Cerpen, Koran Tempo, Romi Zarman

Jam

Jam - Cerpen Romi Zarman

Jam ilustrasi Yuyun Nurrachman/Koran Tempo

2.5
(2)

Cerpen Romi Zarman (Koran Tempo, 07 Februari 2010)

RUANG tunggu itu berdinding putih. Dua foto tergantung dengan gambar Garuda di atasnya. Seperti di kantor lain, dua foto yang dipisahkan oleh gambar Garuda itu tersenyum ke arah saya. Hening. Tak ada suara. Saya alihkan pandang ke arah Pak Tua. Saya lihat ia, duduk menghadap ke arah dinding kaca. Lalu, dengan pura-pura bergumam, saya berkata, “Sofa yang empuk.”

“Ya, empuk,” jawab Pak Tua.

“Tapi lebih empuk lagi yang di dalam sana.”

“Maksud Anda?”

“Pak Kepala.”

Saya tersenyum, ucapan saya membuat Pak Tua jadi bertanya. Sengaja saya lakukan untuk membuka pembicaraan. Padahal seperti Pak Tua, saya juga menunggu kedatangan Pak Kepala.

“Oh, Pak Kepala?” kata Pak Tua, “Sampai sekarang ia belum juga tiba.”

“Kata sekretarisnya, ia terkurung hujan di luar sana.”

“Benarkah?” Saya menggangguk pelan. Pak Tua kembali melanjutkan ucapan, “Kemarin juga demikian.Walau hari tak hujan, ia tetap tak datang.”

Saya diam. Hendak saya lanjutkan ucapan. Akan tetapi, ketika saya menyadari bahwa ternyata Pak Tua sudah menunggu sejak hari kemarin, maka saat itulah saya baru menyadari bahwa pastilah keperluan Pak Tua lebih penting ketimbang saya.

Saya perhatikan ia. Demikian sabarkah ia menunggu kedatangan Pak Kepala? Ah, saya tak yakin. Pasti ada keperluan mendesak yang membuat ia harus menunggu kedatangan Pak Kepala. Akan tetapi, keperluan apakah?

Saya lemparkan pandang, ke dinding kaca. Hujan lebat di luar sana, seperti tak mau reda. Saya gerakkan tangan.

Saya lirik jam di pergelangan. Pak Tua mengikuti sorot mata saya. Sekilas, saya lihat ia terpana, terpaku ke jam tangan saya.

Baca juga  Hari-hari Menjelang Kutukan Pak Haji Umar

“Ada apa?”

“Oh, tak ada apa-apa.” Pak Tua mengangkat wajah, “Maaf. Melihat jam tangan Anda, saya jadi teringat pada sesuatu.”

“Bolehkah saya tahu?”

“Tentu,” Pak Tua menjawab pasti, “Saya hanya teringat pada masa saya dulu: tak ada jam tangan, hanya jam pegang.”

“Jam pegang?”

“Ya.”

“Adakah serupa dengan jam zaman sekarang?”

“Ada,” ucap Pak Tua, “Tapi tidak untuk dilekatkan ke pergelangan. Ia hanya dipegang. Hanya bila hendak melihat jam, maka ia akan dikeluarkan dari simpanan. Tidak semua orang bisa memandang.”

“Tidakkah bila dipajang maka semua orang bisa memandang?”

“Memang. Tapi itu jam hanya milik perorangan, tidak untuk dipajang.”

Saya tolehkan pandang. Hendak saya tanyakan: tidakkah itu jam bisa dimiliki setiap orang? Akan tetapi, sebelum sempat saya lontarkan itu pertanyaan, tiba-tiba saja Pak Tua bagai bisa membaca pikiran saya, dan berkata, “Tidak. Karena ia hanya bisa dimiliki sebagian kalangan.”

“Sebagian kalangan?”

“Ya,” kata Pak Tua, “Hanya kalangan tertentu saja yang bisa memilikinya.”

“Seperti Anda?”

“Bukan.”

“Lantas?”

“Seperti orang Cina,” katanya.

“Orang Cina?” Saya penasaran. Zaman apakah yang dimaksud oleh Pak Tua? Adakah jam pegang yang dimaksudnya adalah arloji yang sering dimiliki oleh orang-orang kaya di zaman perang kemerdekaan? Maka, saya mulai menyimpulkan, bahwa kedatangan Pak Tua mungkin karena hendak mengurus tunjangan seorang veteran. Akan tetapi, saya ingin membuktikan. Saya tanyakan, “Di zaman Anda, bila Anda hendak melihat jam, bagaimanakah caranya?”

“Maka saya akan membuatnya.”

“Membuatnya?” Saya pura-pura heran.

“Ya.”

“Caranya?”

“Anda hanya perlu berdiri di bawah matahari. Lalu buatlah sebuah lingkaran dengan tubuh Anda sebagai titik pusatnya. Perhatikan ke mana bayang-bayang Anda jatuh. Bila ia jatuh ke arah angka dua, maka itu artinya hari sudah menunjukan pukul dua. Dan Anda harus bergegas ke pekerjaan semula.”

Baca juga  Argo Senja

“Adakah syarat lainnya?”

“Ada.”

“Apa?”

“Anda harus bisa memperkirakan letak antar-angka seperti yang tertera di jam Anda. Bila Anda tak bisa memperkirakan, maka jangan harap Anda akan bisa membuat jam.”

“Tidakkah itu sulit dilakukan?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena Anda hanya perlu menandakan.”

“Maksud Anda?”

“Bayang-bayang.”

“Bayang-bayang?”

“Ya,” jawab Pak Tua.

“Adakah ia serupa dengan jarum jam zaman sekarang?”

“Ada.”

“Bedanya?”

“Bila jarum jam di zaman sekarang terbuat dari logam, maka jarum jam di zaman saya tercipta dari bayang-bayang.”

“Tidakkah itu menunjukkan persamaan?”

“Memang.Tapi bila jarum jam di zaman sekarang bisa patah karena entah oleh apa, maka ia tak akan bisa dipergunakan lagi. Akan tetapi, bila jarum jam di zaman saya bisa hilang karena hari sedang mendung atau hujan sedang turun, maka saya masih bisa mempergunakannya.”

“Caranya?”

“Saya hanya perlu menunggu matahari.”

“Menunggu matahari?”

Saya tolehkan pandang, ke luar sana. Tak ada matahari. Pak Kepala belum juga datang. Seperti kata sekretarisnya, Pak Kepala terkurung hujan di luar sana. Akan tetapi, sampai kapankah? Saya jadi bertanya-tanya, adakah menunggu Pak Kepala sama dengan menunggu kedatangan matahari?

“Ya,” jawab Pak Tua.

“Seperti hari ini?”

“Pasti.”

“Bukankah ia belum menampakan diri?”

“Memang.Tapi yang dibutuhkan hanya sedikit kesabaran.”

“Sampai kapan?”

“Sampai ia kembali datang.”

“Tidakkah membosankan?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena saya sudah membiasakan diri.”

“Membiasakan diri?”

“Ya.”

Saya heran. Bukan karena tak menyangka atas apa yang telah saya bayangkan. Akan tetapi, setelah saya tanyakan: kenapa ia bisa membiasakan diri, Pak Tua malah menjawabnya dengan berkata, “Karena saya adalah jam itu sendiri.”

Hendak saya tolehkan pandang. Tapi sebelum sempat hal itu saya lakukan, tiba-tiba saja Pak Tua sudah menoleh ke sebelah kiri. Menatap jauh ke dalam diri. ***

Baca juga  Hadjar

.

.

Padang, 30 Juli 2009

Romi Zarman lahir di Padang, Sumatera Barat, 15 Februari 1984. Bergiat pada kelompok Kopi Daun di kota kelahirannya.

Loading

Average rating 2.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!