawatiran, juga darah dan bangkai manusia, dia datang dari kota yang jauh menemuiku di desa. Saat bertemu, tentu saja kami berdekapan seperti hendak saling meremukkan rusuk mengurai rindu. Aku sudah tersandar menyerahkan pucuk cinta di timbunan batang-batang bambu dekat lumbung. Namun, tak ada yang singgah. Kecuali kata-kata yang diucapkannya dengan khidmat menyerupai ucapan seorang pastor, tertahan-tahan:

“Jangan dicemari sampai malam pengantin. Kesucianmu akan kujaga seperti Maria sang perawan,” ucapnya berbisik membenamkan gairahku. Aku takzim mendengar kekudusan kata-katanya.

Persis seperti dulu juga, ketika tiga malam berturut-turut, kami berdua menunggu rumah paman dan bulik untuk dia jaga. Tak lebih, lelakiku itu cuma menatap mataku. Mengecup bibirku sebelum berangkat tidur ke kamarnya di sebelah. Di kartu penduduknya, dia tercatat sebagai mahasiswa. Jadi, dianggap aman. Sementara pemilik rumah bersembunyi dari pengejaran berdarah yang dilancarkan militer.

Pada malam ketiga, satu jip tentara, tanpa mengetuk pintu, kecuali derap lars mereka, mendobrak masuk.

“Di mana yang punya rumah?”

“Maaf…, saya tak tahu. Kami hanya menunggu.”

Perpustakaan diobrak-abrik seperti timbunan sampah. Semua buku menemukan nasib malang. Diangkut dan dilemparkan ke dalam jip yang menunggu di luar. Mujur lelakiku tidak ikut dibawa.

Entah dengan jalan bagaimana, belakangan, paman dan bulik, dari persembunyian mereka, dapat menjual rumah itu melalui seorang perantara. Anggota resimen mahasiswa. Lelakiku ditawari sejumlah uang untuk mencari kontrakan, tetapi dia tolak. Kupikir dia merasa, pada diriku sudah menemukan muara di mana cinta pertamanya berlabuh. Dan itu sudah merupakan berkah yang wajib dijunjung, dimuliakan. Aku sendiri dianjurkan pulang ke desa.

Baca juga  Tiga Tanda Mati

Selagi kasmaran seperti burung dara yang sedang giring menerjang angkasa, jarak tak kuasa memisahkan kami. Baginya aku adalah besi berani yang tak henti memanggil. Punya beberapa lembar uang, lelakiku itu digoda rindu. Datang menemuiku. Pernah dia meninggalkan cendera mata, selembar sapu tangan. Di sudutnya, yang selalu kucium menjelang tidur, ada sulaman kecil berbenang merah bertuliskan SMS. Singkatan dari Semangat Elang Rajawali. Semboyan yang dia kutip dari seorang patriot pujaannya.

Beberapa kali, ketika meninggalkanku, kembali ke kotanya, karena tak kebagian tempat duduk, lelakiku itu sampai hati menyiksa dirinya untukku. Berdiri di atas lempeng besi sambungan kereta. Berdesakan dengan penumpang lain. Ditengok ke lorong, manusia berimpitan. Sampai-sampai di kakus pun yang terlihat bukan kotoran yang mampat, melainkan manusia yang bertumpuk.

Dalam perjalanan yang menempuh setengah panjangnya Pulau Jawa, lelakiku dan mereka yang beradu nyali di sambungan kereta bisa berkali-kali melonjorkan kaki di pinggir rel. Karena kereta harus berhenti, memberikan kesempatan kepada rangkaian besi renta yang menderu memekik-mekik dari depan.

Mahasuci aku di depan lelakiku. Dia kokoh membatu menahan berahi yang sedang mekar-mekarnya. Tak melangkah lebih jauh dari sekadar memuja mata dan bibirku. Atau menempelkan bibir yang hangat ke kupingku, mengucapkan sumpah untuk bertahan sampai malam pengantin. Lebih dari itu dia merasa sudah berada di pangkal jembatan ke neraka.

Lelakiku menuntun hidup kami dari titik awal ketiadaan yang mahasempurna. Ketika mengucapkan ijab kabul pun, dia tak punya surjan untuk bergaya di depan kadi. Cuma kemeja tetoron lengan pendek berwarna biru, kesenangannya. Sebagian dari uang mahar dia pinjam dari pamanku, satu-satunya saksi ketika itu.

Dia memegangi, meremas-remas jemariku, dan bagai sepasang merpati yang giring kami mengepak tinggi-tinggi. Tak ada lagi daratan lebih rendah daripada pahitnya hidup yang kami tempuh. Bagaimanapun, kesengsaraan tak kuasa menggoda dan mengkhianati kata-kata yang pernah dia bisikkan. Dia tak hanya bersumpah pada kata-kata yang dia ucapkan. Juga pada semboyan yang dia tisikkan di pojok sapu tangan. Tangguh dan sikapnya yang berpantang berlutut mampu membawa kami naik meniti kehidupan yang memadai. Punya anak, dikaruniai cucu dan cicit.

Ibarat baja dia adalah sosok yang tak terbengkokkan. Sumpahnya padaku tetap dipertahankan sampai pun dia terkurung di kursi roda karena kecelakaan lalu lintas. Kakinya diamputasi sejengkal di atas lutut. Terpenjara di kursi roda, lelakiku itu tetap seorang jantan. Sementara aku, usia menjelang uzur membuat jiwaku tertekan tak kepalang. Hilang ingatan. Demensia melepaskan terjangan awalnya di otakku. Lelakiku itu yang mengurus segalanya sehingga aku menjadi pasien rumah sakit otak.

Baca juga  Mudakir dan Wasiat Terakhir

Ketika akan melalui pintu rumah sakit, lelakiku menepis tangan petugas yang ingin mendorong kursi rodanya. “Maaf, saya bukan pasien. Istriku.”

Mata banyak orang di ruang tunggu membuat hatiku ciut. Mereka tidak mencibir, tetapi simpati mereka justru tumpah pada lelakiku.

Aku begitu mudah lupa. Tak tahu di mana piring, sendok-garpu, dan gelas, yang baru semenit yang lalu kugunakan. Lelakiku yang memasak, walau aku belum lupa bagaimana mempersiapkan sayur lodeh untuk makan siang, atau sup menjelang malam. Soalnya dia khawatir kesalahan fatal yang kulakukan berulang, lupa mematikan kompor sehingga gasnya timpas. Kalau dia ke rumah sakit untuk kontrol, kompor dia pastikan sudah mati. Di atasnya dia letakkan karton bertuliskan, “Demi Allah, sekali-kali jangan nyalakan!”

Betapa membahayakan ingatan yang sejengkal. Sementara ingatanku pada masa lalu begitu tajam. Kuingat benar ketika masa kecil bermain di tepi kali. Kakiku tergelincir ketika hendak menjangkau kacang panjang di tebing, padahal aku belum bisa berenang. Teman-teman berteriak minta tolong. Tergopoh-gopoh muncullah orang dewasa mengeluarkan aku dari air dengan menjambak rambutku. Kuingat, ketika sekolah dasar aku adalah pemain rounders, catcher terbaik di desa. Kalau ada pertandingan antarsekolah, bapak mengantarkan aku. Dari tepi lapangan dia menonton sambil menahan kecemasan kalau-kalau pemukul menghantam kepala anak putrinya. Bapak mendidikku dengan keras, penuh kekerasan. Pernah aku dia pukuli sementara tubuhku diikat ke batang pisang. Karena begitu pulang sekolah, aku berkomplot dengan teman-teman mencari belut dulu di sawah tetangga. Dipermalukan di bawah mata orang sedesa. Kekerasan yang tak sudi dan tak mungkin kulupakan. Yang kini berubah menjadi dendam.

“Syukur, kejahatanmu sudah berbalas. Mayatmu dibuang ke Bengawan. Tak punya makam. Syukur….” Aku nyerocos.

Lelakiku tak tahan mendengar kata-kata yang tak layak diucapkan tentang seorang ayah, mertuanya sendiri yang tak sempat dia jumpai. Selama ini, dia masih menoleransi kata-kata ungkapan tentang kekecewaanku pada bapak. Bahwa aku acap kali dijemput Mbah Putri dan dituntun dengan manis ke rumahnya, memisahkan aku dari kekerasan bapak.

Kata-kataku itu membuat aku di depan lelakiku itu, kini sudah bukan lagi Maria perawan suci. Kelembutan hati dan bisikannya yang syahdu terbang sudah.

“Kamu,” ucapnya tak pernah sekasar ini, “tak pantas mencerca Bapak macam itu. Dia bisa salah. Tak ada yang sempurna. Namun, kita harus sadar dia hilang, dan kamu serta seluruh sanak-famili sudah yakin tubuhnya ditembak tentara dan dicampakkan dari Jembatan Bacem bersama kawan-kawannya. Mereka membagi-bagikan tanah kepada petani tak bertanah sesuai undang-undang. Tapi, fatwa peraturan yang adil itu tak jalan. Bapak dan kawan-kawannya melaksanakannya secara sepihak. Memang salah, tetapi itu bukan dosa sehingga dia harus dibunuh dengan senjata kekuasaan yang seharusnya melindungi dan menyelesaikan perkara secara hukum. Bukan dengan sepihak. Dengan senjata pula.”

Baca juga  Di Jarwal, Kutunggu Kematianku

Tidak kuucapkan, tetapi aku menolak pembelaannya. Aku semakin menjauh dari lelakiku itu. Melayang sudah kepercayaan dan cintaku. Karena keberpihakannya kepada Bapak.

Kalau dia melenguh seperti kerbau yang kena cambuk, menahan nyeri phantom limb syndrome di kakinya yang diamputasi, aku diam saja. Pura-pura tak dengar. Tak peduli. Lelakiku meringis memanggil-manggil Emaknya untuk meredakan nyeri tak kepalang yang menerjang-nerjang. Bukan di kaki yang diamputasi, tetapi siksa itu terasa pada kaki yang sudah lenyap dan ditanam di pekarangan rumah kami. Meredakan rasa sakit, dia mengimbau memanggil Emaknya, yang tak mungkin datang. Dan aku terus berdiam diri melampiaskan kekecewaanku pada sikapnya yang berpihak pada Bapak.

Meredam nyeri yang menyiksa, lelakiku mengikuti anjuran dokternya untuk membelai-belai unjung kaki yang diamputasi, sambil membujuk, “Sudahlah, wahai junjunganku, hanya sampai di sini saja. Tak lebih. Dia yang sudah pergi jauh sudahlah, tak usah dikenang lagi.”

Cemburu aku mendengar bujuk rayunya itu. Kuingat benar, seperti itulah dulu dia merebut hati, memuliakanku, agar aku tak bergerak, supaya amben tempat kami rebah bebas semalaman tak berderak.

Tak pernah kutanyakan kepadanya, tetapi kuduga pandangan pertama lelakiku itu padaku tambah dalam setelah dia ketahui bagaimana Bapak menyongsong maut. Dia seperti menemukan diri dan merasa senasib dengan Bapak.

Dulu, lelakiku itu pernah bercerita, tokoh buruh yang membantunya melepaskan diri dari sikap keras ayahnya, mengalami nasib buruk. Mengerikan. Dia dan istri yang sedang mengandung digelandang tukang jagal dengan restu militer. Suami-istri itu menjadi korban paling awal dalam rangkaian pembunuhan di kota kecilnya. Mereka diseret ke tepi sungai, dibinasakan dengan tebasan parang dan dihanyutkan ke Sungai Asahan yang mengalir deras tak berdosa…. ***

.

.

Martin Aleida, kini 81 tahun, menulis cerita pendek dan novel, juga sejumlah laporan perjalanan jurnalistik. Penerima penghargaan untuk kesetiaan berkarya dari Kompas pada 2013. Tahun 2017 memenangi penghargaan cerpen terbaik dalam ajang Cerpen Pilihan Kompas 2016.

Melodia, lahir di Jakarta, 8 Februari 1967. Pelukis lulusan ISI Yogyakarta angkatan 1985, menekuni realisme dengan teknik realistik sejak 1988 hingga kini sudah melakukan pameran tunggal sebanyak 3 kali. Tinggal di Yogyakarta.

.
.
Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku. Lelakiku.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!