Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 16 Desember 2012)
NAMAKU FENGHUANG. Kata Niang, fenghuang adalah burung yang paling besar. Fenghuang juga burung dengan bulu-bulu paling indah. Campuran antara merah, jingga, dan kuning—dan waktu mengepakkan sayap, bulu-bulunya berkilau seperti warna emas. Tetapi fenghuang hanya bertelur satu kali sepanjang hidupnya. Telur itu kelak akan menetas dan menjelma bayi fenghuang yang tak kalah indahnya. Karena itu fenghuang bersarang di dahan pohon-pohon yang tinggi.
Kadang aku berpikir, Niang adalah penjelmaan induk fenghuang, karena Niang hanya punya satu orang anak, yaitu diriku. Tetapi tiap kali pikiran itu muncul, selalu ada pikiran lain yang menyanggah. Rasanya tak mungkin Niang adalah penjelmaan induk fenghuang. Tubuh Niang gemuk dan pendek. Mukanya lonjong seperti telur, jidat agak lebar, mata sipit tapi bibirnya terlalu tebal. Selain itu kulit Niang berbintik-bintik merah. Sangat jauh dari gambaran fenghuang sebagai burung paling besar, berbulu paling indah dan berkilau keemasan.
Tetapi kalau Niang bukan penjelmaan induk fenghuang, kenapa aku lahir sebagai putri yang indah? Lihat, tubuhku semampai. Rambutku hitam-lurus dan hampir menyapu pinggang. Aku cantik. Kulitku kuning-langsat dan berkilau seperti emas pudar. Jari-jari tanganku lentik seperti pemain ku-chen. Tiap kali aku menatap pantulan tubuhku di cermin, aku berpikir, kalau Niang bukan penjelmaan induk fenghuang berarti ia telah mencuri bayi fenghuang dari sarangnya. Niang pasti telah melepas sayap-sayapku, sehingga aku tak bisa terbang dan tertahan di rumah ini—di kamar ini. Niang pasti telah mencopot lidahku, sehingga aku tak bisa berteriak memanggil indukku.
Atau, mungkin aku adalah titisan Chang E, si dewi bulan. Aku sering berpikir seperti itu. Dan rasanya kemungkinan ini lebih masuk akal, daripada menuduh Niang telah mencuri bayi fenghuang dari sarangnya. Atau menuding Niang telah melepas sayap-sayap atau mencopot lidahku. Aku tahu Niang menyayangiku. Kemungkinan ini juga lebih masuk akal, karena aku cantik dan Niang jelek. Bukankah dewa-dewi pun tak bebas memilih sewaktu menitis ke rahim seorang perempuan? Akhirnya, dari orangtua yang jelek seringkali lahir putra-putri yang seelok dewa-dewi. Kemungkinan ini juga lebih masuk akal bagiku, karena aku kerap menatap bulan lewat jendela kamar. Aku suka mengamati bentuk bulan yang berubah-ubah—dari bentuk bulat, separuh bulat, lalu hanya garis lengkung serupa alis mata. Pada saat-saat itu kukira titisan Chang E di dalam tubuhku mulai merindukan bulan. Hanya saja ia belum menemukan ramuan panjang umur, sehingga tak bisa terbang dan masih tertahan di kamar ini.
Lalu, kalau titisan Chang E yang terperangkap pada tubuhku ini merindukan bulan, kenapa ia menitis sebagai manusia? Hmm, pertanyaan yang rumit, tapi tak sulit kujawab. Kukira ada saatnya dewa-dewi pun akan merasa bosan. Kukira ada saatnya Chang E mulai bosan tinggal di Istana Bulan yang dingin, dengan hanya ditemani kelinci putih yang saban hari mengikutinya atau kakek tua yang terus menebang pohon yang tak bisa tumbang. Akhirnya ia memilih menitis sebagai manusia.
Namaku Fenghuang, dan itulah yang selalu kupikirkan tentang diriku.
ADA SEORANG LELAKI di rumah ini. Aku memanggilnya Thie. Ia suami Niang. Lelaki ini bertubuh tinggi-langsing, seperti tubuhku. Matanya juga sipit, tapi hidungnya tidak bengkak seperti hidung Niang, dan bibirnya penuh seperti bibirku. Jari-jari tangannya juga lentik. Lelaki ini yang kerap bercerita padaku tentang rumah ini. Mungkin ia tak bercerita, tapi hanya berkata-kata sambil menerawang—sementara aku memandang ke sudut yang lain. Mungkin ia juga tak berharap aku akan mendengar ceritanya, tapi kenyataannya aku menyimak setiap kata-katanya.
Aku tahu rumah ini menghadap ke sebuah jalan kecil, dengan dua deretan bangunan saling berhadapan. Jika seseorang memasuki jalan ini, ia akan melihat papan-papan reklame berjajar di sepanjang jalan. Hampir setiap rumah di jalan ini membuka took—mulai dari toko sembako, toko makanan kecil, toko kelontong yang menjual macam-macam kebutuhan, sampai bengkel sepeda atau motor. Semuanya adalah toko-toko kecil. Tak ada yang terlihat besar atau mewah, meskipun beberapa rumah berlantai dua.
Bersama Niang, Thie mengelola toko sembako di lantai bawah. Thie mengelola toko itu sejak lama, dan katanya, toko sembako itu sudah ada sejak Yeye masih muda. Aku percaya. Aku bisa melihatnya pada potret yang tergantung di dinding lantai bawah. Sebuah potret tua hitam-putih, yang memperlihatkan rumah beratap lengkung—dengan balkon dan sayap atap di kiri-kanan. Ada pilar-pilar besar, jendela-jendela serta pintu kayu besar. Tetapi tanah di samping dan belakang rumah itu kosong. Tidak seperti sekarang, di mana rumah-rumah saling berhimpit.
Kata Thie, Yeye yang membuka toko sembako itu. Yeye mewarisi rumah ini dari ayah Yeye, seorang tuan tanah pada masanya. Dulu, kata Thie, keluarga ini terpandang dan kaya-raya. Lalu situasi berubah. Perlahan-lahan ayah Yeye mulai kehilangan satu-persatu petak tanahnya. Akhirnya tinggal menyisakan rumah ini. Dengan sisa kekayaan yang ada, Yeye lalu membuka toko sembako di lantai bawah. Pada waktu itu toko sembako Yeye adalah satu-satunya toko sembako di sepanjang jalan ini. Pelanggannya sangat banyak. Keluarga ini bisa hidup layak, meski tak bisa semewah waktu ayah Yeye masih menjadi tuan tanah. Lalu situasi kembali berubah. Suatu malam toko sembako Yeye dibakar oleh orang-orang yang mengamuk.
Rumah ini memang tidak hangus terbakar. Tapi toko sembako Yeye ludes tanpa sisa. Secara bertahap, Yeye memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat pembakaran itu. Karena tak cukup biaya, Yeye lalu memasang lembaran-lembaran seng di bagian depan rumah. Selain untuk menutupi sisa-sisa pembakaran, lembaran-lembaran seng yang dipasang menegak itu juga untuk menempelkan nama took—mengikuti contoh toko-toko di kiri-kanannya. Yeye membuka kembali toko sembakonya, meski dalam kondisi yang tak sama lagi.
Situasi memang telah berubah. Waktu terus bergerak. Hidup mulai dirasa makin susah, apalagi saingan-saingan toko sembako Yeye terus bermunculan. Sekarang ini sulit sekali mempertahankan seorang pelanggan. Akhirnya keuntungan dari toko sembako itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Setelah Yeye meninggal, rumah ini tak diperbaiki lagi. Hanya beberapa kali dicat. Dinding-dinding yang mulai retak—mungkin karena pembakaran dulu itu—hanya ditambal seadanya dan dicat. Akibatnya banyak dinding yang benjol-benjol atau kelihatan menggelombang. Jendela-jendela dan pintu kayu yang besar itu tak pernah lagi diplitur, hingga tampak kusam atau malah menghitam.
THIE DAN NIANG kerap bercakap-cakap di kamar ini. Itu dilakukan setelah mereka menutup toko sembako di lantai bawah. Mereka bercakap-cakap sambil menyuapiku, dan mereka terus bercakap sampai larut malam. Thie dan Niang baru kembali ke kamar mereka setelah membaringkanku di tempat tidur.
Banyak yang mereka percakapkan. Akhir-akhir ini mereka mengeluh tentang usaha sembako yang makin sulit. Harga-harga terus melonjak. Para pelanggan makin jarang yang datang. Selain itu, kata Thie, harga-harga juga berubah dengan cepat. Pernah dalam satu hari, harga-harga berubah tiga kali. Akibatnya, uang yang didapat tak dapat lagi dipakai untuk berbelanja. Mereka juga tak bisa berhutang pada para pemasok, karena sekarang apa-apa harus dibayar tunai.
Tetapi Thie dan Niang paling sering mempercakapkan diriku. Putri kita cantik, kata Thie, tapi keadaannya seperti itu. Karma apa yang sedang menimpa keluarga ini, Niang mengeluh, sampai putri kita bernasib seperti itu. Waktu kecil ia anak yang periang, kata Thie, tapi ia tak bisa bersekolah. Penyakitnya makin parah, kata Niang, lihat ia bahkan tak menengok waktu dipanggil. Thie menggeleng, kita sudah membawanya ke banyak tabib, tapi tak ada gunanya. Niang mengeluh lagi, umurnya mendekati tiga puluh, apakah ada laki-laki yang akan menyuntingnya. Thie mendesah, siapa yang akan merawatnya setelah kita tua, siapa yang akan menjaga kita.
Aku mendengar semua percakapan itu, meski aku menatap ke dinding yang kosong. Dan aku menjawab, meski hanya dalam kepalaku. Tidak, Niang, aku baik-baik saja. Tak ada karma yang sedang menimpa keluarga ini. Aku memang tak suka bersekolah, karena di sana sangat membosankan. Tak ada dewa-dewi. Tak ada para kesatria dan tuan putri, seperti dalam dongeng-dongeng Niang waktu aku kecil. Kalau aku lebih banyak diam, itu karena yang muncul di kepalaku lebih menarik, dan aku tak suka kalian menggangguku. Di kepalaku ada burung chachatatutu yang menancapkan panah rumput ke mata ular yang rakus. Ada Hailibu yang bisa bercakap-cakap dalam bahasa hewan. Ada kura-kura menggigit sebatang kayu dan diterbangkan oleh dua ekor bangau. Ada Pangeran Kodok menyemburkan api dari mulutnya untuk mengusir kawanan penjahat. Tidak, Thie. Tidak, Niang. Aku akan menjadi anak yang berbakti. Aku akan menjaga kalian. Percayalah! Aku pasti seperti Jidi yang menjelma jadi jangkrik untuk menyelamatkan ayahnya dari hukuman mati. Kalau perlu aku akan meminta bantuan Ma Liang. Dengan kuas ajaibnya, Ma Liang akan menyulap rumah dan mobil untuk kalian. Bahkan bertumpuk-tumpuk emas! Bukankah Ma Liang selalu menolong orang yang kesusahan?
Soal jodoh, Niang tak perlu khawatir. Aku selalu merasa diriku adalah titisan Chang E. Itu berarti ada Hou Yi di luar sana yang menungguku. Kesatria Hou Yi yang telah memanah jatuh sembilan matahari, dan ia sedang mengejar satu matahari yang kabur. Hou Yi tak akan memanahnya, tapi matahari itu terlanjur ketakutan. Hou Yi sudah menjelajah hutan-hutan, gunung-gunung bersalju, kuil-kuil bergenting emas, dan padang rumput yang luas. Ia kesatria gagah berani dan sudah memenangi banyak pertempuran. Hou Yi akan datang melamarku—dengan sepasukan pengawal, bendera-bendera kebesaran, dan suara genderang yang gaduh. Seperti dulu, Niang! Bahkan pasukan pengawalnya pun berpakaian indah dilapisi emas….
HARI INI HARI KAMIS. Aku mendengar suara genderang dari jalan kecil di depan rumah. Makin lama makin keras. Itu suara genderang atau pintu kayu dipukul-pukul? Lalu aku mendengar orang-orang berteriak. Itu teriakan marah atau teriakan takjub? Lalu aku mendengar Niang menjerit. Niang menjerit kaget atau menjerit gembira? Lalu aku mendengar suara Thie. Thie sedang memohon-mohon atau memuji-muji? Lalu aku mendengar suara kaki-kaki menaiki tangga kayu. Ah, apakah Hou Yi sudah datang? Itu pasti suara pasukan pengawalnya sedang menaiki tangga. Lalu pintu kamarku didobrak. Hei, kenapa pasukan pengawal ini berpakaian compang-camping dan kotor? Bukankah pasukan Hou Yi berpakaian indah dilapisi emas? Apakah mereka baru pulang dari pertempuran? Lalu seseorang menarik rambutku. Kenapa orang-orang ini kasar sekali….
Hari ini tanggal 14 Mei 1998.
Namaku Fenghuang. (*)
Catatan:
Fenghuang burung feniks, Niang ibu, Thie ayah, Yeye kakek.
Wendoko menulis puisi dan cerita. Buku puisi terbarunya adalah Jazz! (2012). Sebagian puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dengan judul Selected Poems (2010).
Leave a Reply