Cerpen Sanie B. Kuncoro (Jawa Pos, 18 November 2012)
LAKI-LAKI itu datang padamu di suatu sore yang bercahaya. Musim kemarau ketika itu, terik kulminasi matahari masih tersisa di sekitarmu. Debu tipis melekat pada reranting dan dedaunan. Saat angin menghampiri, akan kau dengar gemerisik dedaunan yang seolah membisikkan dahaganya kepadamu. Tak hendak kau abaikan bisikan itu, namun kunjungan seorang tamu di beranda rumah tentulah harus dipedulikan terlebih dahulu. Siraman air untuk mereka haruslah menunggu.
Kau letakkan canting dan meredupkan nyala api pada wajan berisi malam cair. Tanpa meneliti ulang, gerak tanganmu telah mengatur nyala sumbu kompor itu pada ukuran yang tepat. Redup yang pas untuk menghangatkan malam dengan titik api yang aman, sekadar untuk menjaganya tetap berupa lelehan tanpa akan membakar apalagi menghanguskan.
Berkepul samar malam cair warna jelaga itu saat kau beranjak. Aromanya melekatimu, menguar kentara serupa jejak pada setiap gerakmu. Kau seka peluh di dahi dengan punggung tangan sesaat sebelum langkahmu menjejak ambang pintu terbuka, menyambut sang tamu. Bergerak lembut tanganmu mempersilahkannya duduk.
“Monggo pinarak.” [1]
Mengangguk laki-laki paruh baya itu membalas salammu. Jalinan rotan pada kursi tua peninggalan orangtuamu, berderak lirih saat menerima beban tubuh sang tamu.
“Kudengar kau pembatik yang mumpuni,” begitu tamu itu mengawali niat kedatangannya. Pujian awal yang tidak membuatmu tersanjung apalagi tersipu. Perjalanan waktu telah membawamu melewati hal-hal semacam itu, tidak membuatmu terbiasa melainkan justru memberimu kemampuan mendeteksi sebagai basa-basi atau umpan tekak.
“Kabar tentang mumpuninya pembatik, acapkali menyesatkan,” katamu santun.
“Memahami batik sebagai karya, tidak serupa mengenakannya. Apa yang tampak hanyalah tampilan, yang justru kerap menjadi ukuran keindahan, sementara makna rohani yang tersirat pada coraknya justru terabaikan.”
“Kuinginkan keduanya. Elok tampilan dan indah rohaninya. Karena itulah aku datang padamu. Wujudkanlah dua keutamaan itu bagiku, maka akan kutahu apakah pilihanku padamu ini karena tersesat atau kaweruh ing panuju.” [2]
Lurus mata laki-laki itu padamu. Tidak demi menelusurimu, melainkan itulah gerak sebuah niat yang tak tergoyahkan. Seketika kau tahu bahwa kau telah terpilih untuk mewujudkan sesuatu. Seringkali langkah awal tetamu baru adalah langkah yang gamang. Beberapa di antaranya berbalik langkah membawa niat yang urung. Sebagian yang lain teryakinkan oleh wastra yang tersimpan di almarimu. Kali ini kau dapati pilihan yang tak goyah kepadamu.
Namun bukan rasa kemenangan yang mengendap di dalammu, melainkan beban yang samar. Akankah ternyatakan nanti bahwa reputasi mumpunimu bukan kabar angin belaka?
Bukan hal mudah mewujudkan keinginan. Tidak selalu tepat melakukan penafsiran dari hasrat tersirat. Perbedaan rasa keindahan selalu bisa terjadi. Ada yang bersimpang jalan untuk kemudian saling menghindar tanpa beban satu sama lain. Beberapa di antaranya memilih untuk menjadikan rasa keindahan pribadi sebagai sesuatu yang sama mutlaknya bagi orang lain. Kini, akankah karya wastramu sanggup menafsir dan memenuhi hasrat keindahan laki-laki itu dengan jitu?
“Wastra apakah yang dikehendaki?” pelan kau bertanya, melangkah awal pada penelusuran sebuah keinginan. Diperlukan kehati-hatian mengungkap pertanyaan demi menjadikannya tidak sebagai penyelidikan yang nyinyir.
“Kukasihi seorang perempuan, baginya ingin kuberikan tanda mata yang akan mengikat hatinya kepadaku.”
“Nuwun sewu, apakah berupa batik sarimbit [3] yang akan dipakai berdua?”
“Tidak,” menjawab laki-laki itu tanpa menggeleng. “Busana sarimbitku dengan yang lain.” Datar suaranya, bernada sangat biasa. Menandakan makna tersirat yang gamblang. Siapa pun mampu menafsirkan dengan persis isyarat itu.
“Kuinginkan sutera terbaik berkualitas utama, dengan serat terlembut yang pernah ada. Harga tidak masalah, berapa pun itu akan kubayar tunai, lunas kapan pun kehendakmu.”
“Maka wujudkanlah dengan sempurna wastra tanda mata itu. Temukanlah corak batik nan elok serta bermakna rohani terindah, yang niscaya sanggup mengikat hati kekasih kepadaku, tanpa hendak berpaling.”
Demikianlah laki-laki itu menitipkan hasrat pemujaannya kepadamu. Diakhirinya kunjungan sembari menaruh harapan seutuh bulan purbani kepadamu untuk mewujudkannya.
Kau bergeming dalam duduk. Tampak tenang serupa permukaan dataran air. Sementara di dalammu ada yang melepuh diam-diam. Itulah hatimu. Sebentuk hati lembut, yang seharusnya terjaga justru diguyur air mendidih pada suatu ketika. Didih air itu menggenangimu, melepuhkan hingga serabut saraf tersembunyi di benakmu.
Terjaga utuh dalam ingatanmu yang satu itu.
“Tak kupunya lagi kesetiaan yang utuh kepadamu,” kata suamimu pada suatu hari, “ada padaku seorang perempuan lain, yang kepadanyalah hendaknya kau berbagi hati dan keberadaanku.”
Mendidih darahmu seketika. Meluap didihan itu mengguyur hatimu lengkap dengan uap panas yang melepuhkan.
“Tak hendak aku berbagi,” begitu katamu dengan nada lurus seturut keteguhan hatimu.
“Kalau begitu, aku akan menceraikanmu,” gumam suamimu serupa ancaman.
“Kuterima talakmu,” kau mengangguk tanpa rasa gentar.
Benar kau tak gentar. Serupa burung-burung yang tak pernah kawatir pada hari esok, demikian kau jalani perceraianmu tanpa rasa gamang. Tapi luka itu tak bisa kau ingkari. Bukan karena rapuh hatimu melepuh, melainkan oleh kenyataan bahwa dirimu telah ditinggalkan. Bahwa janji yang seharusnya teguh telah diingkari.
Kini, kau menerima amanah untuk membuat wastra yang akan menjadi ‘perayu’ perempuan lain. Tanda mata yang akan menandai gerak awal terbaginya sebuah kesetiaan…..
Lama kau merenung di beranda. Mengabaikan reranting dan dedaunan yang bergemerisik mengabarkan dahaganya. Tak kau pedulikan pula semburat matahari sore yang telah meredup dan membuat rumahmu remang tanpa cahaya.
***
Entah berapa hari kemudian¾yang kau lalui dengan perasaan gamang yang menggelisahkan¾kau temukan sebuah pilihan pola batik yang sekiranya tepat untuk tanda mata yang diinginkan laki-laki itu.
Pagi masih muda ketika itu, embun belum mengering dari dedaunan di kebun saat sebuah sarang burung tergeletak di pelataran. Kau letakkan sapu lidi, demi memungut sarang itu dan menduga-duga asal mulanya. Barangkali berasal dari pohon belimbing yang ada di dekatmu. Sarang dari jalinan reranting dan daun kering itu kosong, tak ada telur sebutir pun tertinggal. Sarang yang telah ditinggalkan.
Kau tak hendak membuang sarang itu. Kau membersihkannya dari debu dan sampah yang tak perlu, meletakkannya pada sebuah dahan dengan beberapa tangkai bulir padi. Kau berpikir barangkali burung-burung itu akan memerlukan kembali sarang darimana mereka berasal dan gabah itu akan menjadi santapan yang melegakan, sepulang mereka dari perjalanan yang melelahkan.
Demikianlah sarang itu mengilhami sebuah corak batik. Teguh pilihanmu, tanpa gamang meski setitik cecek [4]. Adalah pola buketan untuk mewujudkan rancanganmu. Setiap buketan terdiri dari seekor burung dengan sayap berlapis. Sebagai klowongan, yaitu ragam hias utama, kau tampakkan detil setiap helai sayap burung-burung itu. Seolah gerak melayang ujung sayap itu berkepak terbang. Sebagai ragam hias latar pola, terpilihlah ceplok bunga seruni yang kau posisikan serupa taman. Sengaja tak kau pilih jenis unggas, entah kupu-kupu atau capung sebagai latar hias, karena kau ingin sosok burung itu menjadi yang utama. Kau tata pola buketan itu dalam satu jajaran, seolah burung-burung itu berbaris menuju pada satu arah.
Gabah sinawur [5] untuk isen-isen [6], pengisi bidang kosong latar pola utama. Tangkai-tangkai padi itu seolah menjadi rangkaian gabah yang saling menyambung. Setiap tangkainya menampakkan bulir-bulir padi perlambang kemakmuran.
Ada ketelatenan yang tidak biasa saat kau mengerjakan wastra pesanan itu. Ketekunanmu menggoreskan canting melukis corak batik itu, tidak demi mengejar tenggat waktu semata-mata. Melainkan lebih karena kesungguhan hatimu yang menjadi penggeraknya. Lincah gerakmu, sesungguhnya karena jemari itu hanyalah perantara dari ungkapan rasa yang mengendap di benak. Sekian lapis endapan tak terungkap, yang nyaris tak tertanggungkan. Ada gelisah yang mereda, ada risau yang menjauh seiring wastra itu menuju pada tahap akhir penyelesaiannya.
***
Laki-laki itu datang menjemput tanda mata pesanannya pada sebuah pagi menjelang siang yang teduh. Pagar bambu yang membatasi kebunmu dengan jalan kampung, berderak pelan saat bergerak terbuka menandakan kedatangannya.
Kau bentangkan wastra kuning lembut sewarna gading. Melayang sesaat sutera itu tanpa suara, sebelum kemudian rebah pada sandaran kursi panjang. Kau temukan sepasang mata yang berpendar takjub. Menampakkan hasrat yang seolah meletup demi menelusuri wastra panjang itu dari ujung ke ujung.
“Lebih indah dari bayanganku semula, ternyatalah reputasi mumpunimu tidak menyesatkan.”
Kau diam, membiarkan udara tak bergerak di sekitarmu. Sama sekali tidak tergesa untuk tersanjung. Sejatinya kau menunggu laki-laki itu menyelesaikan kekagumannya.
“Alangkah tepat corak pilihanmu. Kuingat kekasihku pernah menginginkan batik bercorak burung hong.”
“Burung-burung itu sedang terbang menuju pulang,” katamu pelan dengan nada yang sangat terjaga.
Laki-laki itu menoleh padamu.
“Gumading Peksi Kundur [7], demikianlah kunamakan wastra ini.”
“Apa maknanya?”
“Burung-burung yang terbang menuju pulang pada sarangnya, itulah Peksi Kundur. Akan melambangkan makna yang berbeda andai diserahkan pada dua orang yang tak sama.”
“Maksudmu?”
Kau berhenti sejenak. Seolah jeda sebelum melanjutkan sesuatu.
“Dia akan menjadi tanda mata pamit untuk mengakhiri sesuatu. Telah selesai persinggahan sang burung, dan inilah tanda mata untuk melepaskan kepulangannya menuju sarang bermulanya. Pada pihak lain, ia adalah perlambang yang menandai sebuah kepulangan dari perjalanan panjang. Entah sejauh apa perjalanan itu, namun inilah saatnya untuk menemukan kembali sarang yang ditinggalkan. Adalah gabah sinawur yang menjadi isen-isen, itulah tebaran biji padi di masa awal musim tanam, menandakan bermulanya sebuah musim baru. Demikianlah sebuah musim dimulai, dengan taburan benih untuk menumbuhkan kehidupan baru menggantikan apa yang telah terlalui.”
Lurus mata laki-laki itu padamu. Pendar takjubnya telah berubah menjadi kilauan tajam serupa kelewang terasah. Kau tak gentar, apalagi terhenti.
“Mengapa kuning?”
“Gumading, itulah warna kuning selembut gading. Dengan teknik pewarnaan batik wonogiren, warna dasarnya seolah retak, terkena rembesan warna soga. Karena serupa itulah gading, senantiasa retak. Demikian juga kehidupan, terutama kasih sayang, selalu tak sempurna. Namun selama tak patah, yang retak itu tetaplah berharga.”
Kau berhenti kemudian. Lalu menunggu. Tak ada debaran tak normal di dalammu, melainkan ketenangan yang teguh. Seteguh pilihan-pilihanmu sejauh ini.
Di hadapanmu, laki-laki itu bergeming dalam hening yang panjang. Entah sedang menjalani masa suwung, demi menelusuri ulang jejak terlalui untuk menemukan jalan kembali. Ataukah tak hendak beralih dari lorong-lorong labirin, yang setiap lekuk kelokannya menjanjikan adrenalin nan menggairahkan?
Kau tak hendak bertanya. (*)
Keterangan
[1] Monggo pinarak : silahkan duduk
[2] Kaweruh ing panuju : memahami tujuan
[3] Sarimbit : berpasangan, busana bercorak sama yang dipakai suami istri.
[4] Cecek : ragam hias berupa titik-titik pada pola batik
[5] Gabah sinawur : taburan gabah
[7] Isen-isen : ragam hias yang terletak di dalam latar pola batik
Gumading : kuning gading
Peksi : burung
Kundur : pulang
dawam
Cerita yang baik untuk memahami dunia “perbatikan” namun menggunakan bahasa yang terlalu “puitis”, sehingga orang awam sulit mencerna apa makna yang ingin disampaikan penulisnya.
Mark0s0t
Top Mark0t0p.