Cerpen, Dwi Ratih Ramadhany, Jawa Pos

Sepetak Surga Suatu Hari

4.2
(6)

Hampir seminggu sejak di desa itu muncul Sepetak Surga yang dipuja-puji. Mulanya hanya hamparan pasir pantai dengan laut sebagai halaman rumah mereka; udara panas menyelusup ke pori-pori tubuh sepanjang hari, orang-orang pergi berlayar ketika dingin malam menyelimuti.

TIDAK ada yang istimewa dari desa itu, kecuali gulungan ombak setinggi bukit yang menerjang kediaman mereka pada sebuah malam yang sunyi. Angin seperti berembus hati-hati menerpa dedaunan dan menepuk tengkuk hingga ujung kaki. Penduduk desa tidur amat nyenyak malam itu, laut menelan jerit para nelayan yang luput membaca pertanda dari langit lepas sepertiga malam.

Ketika fajar menaik, sebagian penduduk membuka mata dan berteriak menangis. Sebagian lagi hanya terbujur kaku dan takkan pernah terbangun lagi. Rumah-rumah luluh lantak, hati mereka hancur berkeping-keping. Sebagian tergenang air maut, sebagian lagi tenggelam oleh kedukaan. Pada hari itulah mereka tahu, di sudut desa, ada Sepetak Surga di bumi. Tak terjamah bencana dan tegak berdiri.

Tak ada yang tahu pasti berapa ukuran Sepetak Surga itu sebenarnya. Lain mata, lain ukuran yang terlihat. Seorang perempuan renta mengatakan Sepetak Surga itu dari luar tampak seperti Kakbah di Makkah, berbentuk kubus, namun berwarna putih. Pada sepasang mata seorang lelaki jangkung tanpa kaki, Sepetak Surga itu memiliki dinding yang mencapai angkasa dan berwarna perak menyilaukan sehingga ia harus menyipitkan mata ketika memandangnya. Lain waktu, menurut penuturan seorang perempuan bunting, dari luar Sepetak Surga itu berwarna jingga berbentuk setengah lingkaran, dengan tanaman menjalar di sekeliling dindingnya.

Pada hari pertama Sepetak Surga muncul di desa itu, warga serentak berkumpul di sekitarnya. Terpana. Ternganga. Gulungan ombak yang menghantam desa mereka membawa kabar keberadaan Sepetak Surga. Serta-merta mereka tahu Sepetak Surga itu adalah milik mereka dengan seorang penjaga yang berdiri di depan pintu Sepetak Surga.

Penduduk desa memerlukan koin-koin untuk masuk ke sana. Kecuali anak-anak yang masih terjamin surga bagi mereka, yang belum memikul dosa-dosa, yang lantas dijuluki Anak Sepetak Surga. Sementara penduduk yang telah menanggung dosa masing-masing itu memiliki sebuah kantong berwarna keemasan dengan aneka koin yang didapat setelah melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka membawa kantong itu ke mana-mana sebab mereka bisa melakukan kebaikan di mana pun dan kapan pun. Koin-koin akan berkerincing dengan sendirinya di dalam kantong istimewa itu.

“Kami tidak punya koin,” kata segerombol Anak Sepetak Surga suatu siang.

Baca juga  ISOMAN (1); ISOMAN (2); THE TASTE OF AN AFFAIR; BANGUN TIDUR MASA KINI

“Kalian tentu boleh masuk,” sahut penjaga Sepetak Surga dengan ramah.

“Apakah kami bisa masuk bersama-sama?”

“Tentu. Tidak ada larangan apa pun untuk Anak Sepetak Surga.”

“Apakah kami harus menunggu dan berbaris?”

“Tidak perlu. Kalian bisa masuk lewat pintu istimewa dan boleh berlama-lama.”

Lalu mereka masuk dengan semringah, tanpa perlu berdiri mengantre di bawah terik matahari yang menyengat ubun-ubun. Sementara itu, satu per satu penduduk lain masuk melalui pintu di sisi kanan, sedetik kemudian keluar dari sisi berlawanan dengan raut wajah yang memancarkan kedamaian. Meski selanjutnya mereka akan kembali bermuram duka ketika melihat reruntuhan bangunan yang masih berhamburan di depan mereka. Tidak ada yang tahu persis berapa lama mereka merasa nyaman di dalam Sepetak Surga itu. Sehari? Sepekan? Setahun? Satu detik, bagi mereka, adalah rentangan waktu yang panjang dan menakjubkan.

“Aku punya seribu kambing di dalam sana. Aku berjalan dengan kedua kakiku dan uban di rambutku mendadak hilang,” ujar seorang tua di atas kursi roda.

“Aku bertemu dengan janin yang dulu sempat menghuni rahimku. Ternyata dia anak perempuan. Permisi. Aku harus mencari koin lagi agar bisa bertemu anakku besok. Aku berjanji akan mengajarinya bermain seruling,” kata perempuan paro baya yang buru-buru pergi setelah menyadari tak ada koin yang tersisa di kantongnya.

“Siapa penjaga Sepetak Surga kita itu?”

“Apakah dia malaikat?”

“Tapi, dia tak punya sayap.”

“Sayapnya tidak harus terlihat, bukan?”

“Ya, tapi dia tidak terlihat seperti malaikat.”

“Kudengar dia adalah orang suci yang merelakan kehidupan abadinya di surga untuk berada di sini. Dia membawa Sepetak Surga dari sana. Sebagai gantinya, dia harus kembali hidup dan menjaganya di sini.”

“Entahlah, penjaga Sepetak Surga hanya mau berbicara kepada anak-anak yang masih ingusan.”

“Ah, apa pentingnya? Lebih baik kita kumpulkan koin.”

“Aku ingin punya koin emas. Apa yang harus kulakukan?”

“Wah, harus kebaikan yang suci dan sulit dilakukan.”

“Mengapa tidak kau kumpulkan 1.000 koin perunggu? Itu setara.”

“Atau 365 koin perak.”

“Ya, tapi harus berapa lama? Aku ingin segera memukuli suamiku di surga. Oh, tentu koin emas akan mengabulkan apa saja keinginan kita, bukan?” seorang perempuan dengan sepasang sandal jepit berbeda warna bertanya kepada beberapa penduduk dalam barisan antrean. Dia kehilangan semua koin setelah menghajar anak sulungnya karena menjual kambing untuk biaya pengobatan suaminya yang tertimpa atap rumah ketika petaka datang, tanpa persetujuannya, dan kini telah meninggal dunia.

Baca juga  Maling (2)

Koin perak bisa digunakan sebanyak lima kali dalam sehari. Koin perunggu hanya memberi kesempatan sekali setiap hari. Koin-koin yang dikumpulkan akan hilang seketika bersama keburukan yang dilakukan.

“Dari mana asal Sepetak Surga kita ini?”

“Mengapa penting untuk dibahas? Kita tinggal menikmati saja.”

“Tidakkah kau ingin tahu?”

“Bukankah tidak ada yang tahu? Baru seminggu Sepetak Surga itu muncul di sana. Mungkin untuk menghibur kita setelah nasib sial yang kita alami.”

“Waktu aku kecil, ustad mengajiku pernah bilang ada surga di dunia yang merupakan tipu daya setan sehingga manusia harus hati-hati dan tak terlena. Apakah Sepetak Surga itu yang dimaksud?”

“Bagaimana mungkin? Kita kan melakukan kebaikan agar bisa masuk ke sana!”

“Ya, tapi bukankah kita melakukannya dengan pamrih agar bisa masuk ke sana?”

“Memangnya kau tak ingin masuk ke sana?”

“Tentu aku ingin, meski sampai harus terseok mengumpulkan koin.”

“Tapi, bukankah tak adil, koin-koin itu muncul baru-baru ini saja. Apakah kebaikan kita sejak dulu tak terhitung?”

“Betul juga. Seolah-olah kita baru hidup kemarin.”

“Kalau kau tak tertarik pada Sepetak Surga, kau tak perlu repot kumpulkan koin.”

“Ya, tak perlu pula mengeluh. Ini baru Sepetak Surga di bumi. Kau siapkan diri masuk surga di akhirat saja.”

Hari kian terik dan percakapan di antara mereka tinggal keluhan-keluhan atas keringat yang bercucuran hingga sekujur tubuh. Namun, antrean menuju Sepetak Surga tak pernah sepi. Penduduk desa itu datang setiap hari, sehari tiga kali, lima kali, setelah keluar lalu mengantre lagi. Tak berhenti hingga koin-koin mereka habis, lalu pergi berbuat kebaikan dan menabung koin lagi. Mereka pernah mencoba mencuri koin-koin, namun tak pernah berhasil. Koin-koin akan sirna bila bukan di tangan tuannya. Atau, jika beruntung, koin-koin bisa berpindah milik jika diberikan dengan tulus oleh pemilik sebelumnya. Tak ada cara lain untuk masuk ke Sepetak Surga kecuali dengan koin-koin.

“Benarkah tak ada cara lain untuk dapatkan koin?” seorang anak perempuan dengan rambut dikucir kanan-kiri bertanya kepada lelaki tanpa lengan kiri.

“Kalau tak percaya, tanya saja kepada penjaga Sepetak Surga langsung. Ayolah, jangan membuat darahku mendidih. Aku hanya punya satu koin dan antreannya masih panjang,” sahut lelaki tanpa lengan kiri.

Anak itu berjalan cepat menghampiri penjaga Sepetak Surga dan berdiri terpaku di hadapannya.

Baca juga  Sulastri

“Kau boleh masuk meski tak punya koin.”

“Apa bisa kutukar jatahku untuk ibu?”

Penjaga Sepetak Surga balik menatapnya lekat.

“Dia tak bisa berjalan kemari dan tak punya koin lagi. Tapi, aku ingin ibu bisa masuk agar ibu senang seperti orang-orang yang keluar dari sana. Apa yang bisa kulakukan?”

“Mintalah ibumu untuk membagikan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan.”

“Jika tidak punya?”

“Katakan kepadanya untuk tersenyum. Bukankah senyum adalah sedekah yang paling mudah?”

Kemudian, anak perempuan dengan rambut dikucir kanan-kiri itu pulang tergesa-gesa. Dia berlari menuju rumah dan segera menghambur memeluk ibunya.

“Ibu, tersenyumlah. Penjaga Sepetak Surga bilang Ibu bisa dapat koin dengan tersenyum!” ujarnya bersemangat. Ibunya tak hanya melempar senyum. Dia bahkan tertawa lepas dan mengelus rambut anaknya yang dikucir kanan-kiri dengan rapi. Tak perlu waktu lama saat dia merasakan sebuah koin terisi ke kantong yang dia letakkan di sisi tempatnya berbaring. Sang ibu trenyuh, lantas berbisik kepada anak perempuannya dan memindahkan koin itu ke dalam genggaman anaknya.

Anaknya mendengarkan dengan saksama dan mengangguk berkali-kali. Kemudian, anak perempuan dengan rambut dikucir kanan-kiri itu menyusuri kembali jalanan menuju Sepetak Surga. Sekujur rambut dan tubuhnya berpeluh. Langkahnya semakin cepat dan bersemangat.

“Kau datang lagi,” kata penjaga Sepetak Surga.

“Ya. Aku membawa koin untuk ibuku agar dia bisa masuk ke sana.”

“Di mana ibumu sekarang? Kau bilang ibumu tak bisa ke sini.”

“Ibu bilang akan menyusul setelah aku masuk ke Sepetak Surga. Ibu juga bilang akan menemuiku di sana,” jawabnya menunjuk ke arah Sepetak Surga.

Anak perempuan dengan rambut dikucir kanan-kiri itu menjulurkan tangannya dan memberikan koin. Penjaga Sepetak Surga melihat satu koin emas di atas telapak tangannya. Dari kedalaman mata anak itu terpancar harapan dan bayangan ibunya telah menunggu di Sepetak Surga. ***

Bogor, 2021

DWI RATIH RAMADHANY. Perempuan kelahiran Sampang, Madura, ini mendapat gelar sarjana di Universitas Negeri Malang. Bergiat di program Ruang Perempuan dan Tulisan. Novelnya, Badut Oyen (GPU, 2014), telah diterjemahkan ke bahasa Melayu. Karya lainnya, Pemilin Kematian (PSM, 2017) dan Silsilah Duka (Basabasi, 2019).

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!