TAK ada yang kusesalkan selama lima tahun membina rumah tangga dengan Ratri. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Rumah mewah dan jabatan tinggi di kantor sudah kugenggam. Namun, hanya satu yang membuat kami merasa kesepian. Ratri tak kunjung hamil. Puncaknya, hari ini aku dan Ratri bertengkar hebat.
“SUDAHLAH, Mas. Aku pergi saja! Aku bosan dijadikan bahan gunjingan orang. Aku dibilang mandul, enggak becus ngurus suami! Cih! Dasar, mulut-mulut enggak tahu aturan!” ucap Ratri berapi-api seraya memasukkan pakaian ke dalam tas.
“Ratri, jangan gegabah seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik, kan? Siapa yang menggunjingmu? Biar kutemui!”
Tak ada balasan dari bibir Ratri, dia justru melangkahkan kaki dengan gesa tanpa memedulikanku. Bahkan, dia membiarkan pintu rumah tetap terbuka setelah melewatinya. Aku hanya sanggup menatap kepergiannya di samping pintu. Haruskah kucegah? Tapi emosinya masih labil. Biarlah, aku akan menunggunya sampai sedikit mereda. Batinku berperang sendiri.
Sesaat kemudian, sebuah panggilan masuk mendarat di handphone-ku. Ah, ternyata dari Ibu. Kok kebetulan sekali? Pikirku.
“Gus, Ratri ada di rumah? Ibu mau bicara sama dia, Ibu kangen,” riang suara ibu dari seberang sana. Sungguh, aku kaget bercampur bingung. Bagaimana mungkin aku mengatakan pada Ibu kalau Ratri baru saja minggat? Aku diam cukup lama, mencari-cari alasan agar Ibu tidak curiga. Namun, Ibu tidak sabar.
“Ya sudah, Ibu ke rumahmu saja sekarang!”
Tut-tut-tut.
Telefon terputus tanpa sempat kubalas perkataan Ibu. Degup jantungku tidak karuan dan kuhapus keringat dingin di dahi yang terus keluar. Aku memutar otak. Menelefon Ratri dan memintanya untuk kembali ke rumah di saat seperti ini hanya membuang waktu dan pasti hasilnya nihil. Dia tidak akan mau. Maka, aku pun memutuskan menunggu Ibu di teras rumah.
Setengah jam berlalu, Ibu akhirnya datang dengan ojek online. Setelah memberikan uang pada sopir, Ibu melambai riang. Aku kikuk membalasnya, apalagi Ibu terlihat membawa kantong plastik berwarna hitam. Ah, itu pasti berisi martabak manis kesukaan Ratri.
“Gus, mana Ratri? Tumben belum kelihatan? Biasanya sebelum Ibu sampai, pasti sudah nungguin di teras. Ratri! Ratri! Ini Ibu bawa martabak kesukaanmu, lho!” Ibu masuk ke dalam rumah, kemudian langsung menuju dapur.
Sementara aku hanya menunggu sekembalinya Ibu di ruang tamu. Aku ingin mengumpulkan keberanian sebelum dicecar berbagai pertanyaan dari Ibu terkait minggatnya Ratri. Aku tidak sanggup membohongi Ibu.
“Gus, Ibu enggak lihat Ratri di mana-mana, lho. Memangnya Ratri ke mana? Ke warung? Kok enggak pulang-pulang?”
“Ratri enggak bakalan pulang, Bu. Ratri minggat.” Aku agak menurunkan suara saat mengucapkan kata “minggat” di depan Ibu. Ibu mendongak kaget.
“Apa?! Minggat?! Lho, kamu ini gimana? Kok dari tadi enggak cerita. Ada apa, sih?” Ibu mulai sesenggukan.
“Ratri minggat gara-gara enggak tahan sama sikap tetangga-tetangga kita, Bu. Katanya mereka suka menggunjing. Padahal aku sendiri belum pernah dengar.” Aku mengusap wajah yang semakin berkeringat.
“Memangnya apa yang mereka gunjingkan? Ratri kan wanita baik-baik. Cuma memang kekurangannya satu, belum bisa kasih ibu cucu.”
“Nah, itu Ibu tahu. Ratri memang belum hamil. Itu salah satu yang mereka gunjingkan, Bu.”
“Terus? Kamu biarin Ratri minggat? Payah kamu!”
***
SEPEKAN berlalu, aku dan Ibu tak mendapat kabar sedikit pun tentang Ratri. Sebenarnya aku sendiri sangat mencemaskannya, tapi Ibu bilang tak usah terlalu khawatir, toh dia sudah dewasa. Pasti bisa menjaga diri. Ibu juga memutuskan pulang ke rumahnya daripada harus menunggu kepulangan Ratri yang tak jelas. Tinggallah aku sendiri di rumah.
Namun, aku tak lantas diam saja. Kulakukan pencarian hingga memasang iklan “DICARI ORANG HILANG” dan menyebarkan brosur ke orang-orang.
Saat hampir putus asa karena tak kunjung menemukan Ratri, tiba-tiba ada seseorang yang tahu keberadaannya setelah melihat brosur tersebut.
“Ah, perempuan ini. Dua hari yang lalu, saya lihat dia di Hotel A bersama temannya,” jelas orang itu padaku.
“Yang benar, Pak? Sama temannya? Laki-laki, Pak?!”
“Bukan, temannya perempuan kok!”
Aku mengembuskan napas lega saat tahu kalau Ratri tidak menginap dengan laki-laki. Hampir saja aku dibuat senang sekaligus tak terima dalam satu waktu. Senang karena sebentar lagi aku bertemu dengan Ratri. Tak terima karena kukira dia check-in dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Segera kukabari Ibu lewat pesan singkat. Ibu berulang kali bilang agar aku lekas menemuinya di hotel itu. Walau sayang Ibu tidak bisa ikut lantaran sedang tidak enak badan. Akhirnya, aku pun berangkat sendiri ke hotel. Beruntunglah hotel yang dimaksud masih dalam kota, mungkin hanya memakan waktu sekitar setengah jam.
Mobilku segera melesat cepat. Ternyata tak sampai setengah jam aku sudah sampai di hotel. Resepsionis yang kutanyai langsung paham dan memberikan informasi.
“Betul, Pak. Penginap dengan nama Ratri sudah check-in seminggu ini. Tapi kalau ingin bertemu dengan beliau, harus ada janji dulu, Pak,” jelas si resepsionis.
“Iya, Mbak. Saya sudah paham soal itu. Saya tunggu di luar hotel saja, supaya tidak mengganggu kenyamanan hotel. Terima kasih sebelumnya, Mbak.”
Aku mengangguk ramah pada resepsionis itu dan segera menunggu di depan mini market tak jauh dari hotel. Mataku tak lepas menatap pintu masuk hotel, agar jika nanti dia keluar, langsung bisa kuhampiri.
Setengah jam berlalu, aku mulai gelisah dan bosan. Maka, kuputuskan jalan-jalan sebentar. Aku memasuki gang sebelah hotel. Namun, baru beberapa langkah, terdengar suara dua orang perempuan yang sedang asyik mengobrol di balik tembok rumah di sisi kananku. Penasaran, kudekatkan telingaku agar suara mereka semakin jelas.
“Itulah alasanku kenapa aku memilih minggat, San.” ***
Semarang, Maret 2021
Reni Asih Widiyastuti, kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah tersebar di pelbagai media cetak dan daring di Indonesia. Buku tunggalnya yang telah terbit: Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019)
Leave a Reply