Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 20 November 2016)
Bong Suwung, Yogyakarta, 1970
MALAM begitu kelam ketika ia melangkahkan kakinya melompati sisa tembok pada lobang itu, lobang yang membuat kawasan Bong Suwung di bagian ini disebut Istana Tembok Bolong. Dengan begitu ia pun sudah berada di dalam wilayah Stasiun Tugu.
Di balik tembok segalanya gelap, dari balik kegelapan itu terdengar suara berat seorang lelaki.
“Anak kecil! Mau apa di sini?”
Ia tak melihat apapun. Lampu tiang listrik di sekitarnya habis dicuri. Cahaya dari peron di kejauhan pun tidak sampai kemari.
“Oh, mencari Mbak Tum.”
“Asal anak kecil kok mencari Mbak Tum.”
Dalam kegelapan terdengar suara tawa lelaki dan perempuan.
Untuk sejenak ia merasa tersinggung. Sebenarnya antara tersinggung dan takut. Namun hasratnya untuk mencari Mbak Tum kuat sekali.
Kakinya melangkah dari rel ke rel. Banyak sekali rel di dalam stasiun, pikirnya, untung langkah kakinya bisa mencakup lebar rel itu, meski sandal jepitnya yang kecil kadang-kadang lepas, dan ia mesti berhenti sebentar untuk mengenakannya kembali.
Angin kencang terasa dingin menerpa kakinya yang bercelana pendek. Ia menoleh ke kiri, ke arah barat, tempat terdapatnya cahaya seadanya di persilangan kereta api. Tampak kendaraan melewati persilangan itu, satu dua mobil, sepeda motor sesekali, tetapi yang terbanyak adalah sepeda dengan lampu berko yang tidak bisa menerangi apapun.
Ia masih bisa melihat sejumlah perempuan yang berdiri sepanjang persilangan. Jika kereta api melewati persilangan mereka akan menyingkir, dan jika kereta api sudah lewat mereka akan berdiri di tempat itu lagi.
“Kalau mencari Mbak Tum bukan di situ,” begitu kalimat yang pernah didengarnya, “dia berada di salah satu gerbong rongsokan.”
Ia terus melangkah dari rel ke rel.
Lampu lokomotif kereta api penumpang yang memasuki stasiun sekilas memperlihatkan letak gerbong-gerbong barang yang sudah tidak digunakan lagi. Berkarat dan melumut seperti gua manusia purba.
***
Segalanya kembali ditelan kegelapan. Terpandang olehnya pintu kereta pada persilangan yang baru saja dibuka, dan dari dua arah berbagai kendaraan maupun orang berjalan kaki berlomba menyeberangi rel.
Di kejauhan itu dilihatnya seorang pengayuh sepeda berhenti di depan salah satu perempuan yang berdiri di persilangan.
Ia melangkah lagi. Perjalanannya terasa sangat panjang sebelum bisa melihat Mbak Tum.
Mula-mula hanya bara api rokok yang tampak dalam kegelapan. Bara api bergerak-gerak yang menunjukkan betapa dalam kegelapan itu terdapat seseorang yang sedang merokok. Ketika dihisap, bara api itu menyala lebih terang, tetapi sampai jarak tertentu, bahkan sampai ia dapat menangkap bentuk gerbong dalam kegelapan, masih saja tak dapat dilihatnya wajah seseorang yang sedang merokok itu.
Gerbong barang itu pintunya besar dan terbuka, di dalamnya hanya terdapat kegelapan sebuah gua. Gerbong seperti itu biasanya membawa bungkusan-bungkusan besar, mungkin pula hewan, atau sepeda motor, tetapi tidak ada yang dapat diandalkannya untuk menduga, digunakan untuk apakah kiranya gerbong ini sekarang.
“Anak kecil, mencari siapa kamu?”
Sekarang ia tahu yang merokok itu perempuan, dan perempuan itu bersuara serak.
“Mbak Tum…”
Perempuan itu tidak langsung menjawab. Hanya bara rokok itu yang bergerak ke atas dan kembali bertambah terang. Ia seperti mendengar suara tembakau yang terbakar, dan suara mulut yang menghembuskan asap rokok dengan nikmat, seperti hanya kenikmatan merokok itulah yang membahagiakannya di dunia fana.
Malam bertambah dingin. Namun ia tak tahu apakah dirinya menggigil karena kedinginan atau karena merasa telah berhadapan dengan Mbak Tum. Suatu nama yang baginya termashur, karena inilah sosok yang namanya sering disebutkan teman-teman sepermainannya.
“Namaku Tumirah. Aku yang dipanggil Mbak Tum di sini.”
Ia tertegun dan masih menggigil.
“Kamu mau apa?”
Mulutnya terkunci. Terdengar perempuan itu tertawa ringan.
“Kamu juga mau ya?”
Suara peluit lokomotif melengking di kejauhan, disusul suara uap yang mengempos dari samping kiri dan kanan. Lantas terdengar pengumuman tentang kereta api dari arah tertentu yang akan memasuki stasiun, kereta api dengan tujuan tertentu yang siap diberangkatkan, maupun rangkaian kereta api yang hanya akan lewat saja tanpa berhenti.
Ia tahu bagaimana semua kereta api ini akan melewati persilangan, palang kereta api yang turun dan terangkat kembali dengan bunyi teng-teng-teng-teng dan bagaimana perempuan-perempuan yang menyingkir karena kereta api lewat, kembali berdiri di tepi jalan.
Sebenarnya mereka tidak benar-benar berdiri di tepi jalan, melainkan agak masuk ke dalam wilayah stasiun, artinya berdiri di antara rel-rel yang hanya tampak sebagian karena segera menjadi bagian dari kegelapan. Dari jalan hanya wajah mereka saja yang terlihat, seperti topeng-topeng putih tanpa tubuh, karena pupur yang lebih tampak seperti labur.
***
Perempuan itu menyulut rokok baru. Waktu korek api menyala ia melihat wajah perempuan yang mengaku bernama Tumirah itu. Rambutnya yang lurus tampak terurai, dan seperti kecoklatan mungkin karena cahaya api dalam kegelapan. Meskipun segalanya segera kembali gelap, ia telah mengingat semuanya. Perempuan itu mengenakan kebaya berbunga-bunga yang tidak terkancing di luar kutang yang bagian atasnya terbuka, bawahannya akin batik yang tergulung pada pinggang. Kakinya berjuntaian di tepi gerbong. Hanya berdua dengan perempuan ini membuat hatinya tenang.
“Kamu membawa uang berapa?”
“Lima puluh.”
“Lima puluh? Ambil punya siapa?”
“Itu uangku.”
“Uangmu? Kamu berjualan?”
“Tidak. Aku menabung.”
“Hhhh….”
Angin bertiup kencang, terdengar suara geluduk di langit. Tubuhnya bagaikan tiba-tiba memanas. Ia sudah berhadapan dengan sosok Mbak Tum.
“Lima puluh itu cukup untuk sepuluh korek.”
Ia tertegun. Cerita tentang korek api itu sudah lama ia dengar. Namun bukan untuk itu ia menembus kegelapan penuh rahasia Istana Tembok Bolong. Ia baru saja membaca mahakarya Adinda, Tante Rose dan Si Genit Elsa, dan dalam buku sewaan lusuh itu tidak ada cerita tentang korek api, kecuali jika diperlukan untuk merokok.
“Aku tidak mau korek api.”
Terdengar tawa perempuan itu.
“Berapa umurmu?”
“Sebelas.”
Sekarang tawa itu keras sekali.
Ia ingin berbalik, tapi sosok perempuan itu memiliki daya magnit. Ia tetap berada di tempatnya.
“Kawan-kawanmu semuanya juga mau,” kata perempuan itu, setelah menghisap rokok cap Admiral kuat-kuat sampai letik baranya beterbangan ditiup angin, “tapi aku tidak akan menambah dosa-dosaku yang sudah bertumpuk ini dengan merusak jiwa anak-anak.”
Malam sungguh kelam. Ia hanya mampu menduga-duga apa yang dimaksud perempuan itu.
“Kalau masih memaksa juga kamu boleh bermain korek api. Dengan uangmu kamu bisa menyalakan batang korek api sepuluh kali.”
Ia ingin lebih dari itu. Namun juga belum pernah melakukan apa yang disebut perempuan itu sebagai bermain korek api.
Ia masih berdiri terpaku.
“Ayolah sini, mana uangnya?”
Seperti tersihir ia melangkah maju menyerahkan uangnya. Semuanya digulung dan dirapatkan ikatan gelang karet sampai padat. Masih ditambahnya dengan tiga uang logam baru Rp 1,-.
Tangannya terulur ke atas, menyentuh tangan perempuan yang duduk dengan kaki menjuntai di atas gerbong barang. Arus hangat merasuki tubuhnya dari tangan yang seperti meremasnya dengan mesra, ketika menerima uang itu agar jangan sampai berjatuhan ke bawah.
“Kuhitung dulu ya?”
Ikatan gelang karet itu dibuka, uang kertasnya masih tetap tergulung. Uang kertas yang masih baru maupun yang sudah lusuh: Rp 1, yang bergambar Soedirman maupun masih bergambar Soekarno, 50 Sen dan 25 Sen yang bergambar sukarelawan, 10 Sen dan 5 Sen yang bergambar sukarelawati. Semua itu berusaha diluruskannya.
“Wah susah ini, sepuluh, dua belas, dua puluh ….”
Rasanya perempuan itu menghitung sepanjang abad. Ia tidak pernah mengira malam ini akan tetap tinggal abadi dalam dirinya.
Uang kertas itu digulung dan diikat kembali dengan gelang karet, langsung disusupkan ke kutangnya. Tiga uang logam Rp 1, juga disusupkan ke bagian lain kutangnya itu.
Perempuan itu meloncat turun.
“Aku kencing dulu ya?”
Tubuh perempuan itu meruapkan hawa hangat yang melintasi segenap inderanya ketika menuju kegelapan. Kini ia cukup terbiasa dengan kegelapan, sehingga dapat dilihatnya perempuan itu hanya menyingsingkan kain dan berjongkok di tengah rel sebelum akhirnya berdiri lagi. Tidak ada gerakan lain selain itu.
Geluduk menggeluduk di langit. Ia mendengar suara-suara manusia dari dalam gerbong di sebelah timur maupun barat, sementara terhirup olehnya bau besi dan oli di antara rel.
“Ini koreknya,” perempuan itu meletakkan kotak korek api di tangannya, sebelum naik kembali ke atas gerbong, “sepuluh kali ya.”
Di gerbong, perempuan itu kembali duduk, lantas menarik kainnya dengan dua tangan sampai ke lutut, kemudian menaikkan kedua kaki sampai tumitnya menempel di tepi lantai gerbong. Di tangannya masih ada rokok, yang dihisapnya kuat-kuat sampai bara merah itu menyala terang, dan lagi-lagi tembakaunya gemeretak dan letik baranya tersapu angin yang bertiup kencang.
“Ayo cepat, sudah mau hujan. Mendekatlah, nanti tidak kelihatan.”
Ia maju dan seperti merasa memasuki lingkaran kehangatan. Ia mencoba melihat ke dalamnya. Namun hanya ada kegelapan.
Ia menyalakan batang koreknya yang pertama.
Langsung mati tertiup angin.
“Satu ….” kata perempuan itu sambil menghembuskan asap rokoknya ke atas.
Ia menyalakannya lagi, kali ini berusaha melindunginya dengan tangan.
Tetap mati.
“Dua …”
Cepat sekali ia nyalakan yang ketiga. Lebih cepat lagi mati, meski apinya tetap sempat menyala. Ia tetap belum melihat apapun.
“Tiga …”
Dengan cepat ia menggoreskan kepala batang yang keempat pada sisi kotak korek api itu. Tidak menyala sama sekali.
“Itu tidak dihitung.”
Segera ia menyalakan yang lain lagi. Menyala. Namun ketika matanya berpindah menuju yang semula hanyalah kegelapan, apinya pun sudah mati.
“Empat …. Coba tunggu anginnya berhenti.”
Angin tidak kunjung berhenti. Perempuan itu membuang rokoknya.
“Coba lebih masuk, tapi jangan kena kainnya, aku cuma punya dua.”
Kedua tangannya masuk, ia menggoreskan batang korek api itu. Menyala! Namun ia hanya melihat kedua tangannya sendiri di dalam ruang sempit tersebut. Tangan kanannya memegang batang korek yang menyala terang sehingga corak Parang Rusak kain batiknya terlihat jelas, maka ia menarik tangan kirinya yang memegang kotak korek api itu keluar.
Saat itu apinya mati. Ia hanya melihat kegelapan. Langit memang tanpa bulan dan tanpa bintang di Istana Tembok Bolong. Bagaikan wilayah itu bagian dari semesta yang berbeda.
“Sudah lihat?”
“Belum.”
“Tapi tetap dihitung ya. Lima …”
Separuh peluangnya untuk sama dewasa dengan teman-temannya sudah lewat, tetapi ia masih mempunyai lima kesempatan lagi.
Suara-suara lenguhan dari dalam gerbong terdengar keras. Perempuan itu tampak terganggu.
“Hooooi! Ada anak kecil hoooiii.”
Suara-suara menjadi pelan.
“Ayo cepatlah. Bukan tempatmu di sini. Kalau mau kamu ambil saja uangmu lagi dan pergi.”
Ia tidak beranjak. Menyalakan lagi batang koreknya. Harus tetap di luar, pikirnya, jadi tangan kirinya tidak menjadi penghalang pandangan matanya. Namun tangan kirinya itu pun rupanya terlalu kecil untuk melindungi api dari tiupan angin. Angin kencang malam itu tidak pernah dapat diduga datangnya.
“Enam ….”
“Tujuh ….”
“Delapan ….”
“Sembilan ….”
Perempuan itu ingin membantunya untuk batang korek api yang kesepuluh karena merasa iba, tetapi menahan diri karena berpikir akan lebih baik bagi anak itu jika tidak melihat apa yang diinginkannya. Setidaknya malam ini.
Lokomotif langsir menggunakan rel buntu itu, ketika batang korek api yang kesepuluh menyala untuk segera tertiup angin dan mati.
***
Hasratnya ternyata ikut mati. Ia membalikkan tubuh tanpa rasa kecewa.
Tumirah menurunkan kaki. Perasaannya galau.
“Dik, kamu bawa saja kembali uangmu!”
Ia yang sudah kembali melangkah dari rel ke rel dan mengarungi kegelapan memang mendengarnya, tetapi ia tidak menghentikan langkahnya. Namun kotak korek api bergambar beruang kutub dengan batang-batang korek api di dalamnya itu masih berada di dalam genggamannya. Hanya sampai di situlah jalan hidupnya dipertemukan dengan jalan hidup Tumirah.
Perempuan itu memandangi kegelapan. Tidak dilihatnya apapun dan bukan tidak diketahuinya betapa korek api itu berada di tangan anak tersebut. Tidak dilihatnya anak kecil bercelana pendek dan bersandal jepit itu muncul di kejauhan sebagai siluet, melangkahi sisa tembok pada lubang yang merupakan gerbang kebesaran Istana Tembok Bolong, kembali ke dunia darimana ia berasal.
Tidak dilihatnya apapun karena matanya basah.
Dari dalam gerbong-gerbong barang, mereka yang masih mengeluarkan suara tertahan-tahan itu tertegun, ketika di antara suara derasnya hujan yang mendadak turun diiringi halilintar menyambar-nyambar, terdengar raung tangisan seorang perempuan, yang raungannya begitu keras seperti jerit kepedihan yang tiada duanya di dunia … ***
.
.
dengan salam untuk “Prenjak”, Kampung Utan, Senin 29 Agustus 2016. 05:25. Diperpendek, Sabtu 12 November 2016. 10:45.
Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977, kini tergabung dengan penajournal.com. Baru saja terpilih sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta.
.
Istana Tembok Bolong. Istana Tembok Bolong.
Leave a Reply