SORE yang basah. Bau tanah menguap ritmis, menimbulkan aroma kerinduan pada kehidupan kampung masa kecil. Menentramkan. Hujan baru saja reda. Bahkan, airnya masih menetes di beberapa pohon dan genting warga. Suara khas air hujan masih saja terdengar menerpa genting warga, menimbulkan irama kegaduhan air yang sangat dirindu pada musim kemarau.
Hujan turun lagi, kali ini lebih deras dari sebelumnya. Sore yang mestinya masih bersinar menjadi gelap tertimpa gumpalan awan yang menghitam. Ya hujan bulan Februari selalu mendatangkan kerisauan bagi siapa pun. Makin lama hujan kian menderas, apalagi dibarengi dengan angin, tak cukup sepoi-sepoi tapi angin yang menderu kencang.
Tak ada orang yang lalu-lalang di jalan, tak juga ada orang berada di luar rumah. Sepi mengendap. Hanya angin yang lalu-lalang bersirobok menabrak apa pun. terkadang menderu keras, terkadang melambat. Ya, angin yang menyertai hujan akhir-akhir ini memang di luar dugaan warga desa di pinggiran kota kecil ini.
Ketika angin dengan kasar menabrak pohon, rumah, atau apa pun, terdengar jeritan perempuan dan anak-anak yang ketakutan, bahkan beberapa laki-laki dengan tatapan nanar mengikhlaskan suara berserakan di atas genting dan di pucuk-pucuk pohon. Beberapa pohon sengon di kebun dekat rumah meliuk-liuk menari dengan kasarnya.
Suara burung yang biasanya mencicit meramaikan senja di pojok desa sudah menghilang dari tadi. Mungkin burung-burung itu juga sedang gelisah, rumah mereka yang berada di rerimbunan pohon sedikit demi sedikit rusak oleh air dan angin. Anak-anak burung bahkan mulai mencicit ketakutan.
Waktu terus mengalir, perlahan tapi pasti. Malam merambat. Hujan yang disertai angin mulai mereda, berdamai dengan lingkungan. Beberapa daun berserak di jalan dan halaman.
Beberapa ranting pun luruh melemah dalam pelukan bumi. Beberapa warga mulai keluar, bahkan ada yang terdengar mendesah dengan keras menandakan kelegaan yang sangat. Mereka mulai berceloteh menceritakan perasaannya.
“Aku sangat khawatir terhadap hujan dan angin barusan,” suara berat seorang lelaki kudengar dari dalam rumah. Aku bisa menduga itu suara Pak Harno yang rumahnya persis di sebelahku.
“Ya, bahkan istri dan anakku sampai pucat,” timpal Pak Ramin bersemangat. Bau rokok yang dihisap Pak Ramin menerobos sela-sela rumah sehingga menyentuh hidungku. Aku belum juga keluar. Sisa kopi yang masih hangat sayang kalau dibiarkan menjadi dingin. Kuteguk sekali lagi kopi itu. Ada rasa hangat yang tiba-tiba mengalir dalam kerongkonganku.
“Semuanya harus kita syukuri, apa pun yang terjadi. Kita bersyukur lingkungan kita baik-baik saja, tidak ada yang terkena musibah,” suara Pak RT mulai terdengar. Suaranya datar dan berat. Berwibawa. Aku sangat hapal suara itu.
Aku hendak keluar rumah tapi tiba-tiba mataku tertuju pada amplop putih yang terselip di gigir karpet. Tak ada tulisan apa pun dalam amplop itu. Putih polos. Aku penasaran. Tapi aku belum berniat membukanya. Amplop yang ujungnya sedikit basah itu terus saja kuamati.
Tidak kuhiraukan lagi cerita para bapak yang mulai ramai bergunjing tentang hujan dan angin yang baru saja mereda. Aku lebih tertarik pada amplop yang kudapati setelah angin mereda. Aku merasa sebelum hujan dan angin, amplop itu belum teronggok di teras rumah. Akankah angin yang mengirim surat itu ke rumahku? Pertanyaan itu terus menggerus kesadaranku. Berkali-kali.
Sepi mulai menjelma. Sisa-sisa angin masih bertiup menerpa pucuk-pucuk pohon sengon. Desirnya sudah tidak menakutkan lagi. Justru dirindukan. Sejuk. Kubuka amplop putih itu. Ada rasa ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguan yang sejak tadi menghimpit. Hanya ada satu lembar kertas putih dengan tulisan tangan kecil tapi rapi. Ah, aku tercekat. Model tulisan ini kok tidak asing. Tapi dari siapa ya? Kupastikan lagi tulisan itu. Sederet kalimat ditulis rapi meski pada beberapa bagian basah terkena air hujan.
Surat ini kukirim dari surga dan kutitipkan pada angin karena hanya anginlah yang bisa membawa surat ini. Kerinduan itu bagian dari hidup, kerinduan itu yang akan mengekalkan hidup.
Aku tertegun. Kubaca berulang tulisan kecil-kecil tapi rapi itu. Kubalik-balik tidak kutemukan nama pengirim. Aku mencoba menghela napas panjang, siapa tahu bisa menghilangkan rasa penasaranku. Tapi tidak. Rasa itu bahkan kian menggumpal menguasai seluruh persendianku. Ya, rasa rindu selama ini selalu menghantuiku mengalahkan rasa lain yang bersemayam dalam tubuhku. Mendadak aku ingat anakku. Kudekap surat itu meski aku tidak tahu pengirimnya. Aku berharap dalam mimpi malam ini aku bisa bertemu pengirim surat itu.
***
Tiba-tiba aku jadi rindu pada angin, rindu pada sepucuk surat yang dikirim oleh angin. Kunanti setiap siang, sore, bahkan sampai malam. Kutunggu angin menderu di teras rumah. Tak kupedulikan lagi tatapan aneh para tetanggaku ketika aku menunggu angin sampai malam.
“Pak Banu menunggu siapa, malam-malam kok masih di teras?” Pak Harno, orang yang dituakan di desa kami tiba-tiba sudah berada di depanku. Wajahnya serius seperti pertanyaannya. Aku masih diam. Kubiarkan sepi menjadi jeda.
“Menunggu angin,” jawabku berterus terang.
Pak Harno terkejut. Mukanya mengeras.
“Menunggu angin?” lelaki yang rambutnya sudah memutih itu menegaskan pertanyaannya lagi. Heran.
Malam sudah mulai mengalirkan dingin. Jarum jam perlahan bergeser mendekati puncaknya. Beberapa warga sudah mulai mematikan lampu sebagai pertanda memulai tidur. Tapi tidak dengan aku. Aku masih ingin berada di teras rumah. Apa yang kutunggu belum juga datang. Ya seharian ini tumben hujan tidak menderas seperti hari-hari yang lalu, apalagi angin. Tidak ada tanda-tanda angin bermain di pohon-pohon atau di rumah-rumah warga. Aku kecewa.
Ini hari kelima sejak aku menerima surat yang dikirim oleh angin. Selama lima hari itu pula aku menunggu datangnya angin dengan rasa waswas. Namun yang kutunggu tidak juga datang. Aku kecewa, sangat kecewa. Berkali-kali aku mesti memendam rindu pada angin.
Pernah pada hari ketiga hujan deras mengguyur tanah. Aku sumringah. Aku berharap hujan disertai angin, bahkan angin yang sangat kencang. Namun harapanku buyar, angin yang menyertai hujan hanya sepoi-sepoi. Aku menduga, pasti angin tidak akan kuat mengirim surat kepadaku. Berkali-kali kutengok teras. Surat yang kutunggu tidak juga datang. Hanya air yang membasahi teras rumah.
Malam ini aku masih saja di teras. Aku masih saja menunggu angin. Sepi memuncak. Malam kian dingin. Kopi yang menemaniku sudah habis sejak tadi, bahkan aku sudah menyeduhnya untuk yang kedua. Kupandangi gelas yang tinggal ampas kopi itu. Aku belum yakin. Kuangkat gelas yang beberapa bagiannya berlepotan ampas kopi. Ya memang sudah habis.
Rokok kusulut lagi, entah ini sudah yang keberapa. Di bawah kursi, berserakan putung dan abu rokok yang sudah ke mana-mana di terpa angin tipis. Kuhisap rokok dalam-dalam lantas kuhembuskan asap perlahan. Asap itu kemudian bergulung-gulung membubung ke langit mengantar rasa kecewaku.
“Malam-malam begini masih menunggu angin, Pak Banu?” suara berat Pak Harno terdengar lagi. Tampaknya tetangga sebelah rumah ini penasaran karena beberapa hari ini aku selalu duduk di teras sendirian. Aku masih diam. Kubiarkan Pak Harno menunggu jawabanku.
“Ehm be… betul Pak Harno,” jawabku sekenanya. Aku tak ingin berbohong karena memang aku sedang menunggu angin yang akan mengantar surat kepadaku.
“Sudahlan Pak Banu, nanti malah sakit lho,” kata Pak Harno.
“Kulihat beberapa hari ini Pak Banu selalu berada di teras mulai siang sampai malam,” ujarnya lagi. Lelaki pensiunan itu lantas mendekatiku, duduk di sebelahku. Ia mengamatiku lama. Aku merasa tetanggaku ini tengah menyelidik. Aku risi dipandangi seperti itu, makanya aku tak hendak membalas tatapan Pak Harno. Aku lebih suka memanadangi pucuk-pucuk pohon sengon di kebun seberang rumah sambil berharap pohon itu meliuk-liuk karena datang angin yang besar.
“Kenapa angin mesti ditunggu?” tanya Pak Harno mengagetkanku. Ah, tampaknya tetanggaku ini penasaran sekali. Ia menggeser kursi agar lebih dekat.
“Karena angin yang akan mengantar surat kepadaku dari seseorang,” jawabku serius. Pak Harno kelihatan kaget dengan jawabanku. Ia juga kaget mendengar intonasi jawabanku yang mengeras.
“Memang angin bisa mengantar surat?”
“Lha ini buktinya!” sambil kuperlihatkan amplop putih yang di dalamnya ada surat dari seseorang.
“Surat dari siapa?”
Aku menggeleng. Pak Harno lantas mengernyitkan dahinya.
“Aku sangat hafal bentuk tulisan itu, kecil-kecil dan rapi tapi aku tidak tahu pengirimnya.”
Lagi-lagi Pak Harno mengernyitkan dahinya sambil memegang surat.
“Sudahlah, Pak Banu, jangan terlalu dipikirkan. Barangkali memang ada orang yang menaruh surat itu di teras rumah,” Pak Harno mulai menghibur dan mengalihkan pembicaraan.
“Tidak, tidak mungkin ada orang yang menaruh surat itu di teras. Pasti angin yang telah mengirimnya,” kataku agak meninggi. Pak Harno terperanjat dengan jawabanku. Tapi ia masih kelihatan tenang.
“Aku tahu persis sebelum hujan dan angin kencang, surat itu belum ada,” kataku lagi meyakinkan Pak Harno. Lelaki paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Barangkali ia merasa ada sesuatu yang aneh pada diriku. Tapi tak kuhiraukan lagi apa kata Pak Harno dan warga di sekitar rumahku.
“Ya sudahlah kalau memang Pak Banu yakin seperti itu,” katanya sambil pamit pulang karena malam memang sudah hampir mendekati puncaknya. Rasa dingin sudah menyerang sejak tadi. Hari ini aku kecewa lagi, karena angin tidak juga datang meski aku sudah menunggu sejak siang hingga larut malam ini.
***
Akibat terlalu sering berada di teras rumah, aku sakit. Angin besar yang kutunggu tidak datang tapi angin sepoi-sepoi justru yang datang lalu membuatku seperti ini. Aku menggigil dan terus menggigil. Suhu badanku panas. Istriku bingung. Ia mau membawaku ke dokter tapi aku menolak. Aku masih trauma pada dokter dan rumah sakit. Aku terus menggigil. Pada akhirnya istriku diam, menyerahkan semuanya padaku.
Mendadak di luar hujan menderas. Airnya bergerombol turun dari langit menimbulkan suara khas, berisik. Aku masih berharap hujan malam ini disertai angin kencang. Aku keluar rumah meski terus menggigil. Aku tak peduli. Harapanku hanya satu, ada angin kencang yang akan mengirim surat dari seseorang kepadaku. Aku rindu surat itu. Aku terus menanti di teras rumah.
Hujan terus menderas, airnya kian berlimpah. Namun angin yang kutunggu tak juga membersamai hujan. Hanya angin sepoi-sepoi yang kadang muncul tapi sering menghilang. Aku kembali kecewa. Kurapatkan sarung dan jaket ke seluruh tubuhku. Masih tetap dingin. Aku kian menggigil. Beberapa tetes air bahkan sudah membasahi tubuhku. Aku tak kuat lagi. Tiba-tiba tubuhku oleng dan jatuh tertelungkup di teras tanpa seorang pun yang tahu. Pada saat bersamaan angin kencang datang yang membuat air hujan mengalir ke mana-mana termasuk membasahi seluruh tubuhku. Aku tak tahu lagi, apakah angin yang datang malam ini membawa surat kepadaku. ***
Lembah Sindoro, Februari 2021
— Hari B Mardikantoro merupakan dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Beberapa cerpen telah ditulisnya. Kini tinggal di Ungaran.
ahmadharis
nama: ahmad haris setya dharma
kelas: 10 Axioo
sekoalh: SMK Nuris Jember
saya suka cerpen ini karena judulnya yang menarik
Anonymous
Halo, Bapak Hari Semoga sehat selalu. pernah menimba ilmu waktu S-1 thn 2002-2006 dan S-2 pd rentang tahun 2015-2019. Saya suka cerpen ini.