AM Lilik Agung, Cerpen, Kompas

Empat Babak Cornelia

4
(4)

Babak Pertama

Jumat malam ini, kali ketiga aku datang ke kafé berjuluk “Green & Blue”. Kapal-kapal wisatawan memenuhi riak Sungai Thames. London Bridge dalam sapuan cahaya neon bergantian warna. Sepotong “black forest”, secangkir caffe latte dengan sedikit gula. Begitu aduhai duduk di Green & Blue Café. Itu hanya pelengkap. Hidangan istimewa tetap dia, sesosok wanita berwajah Asia yang selalu membawakan sebuah lagu di panggung kecil pojok kafé.

Jumat ketika aku pertama datang ke sini. Jam sudah merayap ke angka sembilan malam. Ketika aku mau beranjak pergi sehabis mencecap secangkir caffe latte. Dia berjalan ke panggung. Membisikkan kalimat kepada salah satu pemain band. Lalu suara parau dengan lengkingan gitar menyayat terdengar. “Cry Baby”-nya Janis Joplin. Tak jadi aku mengangkat tubuh. Menikmati dia yang penuh perasaan mendendangkan tembang blues yang bertambah muram pada temaram lampu kafe.

Lalu Jumat malam ketika tumpukan pekerjaan mingguan tuntas aku selesaikan. Berjalan menelusuri Sungai Thames. Melewati pasar malam di tepi sungai yang sudah ada sejak abad delapan belas. Menyempil di antara pasar malam dan bangunan jangkung kantor pusat perusahaan minyak; Green & Blue Café. Secangkir caffe latte yang selalu aku pilih. Sepotong choco ring. London Bridge di kejauhan. Lalu berharap si pemilik wajah Asia muncul lagi.

Harapan yang tidak sia-sia. Dia seperti minggu lalu. Naik ke panggung. Meraih mikrofon dan melantunkan sebuah lagu. Kali ini “Diamonds and Rust” milik Joan Baez. Dari sofa, aku ikut mendaraskan lagu itu. Tentu sambil menikmati wajah Asianya yang semakin bersinar ditimpa temaram sorot lampu.

Malam ini sengaja aku duduk pada deretan bangku kedua dari sisi panggung. Roti isi daging tinggal satu irisan. Caffe latte sudah hilang panasnya. Dia naik ke panggung. Berbeda dibanding dua penampilan sebelumnya. Dia memainkan piano. Terdengar lagu jazz ringan “Come Away with Me” dari Norah Jones. Dia memang brilian untuk ukuran pemusik amatir. Suaranya khas walaupun bisa dengan bagus memainkan karakter Janis Joplin atau Norah Jones. Dentingan piano dari tangannya menandakan kalau dia pernah belajar serius memainkan piano.

Selalu satu lagu dibawakannya. Lalu dia kembali ke tempat duduknya. Ada kesempatan, tepat di depan mejanya ada bangku kosong. Beranjak aku ke sana. Bertanya kepadanya dan dia membolehkan aku duduk menemani. Duduk berhadapan, ia sejenak memandang wajahku.

“Asia?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Philippines?” dia melanjutkan.

“Indonesia,” kujawab.

“Indonesiaaa…” dia membuka bibir lebar-lebar. Refleks dia mengangkat tubuh. Menghampiri diriku. Membuka tangan lalu memeluk diriku. Pelukan nan erat lagi hangat.

“Selagi di negeri orang,” dia setengah berbisik. Dan kudiamkan saja ketika pipi kami saling bertemu. “Maaf, aku terlalu posesif apabila bertemu orang Indonesia,” katanya ketika dia sudah duduk kembali. “Untuk merayakan pertemuan perdana ini, kita bersulang. Anggur putih di kafé ini istimewa, Jacobs Creek.” Dia mengangkat tangan memanggil barista. Dua sloki anggur putih, kami bersulang.

Baca juga  Warisan dari Kakek

“Cornelia…” kutebak namanya.

“Kok tahu?” dia bertanya

“Ketika kau naik panggung, vokalis asli home band café selalu menyebut namamu.”

“Lengkapnya Cornelia Wiji Sugondo. Lha, aku ini asli wong ndeso. Asli dari Brosot Kulon Progo,” dia tertawa renyah. “Kau sendiri?”

“Agung Saputra Wijaya. Cukup dipanggil Agung. Mengikuti ritme kerja ayah yang bekerja di perusahaan minyak global. Lahir di Budapest. SD sampai SMP di Kanada. SMA dan kuliah S-1 di Indonesia. Ambil master keuangan di Chicago University. Jadi, aku ini orang mana, ya?” sedikit tersenyum, kutatap dia.

“Ayah dari mana?” balik ia bertanya.

“Trenggalek.”

“Lha, iya, tetap saja kamu seperti diriku. Wong ndeso,” dia tertawa. “Dan kenapa orang Trenggalek bisa sampai London?”

“Selesai ambil master, aku pulang ke Indonesia. Ternyata hanya setahun empat bulan saja di Indonesia. Tiga bulan lalu perusahaan mengutus aku untuk berkantor di London sampai akhir tahun ini.”

“Kau bekerja di mana?”

“Perusahaan investasi global.”

“JP Morgan? Goldman Sachs? Merrill Lynch?Morgan Stanley?” dia menyebut perusahaan-perusahaan investasi global yang mengatur duit di kolong langit ini. Kusebut salah satunya. Beranjak dia mendekat padaku. Menatap baju Lacoste santai yang aku pakai. Memandang celana chino bermerek Hugo Boss yang menutupi kakiku. Lalu berakhir pada sepatu sneaker keluar terbaru Adidas seharga lima gaji buruh per bulan di pabrik pembuat sepatu itu di Tangerang.

“Sekarang perusahaan keuangan global berpenampilan mirip perusahaan berbasis teknologi, ya?” dia selesai menginspeksi penampilanku. “Atau ini bagian dari strategi untuk menggoreng nilai aset perusahaan teknologi yang tidak masuk akal itu?!” Pertemuan perdana yang menarik. Lia—panggilan namanya—sudah membuka arena perdebatan. Aku suka hal ini.

“Jumat baju formal sudah kami tinggalkan. Berganti kasual. Senin sampai Kamis kami mengatur keuangan global. Jumat sedikit santai agar dunia keuangan juga ikut santai. Sabtu istirahat. Minggu mengaku dosa di tempat ibadah. Senin sampai Kamis kembali mengatur lalu lintas investasi lokal dan global,” sengaja kupancing Lia.

“Orang-orang seperti kamu ini berbahaya. Sungguh berbahaya. Kapitalis nan murni nir etika,” Lia meraih gelas anggurnya. Meneguk sekali lalu melanjutkan omongannya, “Menyedot habis sumber daya negara-negara miskin.”

“Justru kami ini yang bertungkus-lumus membagi kesejahteraan global agar terjadi keseimbangan,” aku mengembangkan senyum.

“Jangan berkotbah seperti ini di hadapanku. Walaupun aku orang ndeso, asli Brosot, tapi master keuangan seperti dirimu dari London School of Economic. Dua bulan di sini persiapan ambil doktor,” Lia melirik jam tangannya. “Sudah larut. Apartemenku di Lewisham. Kau sendiri tinggal di mana?”

Baca juga  Bila Lelah

“Roehampton.” Lalu kami berjalan bersandingan. London Bridge kami lewati. Tiga ratus meter kemudian Lia berbelok ke kanan menuju apartemennya. Aku masih lurus, kira-kira dua ratus meter jauhnya.

Babak Kedua

Dari Bandara Adisutjipto Yogya kupesan taksi menuju Brosot. Meninggalkan kota tiga puluh kilometer jaraknya. Jalan kabupaten, bersambung jalan desa. Pada ujung jalan, taksi sudah tidak bisa lewat lagi. Kuteruskan jalan kaki. Hari beranjak gelap. Pematang sawah dengan hiasan kunang-kunang. Ada sungai kecil mengalir. Meniti jembatan sungai. Lampu-lampu neon penanda sebuah kampung. Kantor kelurahan berarsitek rumah Jawa. Ada sebidang tanah lapang di depannya. Bercahaya terang dengan kerumunan orang-orang. Tetabuhan gamelan rancak terdengar. Aku ke sana.

Enam penari laki-laki beraneka umur kakinya menjejak bumi, tangannya berkeliaran menggapai angkasa. Ditingkahi bunyi gamelan yang semakin membahana. Riuh penonton memberi gairah para penari untuk meliuk-liukkan tubuhnya. Tari krumpyung. Ya, tari krumpyung tarian khas daerah ini. Lalu muncul wanita penari. Berkain jarit batik setinggi dada. Ada selendang melilit tubuhnya. Sapuan tipis riasan menghiasi wajah Asianya. Cornelia Wiji Sugondo penari itu. Penonton riuh. Aku terpukau. Tidak menyangka kalau Lia cerdas menari tradisional daerahnya.

Gamelan tetap bertalu. Riuh penonton tetap membahana. Dikepung enam penari pria, Lia luwes menggerakkan tubuhnya. Tangannya piawai memainkan selendangnya. Tiba-tiba saja selendang Lia melilit tubuhku. Penanda aku wajib memasuki arena. Menari bersama Lia. Sungguh kaku kakiku. Tegang tubuhku. Tak bergerak tanganku. Wajah Lia mendekat ke wajahku. Sontak penonton berseru, “Cium. Cium dong.!!” Aku tetap kaku, tegang. Dan benar, Lia mencium keningku. Lalu pipiku. Riuh penonton membahana.

Berjarak dua ratus meter dari kelurahan, rumah orangtua Lia. Ada tumpukan padi di halaman depan. Pintu bercat hijau. Ruang tamu dengan hiasan foto wisuda Lia di London School of Economic.

“Simbok! Mbok-e…” Lia berseru. Memanggil ibunya dengan sebutan “simbok”. Penanda asli orang desa. Wanita berusia sekitar enam puluhan tahun keluar dari bilik dalam.

“Ini temanku. Priayi Jakarta,” Lia mengenalkan diriku kepada simboknya. Kujulurkan tangan. Tangan kasar yang saban hari berjibaku di sawah, menempel tanganku.

“Kamar sudah disiapkan Simbok. Ada di ujung sana,” Lia menunjukkan kamar tidur untukku. Malam itu sengaja jendala kubuka. Kunikmati embusan angin malam. Sawah terbentang. Suara riak sungai. Binatang malam bernyanyi. Ada damai di rumah ini.

Babak Ketiga

Gedung pengadilan niaga di ibu kota Jakarta. Setumpuk dokumen memenuhi tasku. Laptop berisi soft copy berbagai analisis bisnis sudah kupersiapkan secermat mungkin. Hari ini aku mewakili klienku, perusahaan tambang yang akan memperluas konsesi di sebuah wilayah di Jawa Tengah. Di pengadilan niaga aku akan berhadapan dengan masyarakat lokal yang memandang bahwa konsesi tambang akan menghancurkan lingkungan. Sebuah kesimpulan yang terburu-buru menurutku. Hasil kajian lingkungan tidak menemukan apabila tambang beroperasi akan merusak lingkungan. Dampak ekonomi justru jauh melampaui dampak lingkungan.

Baca juga  Menunggu Kelahiran

Duduk di hadapan para hakim. Dengan perjalanan panjang pendidikan terbaik yang pernah aku lakoni. Rekam jejak menangani klien perusahaan multinasional dan lokal besar. Sebuah kewajaran apabila rasa percaya diriku begitu besar menghadapi gugatan masyarakat lokal itu. Namun, semuanya buyar berantakan. Wakil masyarakat lokal itu. Sosok yang membuat logika cintaku tidak bisa dikendalikan; Cornelia Wiji Sugondo. Aku berhadapan dengan Lia.

Pada saat pembacaan gugatan persidangan, Lia sengaja berdiri. Mendekat ke arahku. Menelanjangi wajahku. Aku kelimpungan. Apalagi mendengar rentetan kalimatnya, “Anda itu anak kemarin sore. Tiada paham lingkungan. Tak kenal tanggung jawab sosial. Isi pikiran Anda hanya satu; keuntungan. Teks bisnis paling dasar itu menulis tentang keseimbangan antara modal, keuntungan, lingkungan dan tanggung jawab sosial. Anda layak baca buku dasar-dasar bisnis lagi kelihatannya. Atau master yang Anda peroleh dari Amerika itu berasal dari sekolah bisnis di tikungan jalan?”

Setumpuk dokumen yang memenuhi tasku. Referensi dalam bentuk soft copy di laptopku, menjadi tiada berguna di hadapan Lia. Retorika Lia. Bahasa tubuh Lia ketika mencecar diriku, membuat aku tergagap-gagap. Hari ini aku kalah.

Babak Keempat

Dari lantai dua puluh delapan apartemen. Kutatap taburan cahaya di jantung kota Jakarta. Tugu Selamat Datang dengan air mancurnya. Riuh di jalanan. Senyap di apartemenku. Teh yang aku seduh sudah lama dingin. Tembang-tembang Eric Clapton sekilas mampir di telingaku. Selebihnya aku terkapar. Pengadilan siang tadi membuat runtuh mentalku.

Lalu berderet pesan mampir ke ponselku. Kueja, “Dari jendala apartemenmu terlihat Grand Hyatt Hotel. Di kamar 916 ada sosok yang menunggumu. Anggur Jacobs Creek kesukaanmu sudah disiapkan. Sungguh malam yang terlampau indah untuk dilewatkan sendirian. Lia.”

Segera kukenakan sepatu. Hanya berjarak sepelemparan batu apartemenku dengan Grand Hyatt Hotel. Akan kubalas tindakan Lia tadi siang. Akan kucumbu bibirnya. Kuhabisi tubuhnya. ***

AM Lilik Agung, peserta Kelas Cerpen Kompas 2017. Trainer dan konsultan bisnis yang banyak menulis ulasan kepemimpinan serta manajemen pada berbagai media. Menulis tiga kumpulan cerpen dan satu novel.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!