Cerpen, Faisal Oddang, Kompas

Sebelum dan Setelah Perang, Sebelum dan Setelah Kau Pergi

5
(2)

PERANG yang baru saja selesai telah mengubah banyak hal kecuali cinta kita, Arung. Saya harus pergi. Makassar setelah Ventje Sumual menyerah dan Permesta dibubarkan, bukan lagi Makassar yang membuat leluhur saya datang sebagai pedagang kulit penyu, ratusan tahun yang lalu. Nyawa saya terancam, kau tahu itu. Dan cinta? Cinta tidak pernah cukup dijadikan alasan untuk bertahan. Karena itu saya memilih pergi. Ketika surat ini kau baca, barangkali saya sudah tiba di Tiongkok. Tidak usah khawatir, ada Hanafi yang membantu kepulangan saya. Surat ini saya tulis ketika dia tiba-tiba menghubungi untuk menjemput, demi keamanan, katanya. Aku meremas tanpa menyelesaikan surat itu, setelah menghela napas panjang, setelah gagal menahan air mata yang tiba-tiba jatuh. Dan, tentu saja, setelah menyesali semuanya.

***

Dia memperkenalkan diri sebagai Malia. Kutahu bukan nama aslinya bahkan sebelum dia mengakui.

“Arung,” kataku meraih tangannya siang itu di bekas kantor harian Indonesia Timur, tempatku pernah bekerja sebelum berhenti terbit awal 1950, lima puluh tahun sebelumnya. Ia memperkenalkan diri sekaligus mengatakan maksudnya untuk mencari data mengenai koran-koran yang didirikan komunitas Tionghoa di Makassar.

“Aku tidak bisa membantu banyak. Dan sini, Nona lihat sendiri, tidak ada yang tersisa.”

“Tuan Huang Sung Chie tidak mungkin salah mengusulkan orang,” tepisnya.

“Aku hanya wartawan biasa, Nona. Mantan wartawan, tepatnya.”

Matanya jelas tidak memercayai mataku sekaligus apa yang aku ucapkan waktu itu. Huang Sung Chie adalah pendiri beberapa koran Tionghoa di Makassar—dan aku bertahun-tahun menjadi bawahannya. Bahkan sejak ia menjabat pimpinan redaksi Pemberita Makassar hingga pada 1947 menerbitkan koran baru bernama Neraga Baru serta Majalah Timur Raja yang menjadi cikal-bakal harian Indonesia Timur.

“Saya tidak pernah salah memercayai orang, dan saya memercayai Bung.”

“Kata orang bijak, selalu ada yang pertama untuk semua hal, Nona.”

“Yang jelas, Bung harus tahu, saya tidak akan salah kali ini.”

Aku menyerah lantas menuju beranda. Malia paham itu adalah pengiyaan sekaligus isyarat baginya untuk mengikutiku sebelum akhirnya kami duduk berhadapan di kursi kayu jati dengan diantarai meja bundar dari jenis kayu yang sama. Malia tersenyum menang dengan bola mata yang hilang ditelan kelopaknya. Yang masih membuatku tidak habis pikir adalah bahasa Indonesianya, lebih baik dari totok manapun yang pernah kutemui.

“Saya bertahun-tahun belajar soal Indonesia, termasuk bahasanya, bagi kami, hal itu penting apalagi sejak Indonesia kami perkirakan menjadi negara komunis yang kuat di kawasan Asia. Kami mempelajari kalian sejak revolusi komunis di negara kami enam tahun yang lalu.”

Aku terkejut tetapi tetap berlagak tenang. Dan apa guna koran-koran yang diinginkan Malia? Ah, itu bukan persoalan bagiku. Ia nampak menguasai percakapan kami—dan itu cukup sebagai modal pertama baginya untuk memancing perhatianku.

Baca juga  Pulang

***

Tidak cukup setahun setelah pertemuan pertama yang telah kujelaskan, kami pacaran. Setahun kami pacaran, Jumat 2 Maret 1957 Malia mendatangi kontrakanku ketika azan Subuh baru saja terdengar sekitar setengah jam sebelumnya. Ia biasanya datang setelah Magrib lalu tinggal hingga pagi. Tetapi yang dilakukannya kali itu sungguh membuatku bertanya-tanya. Sebelum benar-benar kutanyakan, ia sudah menjelaskan dengan tampang yang sungguh aneh sekaligus tidak tertebak; senang atau sedih atau kaget atau apa pun itu, yang jelas Malia aneh.

“Ada proklamasi SOB,” katanya tenang setelah duduk meleseh di karpet biru tipis ruang tamuku.

Staat van Oorlog on Beleg? Tidak masuk akal!”

Aku tidak sengaja mengepulkan asap tebal ke wajahnya dan juga tidak sengaja menumpukan ujung jari tengah dengan telunjuk di dahiku. Seakan-akan aku yang bertanggung jawab memikirkan hal itu.

“Memang tidak seharusnya ada proklamasi, darurat perang hanya bikinan militer, sesukanya mereka demi kepentingan ini dan kepentingan itu. Tapi itu sudah terjadi, Arung, sudah masuk akal. Militer ambil kemudi. Puluhan tokoh dijemput tentara dan dua wartawan diikutkan. Tadi Hanafi mengantarku ke sini lalu buru-buru ke gubernuran. Katanya, tokoh-tokoh itu telah menandatangani piagam di gubernuran sana. Piagam Permesta tep…”

“Ini makar!” potongku, lagi-lagi seperti orang yang harus turut resah, “ini permai…”

Malia balas memotong dengan ciuman singkat di bibir bawahku. “Permainan apa, Sayang? Kau terlalu semangat. Tenanglah dulu, saya buatkan kopi.”

***

Aku tidak percaya ia sudah tiba di Tiongkok. Tetapi apa pentingnya? Tiba atau tidak, sama saja, dia telah meninggalkanku. Dia pergi dan tujuannya tidak lagi penting. Kembali kupunguti suratnya, kubaca lagi—tetapi tidak berubah; ia pergi. Semalam, ia datang ke kontrakanku untuk menginap dan menemaniku. Hal itu tidak aneh, dia sering melakukannya. Kemudian, bisakah kita bercinta untuk terakhir kalinya? Aku seharusnya merasa aneh untuk permintaan itu, tapi segera kukulum bibirnya dengan buru-buru. Terakhir untuk malam ini, sayang, tetapi tidak untuk malam-malam selanjutnya. Ia hanya tersenyum lalu memelukku sangat erat sebelum kami saling cumbu hingga subuh dan benar-benar untuk yang terakhir kalinya.

Aku melanjutkan membaca surat Malia tanpa berhasil mencegah diri untuk bersedih. Saya mencintaimu, Arung, tulisnya, tetapi.., kita harus berakhir di sini. Saya benar-benar tidak mengerti, tiga tahun lalu, ketika Permesta menguasai Makassar, kami dimusuhi. Kau tahu, musuh Amerika adalah musuh bersama. Kini mereka menyerah dan saya pikir semua akan kembali seperti semula, tetapi ternyata keliru; perang tidak menyelesaikan apa-apa. Sekolah dan semua yang pro-Kuomintang ditutup, koran dilarang terbit, dan izin usaha orang-orang Tionghoa dicabut bahkan dirampok oleh militer, saya pikir kata dirampok lebih tepat daripada diambil alih, seperti istilah mereka. Saya, seperti yang kau tahu, memang bisa menghindari genangan lumpur itu, tetapi cipratannya senantiasa mengotori juga. Konon, ada banyak bukti bahwa pemerintah saya mengirim pesawat tempur untuk membantu Permesta merebut Morotai dan mempertahankan Minahasa. Itu di luar nalar, meski tuduhan itulah yang dipercaya pemerintahmu—atau tepatnya, dipaksa oleh Amerika yang pengecut itu untuk percaya. Arung, saya mohon pergilah yang jauh untuk beberapa saat. Maafkan saya telah mencipratimu juga. Koran-koran itu kami jadikan contoh untuk propaganda yang disiapkan kaum nasionalis di negara saya. Jujur, saya awalnya ingin memanfaatkanmu tetapi cinta mengubah segalanya. Saya menyerah di hadapan cintamu dan…

Baca juga  Kisah-Kisah Asmara Seorang Penulis Novel

Mataku masih sembab dan surat Malia belum selesai ketika kudengar gedoran yang sudah pasti pertanda sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja. Terdengar teriakan memintaku keluar. Terdengar teriakan memintaku menyerahkan diri—dan belum sempat kujawab teriakan itu, pintu kontrakanku jebol dan aku tidak mengingat apa-apa lagi setelahnya.

***

Kali ini adalah pertemuan kedua kami setelah sehari yang lalu Malia membuatku menyerah lalu berjanji membantu kepentingan penelitiannya.

“Terima kasih, Bung membantu saya, benar yang saya percaya.”

Ia mengucapkan itu sambil menyodorkan rokok dengan nada dan gerakan yang tampak sungkan. Di tangannya, selain rokok dan arloji, juga ada beberapa koran Makassar yang akhirnya berhasil kami kumpulkan. Hampir lengkap mulai yang lama sampai yang baru—yang berbahasa Tionghoa hingga berbahasa Melayu.

“Terima kasih,” ucapnya sekali lagi, “tapi kita belum selesai. Bung saya harap masih mau membantu.”

Aku tiba-tiba bengah mendengarnya. Apa? Kulihat tumpukan koran yang kini ia kepit di ketiak kirinya. Di tumpukan itu bahkan ada koran Mata Hari, yang tertua di Makassar, setahuku. Selain itu, koran-koran seperti Tionghoa Poo, Makassaarsche Courant, Indo China, Xijian Ribao, bahkan Sek Kang Siang Po—yang tergolong tak begitu penting karena hanya terbit beberapa dan hanya berisi berita dagang, ia dapatkan pula.

“Seharusnya Nona berterima kasih pada orang-orang Koumintang yang merelakan arsipnya buat kita, tadi kan aku hanya bantu catat nama-nama koran yang kita dapatkan, tapi tunggu,” aku mengambil jeda dengan mengisap dalam-dalam rokok pemberiannya, “belum selesai? Apanya?” Ia tertawa renyah menyusul pertanyaanku. Ia mengangguk lantas menjelaskan bahwa Koumintang berada di pihak kami. Kami? Maksudmu kita? Aku bertanya.

“Baiklah, saya ralat. Koumintang bersama saya, Bung.”

Aku semakin tidak mengerti ke mana arah kami, dan semakin penasaran tentang apa yang harus selesai. Belum ada jawaban untuk rasa penasaranku ketika Malia pamit dan seorang lelaki yang tampaknya berusia tiga puluhan sepertiku, menghampiri kami.

Baca juga  Tiga Laki-Laki dalam Satu Waktu

“Bung, terima kasih,” senyumnya sangat manis mengatakan itu, “saya pamit pulang. Ah iya,” Malia seperti melupakan sesuatu yang sangat penting, “kenalkan, Hanafi,” ia memberi isyarat kepada kami untuk berkenalan dan benar saja, temannya mengulurkan tangan yang segera kusambut sambil menyebutkan nama. “Dia tentara,” lanjut Malia, dan bagian terakhir itu sangat tidak penting.

***

Malia datang membawa kopi yang ia maksud. Wajahnya tampak tegang, aku tahu itu dan semestinya ia tahu pula bahwa senyumannya tidak bisa menyembunyikan apa-apa.

“Tidak ada yang perlu disembunyikan. Ceritalah…”

“Amerika di balik semuanya,” suaranya ia pelankan, ia memasang tampang serius, “CIA tepatnya, tunggu saja beberapa hari, mereka akan kirim bantuan.”

Aku ragu.

“Tidak ada yang ingin kalah seorang diri meskipun mereka kelak harus menang bersama-sama.”

Aku seharusnya percaya.

“Komunis menang di Tiongkok, di sini PKI semakin kuat, kurang alasan apalagi Amerika itu? Mereka itu penakut!”

***

Aku membuka mata dan sudah duduk bersandar di tiang dengan tangan diikat ke belakang. Yang terakhir kuingat adalah gedoran di pintu dan hantaman berkali-kali ke tubuhku. Apa-apaan ini? Aku membatin. Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban apa-apa selain sepatu lars yang menghunjam dadaku dan menimbulkan bunyi seakan-akan seseorang tengah melupuh bambu. Napasku tersengal dan tanpa sengaja kumuntahkan surat Malia yang belum selesai kubaca. Tadi, ketika tentara datang, aku tidak bisa memikirkan cara menyembunyikan surat tersebut selain menyimpannya di dalam mulut. Sejulur tangan memungutnya. Aku tidak berani mengangkat tatapan. Perang yang baru saja selesai telah mengubah banyak hal, kecuali cinta kita, Arung. Terdengar pemilik sejulur tangan itu membaca surat Malia dengan nada jengekan.

“Lonte,” rutuknya. “Jadi kalian mengkhianatiku selama ini?”

Aku mengingat suara itu. Kutengadahkan wajah dan kudapati muka Hanafi yang merah padam.

“Ternyata kalian selingkuh. Antek sialan!”

Sekali lagi tungkainya menghunjamku. Aku tidak sempat menanyakan nasib Malia dan masih menduga-duga lanjutan suratnya ketika Hanafi menempelkan ujung pistol ke jidatku. Tidak usah khawatir, katanya, kalian akan bertemu di neraka. ***

Makassar, 2016.

*cerita untuk Christine M Udiani

Faisal Oddang, mahasiswa Sastra Indonesia Unhas. Terpilih sebagai penulis cerpen terbaik Kompas 2014 dan Tokoh Seni Tempo 2015 melalui novelnya, Puya ke Puya (KPG, 2015), yang juga memenangi sayembara novel DKJ 2014 dan menjadi Novel Terbaik 2015 pilihan Majalah Tempo. Novel terbarunya Pertanyaan kepada Kenangan (Gagasmedia, 2016).

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!