Cerpen Linda Christanty (Koran Tempo, 21 Februari 2010)
DIA tidak memakai sari, melainkan gaun pendek kuning cerah. Malam itu dia menyajikan makanan untuk kita. Di meja bulat di dapur kini tersaji berjenis-jenis masakan yang tidak pernah hadir sebelumnya. Dia sibuk mengurai bumbu-bumbu apa saja yang terkandung dalam kari itu, misalnya, dan menyatakan telah menghabiskan waktu sehari penuh untuk menyiapkan makan malam hari ini.
Dia benar-benar mengharap pujian, sedang aku tidak ingin berbasa-basi. Karinya terasa hambar di lidahku, tapi aku tidak dapat menjelaskan bumbu apa yang kurang atau berlebih. Aku tidak pandai memasak, sehingga tidak begitu paham tabiat bumbu-bumbu itu. Aku hanya bisa membedakan rasa: pedas, manis, asin, pahit, asam. Seperti perpaduan rasa kehidupan kita. Hanya sekali aku memasak untukmu, nasi goreng udang itu, dan aku sendiri yang menghabiskannya. Selebihnya kamu selalu memasak untukku, setiap hari. Sarapan, makan siang, makan malam. Panekuk kentang, spaghetti, semur, salmon steak, tumis brokoli.
Tak berapa lama dia bercerita di mana kalian bertemu pertama kali. Suatu sore di pantai, seorang lelaki paruh baya membentang sehelai kain di atas pasir, lalu melambai padanya untuk duduk bersama-sama melihat laut. Dia mendekat, karena baru saja bertengkar dengan lelaki yang mengajaknya melancong ke pantai itu. Karena kamu begitu baik dan langsung menawarinya menginap di hotel yang nyaman dan juga membayari tiket pulangnya, dia tidak berpikir lama untuk melarikan diri dari teman kencannya, anak muda yang cepat naik pitam dan menyediakan tempat tidur reyot di pondok kayu yang nyaris terjungkal dari tebing curam. Aku tersenyum mendengar ceritanya, sedang kamu tampak gugup dan tiap sebentar meneguk air dari gelas, hingga tandas.
Terakhir kali kita bersama ke pantai akhir tahun lalu. Kamu menyongsong ombak dengan papan selancarmu, sedang aku berdiri di pantai sambil menilik-nilik ke arah laut yang seakan siap tumpah ke sini. Lidah ombak menjulat, lalu terkulai. Di atasnya kamu terayun, lalu terhempas. Setelah itu di atas pasir hangat, kubentang handuk besar, lalu terlentang seperti hiu mati.
Sekali waktu kamu mengajakku mengintip ikan-ikan dan karang dekat pantai itu. Aku tidak perlu menyelam, melainkan merunduk ke dalam air dengan pipa oksigen mencuat ke udara terbuka. Namun, aku lebih suka terbungkuk-bungkuk di pantai mencari kulit kerang atau bintang laut.
Setelah makan malam, dia menumpuk semua piring kotor di bak cucian. Sisa makanan di piring tidak dibuangnya ke tempat sampah. Kita selalu membuang seluruh sisa makanan ke tong sampah, lalu mencuci semua peralatan dapur setelah makan. Kita tidak ingin semut, kecoak, atau tikus berkerumun di dapur ini bagai tamu-tamu sebuah pesta.
Dia menarik lenganmu, mengajakmu buru-buru masuk kamar. Kamu terseret-seret macam anak kecil merajuk. Tidak kudengar suara air kran mengucur di wastafel, yang menandakan kamu menyikat gigi sebelum tidur seperti kebiasaan kita di rumah ini. Dia juga tidak menyikat giginya, tidur dengan kerak kari, serpih sayur, dan serat ayam di sela-sela gusi.
Di pagi hari kamu tidak lagi menyiapkan sarapan. Dia memasak kue dadar manis untuk kita, menyusun irisan pisang dan menabur keju parut di atasnya. Dia masih mengenakan gaun pendek kuning itu, tidak menggantinya dengan pakaian rumah. Tapi aku merindukan sarapan kita sebelum ini: roti gandum, telur dadar atau mata sapi, dan daging sapi atau kalkun asin.
Kita pun duduk mengeliling meja bulat itu. Wajahmu tampak cemas. Dia terus mengoceh tentang apa saja, termasuk ingin cepat-cepat menikah denganmu dan mempunyai satu saja anak yang lucu. Namun, kamu langsung menyela ucapannya. Kamu tidak ingin menikah apalagi punya anak. Dia memberengut sebentar, lalu meraih tanganmu dan berkata bahwa dia akan sabar menunggu saat yang tepat. Wajahmu memucat. Aku tersedak.
Kita menonton siaran berita pagi di televisi, duduk berdampingan di sofa itu. Dia pergi ke kamar mandi. Kamu berbisik-bisik menanyakan apakah aku tidak apa-apa. Tentu saja aku baik-baik saja. Aku tidak sedih seperti yang kamu bayangkan. Kamu mengangguk-angguk, lalu berkata bahwa sejak tahun lalu kita memang sudah sendiri-sendiri. Kita tidak lagi tidur bersama. Aku membaca dan menulis sepanjang hari, sedang kamu pergi ke kantor, memasak, dan menghabiskan waktu senggang sendiri. Hubungan menahun membuat jemu, tapi tidak semua orang berani berpisah hanya dengan alasan itu. Anehnya, kita juga merasa ada ikatan yang lebih dalam dari apa yang tampak. Kita akan selalu seperti ini, bersama-sama, katamu. Selamanya? Ya, selamanya. Kamu menatapku, berkaca-kaca.
Dia bersenandung riang di dapur. Menyiapkan bahan-bahan masakan untuk makan siang nanti. Kamu tidak suka perempuan menghabiskan waktu mereka di dapur. Kamu tidak menginginkan perempuan yang mengurus rumah sepanjang hari. Katamu, perempuan semacam itu sama sekali tidak seksi. Karena itu, kamu memasak untuk kita, agar aku selalu seksi, kataku. Kamu tertawa keras. Dia berseru dari dapur. “Ada yang lucu?” Kita serempak menjawab: tidak ada. Kamu lalu memintanya bergabung menonton berita dengan kita. Kamu juga tidak senang dia menghabiskan waktu di dapur. Dia sama sekali bukan koki atau jongos. Namun, dia menyahut tidak suka politik dan urusan negara. Teroris dan polisi juga menakutkannya.
Dalam dua bulan, dia sudah empat kali menginap di rumah kita dan selalu memasak. Suatu kali, saat kamu masih di kantor dan aku pulang ke rumah lebih awal, dia mengeluarkan sehelai potret dari dompetnya. Potretnya dengan seorang pria. Mereka mengenakan pakaian pengantin, berdampingan di muka gereja yang lebih mirip kuil Hindu dengan patung Isa yang lebih menyerupai tokoh-tokoh Mahabharata, Rama atau Krishna.
Dia bercerita tentang suaminya yang meninggalkannya berbulan-bulan, tidak memberi uang belanja, dan bahkan menangis tersedu-sedu di subuh hari teringat salah seorang pacarnya, perempuan gemuk dengan pipi-pipi tembam kemerahan. “Saya sangat mencintainya, meski dia gemuk,” tutur suami kurang ajar itu, seraya sesegukan dan memeluk bantal mungil pemberian sang pacar.
Dia lantas harus menghibur lelaki tersebut dan menyembuhkan luka patah hatinya yang parah dengan menahan luka hati sendiri. Dia ingin mengakhiri pernikahan mereka, tapi pastor bersikeras menyatukan pasangan ini kembali. Kusarankan dia melarikan diri. Suaminya koki di kapal pesiar. Namun aku tidak percaya. Lelaki itu berambut panjang sepinggang dengan tato di sekujur badan. Suamimu lebih pantas berdagang obat bius, kataku. Dia terpingkal-pingkal.
Dia merasa beruntung bertemu denganmu. Dulu dia harus berpacaran dengan lelaki-lelaki tua untuk sekadar uang jajan. Kamu juga tua, tapi tampan dan menghargai perempuan, katanya. Aku terbahak-bahak. Dia harus menanggung hidup ibu dan empat keponakan. Bekerja sebagai pelayan kafe, tidak mendatangkan cukup uang untuk mengenyangkan perut enam orang dan membiayai sekolah anak-anak itu.
Ketika kamu membuka pintu depan, dia segera melesat dari kursinya untuk menyambutmu dengan ciuman. Kamu malah menghampiriku, merangkulku dan bertanya apa saja yang sudah dilakukan dua perempuan dalam rumah. Dia kembali sibuk menata piring-piring di meja bulat itu, menyiapkan makan malam kita.
Aku kembali ke kamarku, membiarkan kalian bercengkrama. Hatiku senang saat mendengar gelak tawa. Aku juga teringat ceritanya tentang hubungan kita. Kamu menyebutku keponakanmu!
Segalanya tampak berjalan lancar. Kita tetap tinggal bersama dan kamu kini memiliki seseorang. Namun, perubahan yang menyesakkan itu terjadi juga.
Di hari Minggu itu aku bangun pagi-pagi dan mulai mencuci semua piring kotor yang bertumpuk di bak cucian. Dua ekor kecoak merayap-rayap malas dalam panci dan gelas. Mereka kekenyangan.
Kucuran air kran terdengar nyaring dalam rumah yang hening, sehingga kamu tiba-tiba membuka pintu kamarmu dengan mata setengah terpejam dan bertanya dengan nada kesal, “Apa sih yang kamu kerjakan sepagi ini?”
Aku tiba-tiba sedih. Kutinggalkan piring-piring kotor di bak cucian, lalu bergegas ke kamarku dan mengunci diri. Kamu mengetuk pintu kamarku berkali-kali. Karena tidak ingin membangunkan tidurnya, kubuka pintu kamar dan kita langsung berpelukan. Kamu meminta maaf dan berkata bahwa aku boleh melakukan apa saja dalam rumahku sendiri, rumah kita.
Di dapur terdengar seseorang mencuci piring-piring. Air kran kembali mengucur, deras. Kita tetap berpelukan dan tidak pernah merasa sesedih ini. ***
.
.
Februari 2010
Linda Christanty bekerja di Banda Aceh sebagai jurnalis. Buku kumpulan cerita pendeknya Kuda Terbang Maria Pinto (KataKita, 2004).
.
Kesedihan. Kesedihan. Kesedihan. Kesedihan. Kesedihan. Kesedihan. Kesedihan.
Leave a Reply