Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 17 Juli 2016)
SEORANG lelaki setengah baya mendesak bertemu Amat. “Saya mau mengadukan nasib saya, Pak Amat. Saya dipecat dari pekerjaan saya. Apakah itu adil?”
Amat terkejut. Bukan karena dia ditanya tentang sesuatu yang tidak dia ketahui dari orang yang tak dia kenal, tetapi, “kenapa orang itu memilih Bapak untuk dilempari curhatnya,” sambat Amat pada istrinya setelah orang itu pergi.
“Mungkin atas nasihat para tetangga kita, Pak!”
“Tapi Bapak kan bukan aktivis pergerakan buruh? Bukan pemimpin buruh, bukan anggota serikat buruh. Juga bukan pengamat sosial? Dengar-dengar sih, orang itu entah sudah dipecat atau akan dipecat, karena banyak bolos dengan alasan kerja adat.”
“Justru karena itu!”
“Maksudnya?”
“Supaya dia cepat pergi, karena Bapak tidak tahu soal-soal perburuhan!”
“Makanya!”
“Makanya kalau ngomong dengan Pak Made, hati-hati. Sudah tahu orangnya jahil. Beliau kan musuh kita sejak pemilu, kan! Jangan sok membela rakyat kecil! Pak Made kan tangan kanan Bosnya yang sering memecat karyawan kalau ada yang terlalu pinter. Karena sudah rahasia umum, Pak Made sendiri takut kedudukannya akan digeser. Untung Bapak tadi tidak menanggapi, jadi dia cepat pergi.”
“Lho salah! Orang itu memang sudah pergi sekarang, tapi besok dia akan datang lagi membawa 50 orang teman buruhnya yang juga di-PHK.”
Bu Amat terkejut.
“Aduh Ratu! Mau datang lagi dengan 50 orang? Kenapa?”
“Sebab Bapak bilang akan coba ikut mencarikan solusinya yang terbaik.”
Bu Amat tercengang.
“Apa?! Jadi Bapak mau ikut-ikutan demo buruh?”
Amat kaget.
“Demo? Oh, tidak! Hanya memberi pemikiran bahwa….”
Bu Amat langsung memotong.
“Tidak! Jangan! Bapak tidak usah ikut-ikutan mau demo! Kita semua ini buruh, tapi bukan buruh yang maksa menang dengan demo! Kita sudah tua, tahu! Tahu diri sedikit. Itu artinya Bapak mau dipergunakan tahu?! Sadar tidak, ah?!”
Amat terdiam. Semalaman dia tidak bisa memicingkan mata. Esoknya, pagi-pagi betul, bersama istrinya ia meninggalkan rumah.
“Pak Amat dan istrinya mendadak harus pulang kampung, karena persoalan keluarga yang harus diselesaikan cepat, Pak,” kata Pak Alit yang dititipi Amat rumah, kepada tamu yang sejak pagi sudah muncul. “Kalau Pak Amat tidak lekas pulang, akibatnya akan fatal. Beliau bisa dikeluarkan dari krama-desa!”
Buruh yang dipecat itu hanya datang ditemani 5 orang rekannya yang sama-sama akan dipecat. Mereka nampak kecewa berat.
“Berapa lama kira-kira beliau mudik?”
“Wah itu kami kurang tahu, Pak.”
“Tapi saya sudah janji kemaren. Bagaimana kalau kami tunggu, sebab kami harus bertindak besok? Kami perlu mengatur strategi. Beliau sudah bersedia mengatur taktik dan strateginya!”
Pak Alit terkejut
“Maaf, bapak-bapak ini siapa?”
“Kami buruh karyawan pabrik tekstil kepunyaan orang Korea yang ada di beberapa kota. Bandung, Semarang, Surabaya, Jakarta dan Denpasar. Ini rekan-rekan saya pimpinan karyawan setempat. Kami akan bergerak serentak besok untuk menyampaikan petisi anti PHK dengan alasan perampingan karyawan. Karena itu tanpa ada rembugan dulu dengan kami. Kami menunggu petisi yang dijanjikan Pak Amat. Jadi kami akan tunggu saja, beliau pasti kembali, sebab kalau tidak ada petisi, gerakan kami hanya berhenti sebagai aksi. Padahal maksud kami bukan itu. Kami mau mencegah agar pihak majikan tidak berani berbuat seenaknya di masa depan terhadap bangsa kita, mentang-mentang kita miskin. Ini kan negeri kita? Kenapa mereka jadi tuan di negeri kita?”
Pak Alit hanya bisa manggut-manggut. Dalam hatinya heran juga mendengar Amat mulai terjun pada aksi massa.
Lima hari kemudian Amat pulang. Itu pun setelah berkali-kali menanyakan lewat telepon, apakah para buruh yang akan di-PHK itu sudah pergi.
“Ya, Pak Amat,” jawab Pak Alit, menenangkan. “Mereka esoknya pagi-pagi sudah pergi semua. Kelihatan kecewa sekali. Aksi yang mereka rencanakan dibatalkan!”
“O, ya? Kalau begitu mereka marah dong?”
“Sama sekali tidak!”
“O, ya? Masak?”
“Ya! Kata mereka, mendengar mau didemo, majikan memutuskan membatalkan pemecatan karyawannya. Ya, betul. Aman, Pak Amat! Bapak boleh pulang! Mereka malahan titip pesan berterimakasih pada Pak Amat! Karena Pak Amat sudah memberikan mereka petisi. Ya!”
Amat dan istrinya tiba kembali di rumah dengan wajah berseri-seri. Amat seperti melihat sinar kagum di mata para tetangga yang membuat ia bangga. “Usia tua ternyata tak menghambat kita untuk ikut berjuang jadi pembela rakyat kecil yang tertindas,” bisik Amat pada Pak Made.
Tapi begitu masuk rumah, Bu Amat menjerit. Seluruh barang berharga ternyata sudah disikat ludes.
Amat rontok. Bu Amat habis-habisan menyesali suaminya.
“Inilah akibatnya kalau sudah tua bangka, masih aksi-aksian revolusioner. Mau disanjung, nyatanya buntung!”
Merasa bersalah, Amat diam saja. Tetapi di dalam hati. Ia masih berkilah, “Jadi pahlawan memang tidak mudah, harus berani dan rela banyak berkorban!”
Untuk menutupi rasa malu, Bu Amat sendiri, berpura-pura tak ada apa-apa yang terjadi. Amat dilarang lapor polisi. Tetangga pun dikadali dengan pura-pura bersemangat mendukung perjuangan buruh.
“Kita semuanya adalah buruh. Perjuangan buruh adalah perjuangan kita! Saatnya sekarang tidak boleh tutup mata. Jangan biarkan para juragan kaya itu menggoreng bola. Kita harus ikut main, jangan cuma jadi penonton!” celoteh Bu Amat ke tetangga, seakan sedang meneruskan riwayat hidup barunya sebagai pemerhati keadilan.
Dilalah, Ami, putri tunggal Amat, berkoar ke tetangga. Tak sengaja, membocorkan rahasia perusahaan.
“Lho, Bu, kata saya kaget,” cerita Ami pada Pak Made, “hadiah jambangan bunga porselen dari kami untuk ulang tahun pernikahan bapak-ibu, kok ada di pasar loak? Lihat grafirnya yang dikutip dari sajak John Confort masih jelas: ingatlah segala yang baik dan cintaku yang kekal. Langsung Bli Sugi, suami saya beli lagi. Lalu saya marahin Bapak saya. Pak, kalau lagi kesulitan, jangan jual hadiah dari kami, terus-terang saja. Kami juga tahu, Bapak baru saja kemalingan habis-habisan. Terus-terang saja, semuanya akan lebih mudah! Orang kemalingan itu soal biasa. Bali bukan surga, di sini juga ada maling dan penipuan! Makanya jangan suka terima tamu yang tidak dikenal!”
Pak Made cekikikan lalu nyentil
“Rasain! Makanya, kalau sudah tua, jangan coba-coba ikut-ikutan main petisi-petisian! Mau jadi pahlawan kesiangan apa?!”
“Petisi-petisian apa, pak Made?”
“Lho belum tahu toh? Bapakmu itu kan makelar petisi! Makanya banyak orang jadi antipati. Ya dikerjainlah!”
Ami bingung.
“Maksud Bapak?”
Pak Made hanya ketawa. Meskipun di desak, ia tak mau menjawab.
“Anehnya, saya kok lihat Pak Made pakai cincin batu akik persis akik yang Bli berikan dulu kepada Bapak sebagai oleh-oleh waktu pulang dari Bandung!” kata Ami kemudian mengadu pada suaminya.
“Kenapa tidak ditanyakan saja, langsung?”
“Bukan hanya ditanyakan, saya permisi mencoba memakainya, sebab dia bilang, cincin akik itu dia beli di pinggir jalan. Saya curiga. Tidak mungkin! Dan ternyata waktu saya coba, di ikatannya ada grafir letter A. Itu pasti akik yang kita beli untuk Bapak. Yang lebih mencurigakan lagi, beberapa hari kemudian saya lihat putra Pak Made memakai cincin itu! Waktu saya puji itu akik bagus yang harganya bisa ratusan juta, dia bilang cincin itu nemu di jalanan. Aneh sekali, kan? Apa??”
Tak sampai sebulan kemudian, muncul lagi orang lain ke rumah Amat. Kali ini seorang anak muda yang mengaku mau di-PHK, karena dijebloskan kawannya. Dia yakin itu rekayasa.
“Minta tolong Pak Amat, saya dibantu, jangan sampai saya dikeluarkan. Saya siap mengganti uang kas kantor yang tak sengaja saya pakai gara-gara saya pinjam, untuk menolong teman, melunasi hutangnya yang terjadi karena dia kena tipu. Tapi nyatanya dia sendiri yang penipu. Saya yakin itu rekayasa perusahaan, karena jabatan saya diincar, mau diberikan familinya. Teman-teman saya sudah siap mau bergerak mendukung saya. Untuk itu kami perlu petisi. Kata Pak Alit, Pak Amat pinter bikin petisi! Pak Made juga menyarankan, konsultasikan ke Pak Amat saja!”
Amat langsung menjawab. “Kamu tak perlu petisi. Terima saja hukuman itu sebagai pendidikan moral supaya kamu jera. Itu namanya korupsi. Ajak ke-50 temanmu yang mau demo itu, berunding dengan Pak Made. Beliau ahli rekayasa. Di rumah saya ini tidak ada lagi jambangan bunga porselen dan cincin akik yang berharga ratusan juta!”
Anak muda itu bengong. ***
.
.
Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, novel dan lakon. Sejak akhir 2012 aktif melukis. Bersama istri (Dewi Pramunawati dan putranya, Taksu Wijaya) kini tinggal di Perum Astya Puri 2, Blok A9, Jalan Kertamukti, Cirendeu, Ciputat, Tangsel, yang juga jadi markas Teater Mandiri. Ribuan cerpen dan puluhan novel sudah lahir dari tangan Putu.
.
.
Leave a Reply