Aku sebenarnya tidak ingin membawamu setiap hari tamasya ke dunia ini. Tapi ke mana lagi. Tak ada tempat lain bagiku. Dongeng-dongeng indah yang menawan sudah habis dan kau menolak variasi apa pun, apalagi pengulangan. Ingatanmu kuat, hingga tak bisa kusiasati. Sejak tamat riwayat cerita-cerita, kau selalu saja mengajak bermain ke tempat-tempat baru. Kamar dan rumah tak pernah bisa membuatmu betah.
Setiap pagi, usai kau mandi, berpakaian, dan makan. Usai ibumu berdandan dan berangkat ke kantornya. Kau tahu, ibumu seorang pekerja keras dan pantang menyerah. Mirip denganmu, yang setiap pagi selalu punya cara untuk membujukku bermain ke tempat yang kau inginkan.
Mula-mula kau akan menarik-narik ujung celanaku, lalu mendaki kakiku, bernyanyi-nyanyi di pangkuanku, lancang menjambak rambut sambil memanjat ke pundak.
“Main lagi, main lagi. Orang-orang berkepala ayah! Orang-orang berkepala ayah!” bisikmu dengan irama yang jenaka.
“Tapi jangan bilang-bilang ibu.” Selalu begitu pintaku sebelum meluluskan permohonanmu. Kau akan mengangguk lucu, kau tahu anggukanmu itu adalah kunci untuk membuka pintu rahasia yang terletak di samping kepalaku.
Kau tetap di pundakku saat aku menunduk memasuki pintu, dan berjalan bebek sepanjang lorong. Dulu, pertama kuajak kau tamasya ke sini, tanganmu erat menjambak rambut. Tegang. Bisa kurasakan dari jepitan pahamu di leher serta gerak tumitmu yang menghantam-hantam dada.
Lorong ini tidak benar-benar panjang, hanya saja remang berliku dan menurun. Lantas meluncur. Nah, saat meluncur inilah keteganganmu mencair. Kau memekik riang. Tubuhmu mengentak-entak gembira. Pendar cahaya jamur yang bertebaran seperti sarang kunang-kunang mungkin membuatmu senang.
“Ayah, kita mau ke mana?” teriakmu saat itu.
“Tamasya.” Balasku ikut gembira.
“Ke mana?”
“Dunia bawah tanah.”
“Bukan tanah dongeng, kan?”
“Bukan!”
“Terus tanah mana, dong?”
“Tanah di dalam kepala ayah.”
Kau tertawa tergelak. Manis. Bernyanyi-nyanyi. Sementara aku meluncur semakin cepat, kemudian mendarat tepat di tengah sebuah kota. Aku memanggilnya Kota Pernia. Rumah-rumahnya bergoyang seperti ada per yang ditanam di fondasi-fondasinya. Begitu pula pohon-pohonnya, seakan-akan akarnya melingkar serupa pegas. Segalanya bergoyang seperti hendak berhamburan begitu saja. Jalanan, rumah-rumah, pohon, dan langit.
“Kenapa ada langit, Ayah? Lucu, langitnya seperti menari!” Kau bergulingan di atas jalanan yang bergerak seperti gelombang. Bulat matamu seperti meloncat saat terbaring memandang ke langit ungu.
“Apa saja ada di sini. Dan tak pernah sama dengan dunia di atas.” Jawabku sambil ikut terbaring. Bergulingan. Aku dan kamu terus bergerak dan bergoyang seperti juga Kota Pernia yang terus bergoyang dan bergerak. Hidup.
Kau begitu riang. Matamu takjub menatap setiap lekuk kota yang bergoyang. Berlari dan melompat-lompat. Menari berputar-putar.
“Kenapa kota ini terus menari, Ayah?” tawamu bertebaran. Kau berlari lagi mengejar tawa dan kata-kata yang beterbangan seperti capung, kupu-kupu, burung. Warna-warni. Di kota ini memang segala suara yang keluar dari mulut akan mewujud dan hidup.
“Karena ada lagu yang tak terdengar dan tak terlihat di sini. Seperti denyut jantung di tubuhmu.” Jawabku sambil menggenggam tanganmu. Dan mengajakmu berjalan sepanjang jalan yang bergoyang. Rumah-rumah yang hidup.
Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu indah dan memesona di rautmu. Wajahmu yang mirip wajah ibumu itu, memancarkan cahaya. Tatapmu bersinar di hadapan keajaiban.
“Ayah sejak kapan suka ke sini?”
“Sejak seusiamu.”
“Diajak kakek?”
“Tidak, sayang. Ayah berjalan sendiri.”
“Kok bisa?”
“Kan, ada dalam kepala ayah.”
“Ibu pernah diajak ke sini?”
“Tidak.”
“Kapan-kapan mesti diajak. Asyik. Ini ajaib.”
“Ssst, jangan pernah bilang ke ibu?”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan.”
Kau terkikik digelitik kata-kata yang berseliweran, menyambar nakal dan centil. Kata dan tawa beterbangan, sebagian melesat memasuki pintu dan jendela yang terbuka, sebagian hinggap di pohon-pohon.
“Mereka bikin sarang!” Kau melonjak di hadapan liuk sebuah pohon sambil menunjuk kata-kata yang memungut daun dan menyusunnya di atas dahan.
Aku menarik lembut tubuhmu, bersembunyi ke belakang pohon. Berbisik agar kau melihat ke arah jalan dan rumah-rumah yang terus bergoyang.
Kata-kata, tawa, dan nyanyian masih beterbangan. Meliuk-liuk di udara.
“Lihat!” ucapku memberi aba-aba.
Kau tiba-tiba melotot dan membekap mulut sendiri. Terkejut dan takjub. Kakimu mengentak-entak riang. Seperti menemukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan.
Kau terus melotot ke arah pintu-pintu dan jendela, di mana muncul orang-orang yang berjalan melompat-lompat. Orang-orang berhamburan dari setiap rumah, mengejar kata-kata yang terus mengepak nakal seperti ingin ditangkap. Orang-orang aneh. Sebagian lehernya begitu kecil dan panjang, hingga mirip benang, dan kepalanya mirip balon, melayang ringan di udara. Sebagian lagi menenteng kepalanya masing-masing, seperti menenteng kantong untuk tempat menyimpan hasil tangkapan.
Hewan-hewan berdatangan dari berbagai arah. Hewan-hewan dengan posisi kepala yang juga aneh. Kepala mereka bentuknya sama. Hewan apa pun kepalanya sama.
“Mereka menari, mereka menari!” kau memekik, lantas menangkap kembali kata-kata yang hendak terbang, digenggam dan dielus. Disembunyikan ke dalam kantong celananya. Seakan sayang jika mereka tertangkap orang-orang yang memenuhi dan menari di jalanan.
Kau menunduk dan mengajakku mengendap. Mendekati mereka.
“Kau takut?” tanyaku.
Kau menggeleng, “Mereka lucu! Apakah mereka jahat?”
“Tidak. Mereka hanya sunyi!”
“Apa itu?”
“Ya itu, tuh. Menari tanpa musik.”
Kau lagi-lagi tersenyum. Diam-diam meniru gerak mereka yang bergoyang dengan irama yang berbeda-beda. Ada yang lambat, ada pula yang cepat. Seakan-akan mereka mengikuti sebuah alunan musik, padahal di Kota Pernia yang ada hanya sunyi. Tak ada suara-suara terdengar.
Semakin dekat. Berlindung di sebuah tembok sebuah rumah. Kau menjulurkan kepala agar lebih jelas memandang. Kau tiba-tiba berbalik dan menoleh ke arahku. Aku khawatir aku akan menjerit, panik, dan histeris. Tapi kau, kau malah tergelak. Terpingkal-pingkal. Sampai terbungkuk-bungkuk.
Tawa berhamburan.
“Ada banyak Ayah di sana. Mereka semua adalah Ayah. Ini kota Ayah. Semuanya Ayah. Hewan-hewan juga berkepala Ayah.” Kau bersorak. Melompat ke arah pelukanku. Memeluk dan menciumi. Kemudian dengan penuh semangat menyeretku untuk berjalan ke arah mereka yang terus berburu kata.
Kupikir kau akan lekas mengajak pulang. Namun ternyata kau malah asyik menari-nari dengan mereka keliling kota. Sesekali kau sengaja bernyanyi, hingga nyanyian marak beterbangan di udara. Warna-warni. Sengaja agar mereka yang kepalanya persis dengan kepalaku itu berlarian mengejar dan memburu.
“Kenapa mereka tak bicara, Ayah?”
“Mereka tak punya kata-kata.”
“Oh, akan kuberi mereka kata-kataaa!”
“Jangan banyak-banyak nanti mereka rebutan terus berkelahi.”
“Tidak, dong, mereka baik, kok. Lucu dan kocak.”
“Kocak?”
“Ya. Kocak mirip Ayah. Kenapa mereka semuanya mirip Ayah.”
“Mereka memang Ayah, kok!”
“Dasar tukang ngarang. Kata ibu, pengarang itu suka ngibul.”
“Tapi senang, kan, di sini?”
“Senaaaang. Ayah punya rumah tidak di sini?”
“Kenapa memang?”
“Nanti kita berlibur di sini. Aku akan mendongeng buat mereka. Kasihan sekali, mereka kurang piknik.”
Untuk menghindari antusiasmu aku mengajakmu berkunjung ke setiap rumah. Rumah yang hidup, seperti mempunyai mata, hidung, mulut, dan telinga. Rumah yang bentuknya juga mirip kepalaku. Kau bermain dengan mereka tak puas-puas. Kau mendongeng berkeliling. Kata-kata tak habis-habis dari mulut mungilmu. Hingga selalu mesti kupaksa untuk pulang. Tentu saja, aku tak ingin kau masuk terperosok ke dalam lorong-lorong yang tersembunyi di banyak tempat di Kota Pernia. Lorong yang akan membawamu ke gua-gua paling kelam. Tempat-tempat yang kurahasiakan darimu. Selamanya.
Kau selalu terus berceloteh sepanjang perjalanan pulang yang cukup berat. Kau di atas pundakku. Merengek-rengek agar setiap pagi datang lagi dan lagi ke Kota Pernia. Kota yang segalanya bergoyang. Segalanya hidup.
Di mulut lorong tempat kita datang, sudah menunggu sulur-sulur yang meliuk. Aku memanjat seperti melayang, kau mengepak-kepak tangan seperti burung. Riang kau bernyanyi melebihi keriangan setelah kau bermain di alun-alun atau kolam renang atau taman bermain atau dongeng-dongeng.
Sampai kembali di kamarku. Kau tetap di pundak. Mengacak-acak rambut seperti mencari pintu rahasia. Sesekali mengetuk-ngetuk kepalaku.
“Kepala yang aneh tapi ajaib!” bisikmu sebelum turun ke pangkuan dan merosot ke kaki. Lantas kau akan mengambil buku-buku dan belajar membaca, seperti pesan dari ibumu, untuk belajar di rumah semenjak kau tak betah sekolah di taman kanak-kanak.
Siang hari kau ganti asyik dengan teman-temanmu yang datang mengajak bermain hingga ibumu pulang bekerja. “Main apa saja tadi pagi sama Ayah?” selalu begitu terdengar suara merdu ibumu.
“Kania belajar terus, Bu. Bentar lagi, kan, masuk SD. Ayah kerjanya cuma mengarang, tak mau mengajak bermain. Marah-marah kalau didekati.” Jawabmu dengan suara manja, sesekali sambil mengintip ke dalam kamarku.
Aku mengedipkan mata sambil berdebar dan bergetar menatap matamu yang menggoda. Jangan-jangan, suatu saat, kau akan bercerita tentang Kota Pernia pada ibumu. Kau menghilang dari pintu kamar. Barangkali masuk dalam peluk ibumu. Perempuan yang kita cintai. Selamanya. ***
Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Salah satu cerpennya pernah masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun 2011. Buku yang telah terbit Himpunan Cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), Kumpulan Puisi Tamasya Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.
Leave a Reply