SETELAH tabrakan hebat tadi siang, kurasa aku telah mati. Apa yang bisa kau lakukan saat berada di alam kematianmu? Tentu, jawabannya tak ada yang tahu. Begitupun aku. Aku tak tahu apakah sekarang telah berada di alam kematian itu atau sekadar pingsan. Hanya gelap yang bisa kusaksikan. Ingin sekali ada malaikat yang datang padaku. Tak peduli ia malaikat pencabut nyawa, malaikat penjaga pintu surga atau neraka, yang penting ia malaikat. Setidaknya, tubuh malaikat yang bersayap dan terang benderang segera memadamkan kegelapan yang tak berujung ini. Bukankah malaikat diciptakan Tuhan dari cahaya?
Atau, mungkin bayangan-bayangan hitam pekat berkelebat-kelebat yang datang mengunjungiku, aku tak keberatan. Konon, katanya, mereka itu roh-roh penasaran yang tidak diterima neraka, apalagi surga. Boleh juga bertemu ayah! Seharusnya, aku dan ayah bisa bertemu. Bukankah saat ini aku adalah roh gentayangan yang tak kunjung menemui pintu masuk ke jasadku. Jadi, menurutku, seharusnya ayah yang telah meninggal lebih dulu saat aku remaja bisa menemuiku.
Sekali lagi, apa yang bisa kau lakukan saat berada di alam kematianmu? Aku sudah tahu jawabannya. Jawabnya, mengingat-ingat kenangan masa silam hidupmu. Kenangan itu seperti mimpi-mimpi dalam tidurmu. Kini, ingatanku membentang di sepanjang loronglorong gelap tak berujung. Luas tak bertepi. Menelusuri kenangan masa kanak-kanakku dulu. Aku teringat Pak Sobirin, guru mengaji kami.
***
Masih lekat dalam ingatanku sosok Pak Sobirin. Lelaki separuh baya itulah yang menjadi guru mengaji kami dulu di Kota Tegal, Jawa Tengah. Ia begitu bersahaja sekaligus sederhana, ke mana-mana Pak Sobirin selalu setia menunggangi sepeda ontel kesayangannya. Ia selalu memakai baju koko warna putih dan mengenakan kopiah beludru hitam yang sudah pudar warnanya.
Setiap ia datang untuk mengajar kami mengaji, di gerbang pintu rumah ia akan membunyikan bel sepedanya. Maka, setiap kali bunyi bel sepeda Pak Sobirin berdering-dering, kami berebutan lari ke depan rumah dan membukakan pintu gerbang untuknya.
Kring, kring, kring!
“Pak Sobirin datang!” seru kami berbarengan. Maka, kami pun berlompatan lari ke depan.
Pasti, kakakku, Galang, yang memenangkan usaha berlomba membukakan pintu. Badannya lebih besar dariku dan tentu kakinya lebih panjang. Dan, ia menjadi orang pertama yang menyalami tangan Pak Sobirin dengan menempelkannya di kepala sebagai tanda takzim. Lalu, aku melakukan hal yang sama, kemudian baru adikku, Gadis, mengikuti.
Ya, Pak Sobirin begitu berkesan bagi kami karena cara beliau mengajari kami mengaji penuh kesabaran dan sangat disiplin.
Ayah sengaja mendatangkan guru mengaji ke rumah karena ayah dan ibu ingin kami lebih paham membaca Alquran dan melakukan ibadah shalat. Oleh karena itu, kami belajar mengaji secara privat di rumah.
Walaupun kami sangat menghormati Pak Sobirin, sebagai anak-anak, kami sering menjahili beliau. Aku ingat, waktu itu mungkin Pak Sobirin sangat panik menyadari sepedanya hilang dari teras rumah kami. Sore itu, sebelum mengaji, mungkin karena terlalu capek akibat mengayuh sepeda, ia tertidur di sofa ruang tamu.
Maka, terbitlah ide nakal kami saat ia terlelap tidur. Sepeda ontel yang ia parkir di teras rumah, kami pindahkan ke dalam garasi mobil. Setelah itu, kami cekikikan menahan geli, membayangkan Pak Sobirin yang menyadari sepedanya telah lenyap. Membayangkan betapa wajahnya yang telah keriput pasti akan tertarik menegang, kami jadi geli sendiri. Kami terkikik-kikik lagi.
Rupanya, Pak Sobirin tertidur di sofa sangat pulas dan begitu nyenyak, sampai-sampai suara dengkurnya terdengar halus berbunyi seirama dengan dadanya yang turun naik. Kami sengaja tidak membangunkannya, bukan karena kasihan melihatnya, tapi lebih karena waktu belajar mengaji kami akan menjadi sebentar. Untung, waktu itu, ibuku lebih cepat pulang dari arisan Dharma Wanita. Sehingga, bunyi suara bel rumah yang dipencet ibu membuat ia terbangun. Pak Sobirin tergeragap sambil mengusap kelopak matanya dengan punggung tangannya.
Ia terbungkuk-bungkuk minta maaf pada ibu karena tertidur. Sampai-sampai, ibuku malah tak sampai hati melihat Pak Sobirin yang terlihat letih dengan mata merah, baju kusut, dan terbungkuk-bungkuk memohon maaf.
“Tidak apa-apa, kok, Pak. Ayo, anak-anak, cepat ke ruang belajar!” kata ibu.
Akhirnya, ibu menginstruksikan kami untuk segera ke ruang belajar. Ruang belajar tempat kami mengaji sebenarnya ruang makan. Karena kami lebih sering makan bersama di ruang keluarga, ruang itu dibuat untuk ruang mengaji, sekaligus ruang belajar kami. Di ruang itu, tersedia papan tulis white board, spidol, penghapus, alat-alat tulis lainnya, dan rak bukubuku bacaan dan pelajaran.
Dengan cekatan, Pak Sobirin pun mengambil posisi di depan papan tulis dan mulai mengajari kami satu surat dalam Juz Ammah dan memaparkan tafsirannya. Surah Al-Ashr. “Demi masa. Sesungguhnya, manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.” Hingga azan Maghrib berkumandang, pelajaran mengaji Al-Quran pun usai. Lantas, kami shalat berjamaah dan menikmati makan malam bersama.
Tentu saja, selama makan malam bersama, aku, Galang, dan Gadis saling sikut dan menahan tawa membayangkan Pak Sobirin mendapati sepedanya telah hilang nanti. Hingga ayah sempat menegurku agar tidak bercanda saat makan dan berlaku sopan di depan Pak Sobirin.
“Galih, kalau makan, jangan bercanda,” tegur ayah padaku. Kami pun makan dalam diam, sambil sesekali saling berkerling mata.
Acara makan malam usai, Pak Sobirin pamit pulang. Ayah dan ibu menyalaminya, diikuti oleh kami dengan wajah-wajah penuh kelicikan. Ayah dan ibu mengantar Pak Sobirin ke depan teras rumah. Kami mengikutinya dari belakang dengan perasaan berdebar.
Sesampai di teras, betapa wajah Pak Sobirin begitu panik dan pucat pasi menyadari sepeda ontelnya telah hilang. Ia sampai berteriak dan beristighfar. Kalau saja Pak Sobirin mengidap penyakit jantung saat itu, pasti ia telah jatuh pingsan.
“Astaghfirullah!” jerit Pak Sobirin sambil mengusap dadanya berkali-kali.
Ayah cepat-cepat menenangkan beliau dan sambil tersenyum berkata, “Lho, bukannya sepeda Pak Sobirin disimpan di garasi?”
“Alhamdulillah! Iya, saya lupa. Biasanya, sepeda itu saya taruh di situ,” kata Pak Sobirin sambil menunjuk lantai teras. Lantas, ia mengusapkan kedua telapak tangan ke mukanya. Rupanya, ia bersyukur. Ayah dan ibu saling berpandangan serta-merta tatapan mata mereka beralih kepada kami yang tak kuat menahan tawa. Galang sampai memegang perutnya yang mulas akibat menahan geli.
Setelah Pak Sobirin meninggalkan halaman, mengayuh sepedanya menuju ke rumahnya, ayah langsung memanggil kami. Maka, kami pun langsung diinterogasi satu per satu. Tentu saja, kami mengaku bahwa kami yang mengerjai Pak Sobirin dan menyembunyikan sepedanya di garasi. Akibat ulah kami itu, kami dapat hukuman yang cukup setimpal.
Kami bertiga harus menulis satu surah dari Juz Ammah di papan tulis secara bergantian sebanyak 10 kali. Tentu saja, itu cukup berat bagi kami yang masih kanak-kanak.
Esok hari, kami sekeluarga sangat berduka karena mendengar kabar bahwa Pak Sobirin meninggal dunia. Ia tewas ditusuk oleh seorang preman pasar yang berusaha merebut sepeda ontel kesayangannya saat ia hendak menuju Masjid Agung. Sepeda ontel Pak Sobirin berhasil dibawa kabur oleh preman pasar. Saat itu, kami hanya bisa menangis. Mungkin, kami menyesal tadi malam telah menjahilinya.
Sebenarnya, Pak Sobirin bukanlah orang pertama yang menjadi guru mengaji kami. Sebelumnya, aku, Galang, dan Gadis pernah belajar dasar-dasar Al-Quran di Kota Bitung, Sulawesi Utara, di sebuah masjid dekat rumah. Ustaz Umar, nama guru ngaji kami saat itu. Ayah dan ibu meminta Ustaz Umar untuk mengajari kami yang masih kecil-kecil mengaji. Karena, waktu itu, kami bersekolah di sekolah swasta milik sebuah Yayasan Gereja Katolik. Di Bitung, untuk mendapatkan pendidikan terbaik, kami harus bersekolah di sekolah Katolik.
Di sekolah, layaknya sekolah-sekolah berbasis agama, setiap memulai aktivitas belajar tentu kami memakai cara berdoa sesuai dengan ajaran agama Katolik. Dengan khusyuk, kami mengikuti cara berdoa yang dilakukan oleh guru kami. Namun, aku dan Galang—saat itu aku TK nol besar dan Galang kelas dua SD—sudah dipesan oleh ibu untuk membaca surah Al-Fatihah dalam hati.
Tapi, tidak untuk Gadis. Mungkin, karena ia masih sangat kecil, ia baru TK nol kecil (sekarang play group) saat itu. Apabila kami makan bersama, ia selalu membuat gerakan tanda salib dengan tangannya ke dahi kepala, ke bahu kanan, ke bahu kiri, lalu ke tengah dadanya. Atas nama Bapa, Bunda, dan Roh Kudus, amin. Begitu Gadis melakukannya.
Maka, sejak saat itu, kami mengenal Ustaz Umar. Guru mengaji kami yang orang Bugis. Hanya sebentar kami belajar mengaji di masjid bersama Ustaz Umar, seorang ustaz muda berperawakan tinggi dan kurus. Enam bulan kami belajar mengaji bersamanya karena kami harus mengikuti ayah yang pindah tugas ke sebuah kota kecil, Ampana, di Sulawesi Tengah. Lalu, dari Ampana, kami pindah ke Tegal. Di kota itulah, kami bertemu Pak Sobirin, guru mengaji yang bersahaja dan sederhana.
***
Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan oleh seseorang lamat-lamat tertangkap pendengaranku. Suara itu semakin jelas. Semakin jelas. Tapi, tubuhku mendadak terasa lemas. Tubuhku melayang-layang seperti kapas, tak berdaya, entah di mana. Pandanganku masih gelap. Tapi, suara itu semakin terdengar dekat. Lantunan ayat-ayat suci yang dilafalkan oleh seseorang begitu merdu dan mendayu-dayu walaupun ada nadanada sendu yang begitu mengiris-iris kalbu. Aku ingat suara orang itu.
“Pak Sobirin?” seruku, namun suaraku tercekat.
Kerongkonganku terasa sangat kering. Aku merasakan haus yang amat sangat. Aku memanggil Pak Sobirin sekali lagi, tapi ia tak menjawab. Aku masih terjebak dalam gelap. Ah, mengapa begitu gelap di sini? Mengapa hanya suara Pak Sobirin yang sedang mengaji yang terdengar olehku.
“Galih, ikuti Bapak membaca ayat-ayat suci, barangkali akan membantumu, Nak.”
Aku terhenyak. Dalam keadaan gamang di kegelapan yang tak bertepi, suara Pak Sobirin begitu menyejukkan. Rasa haus yang tak terperihkan tadi tiba-tiba lenyap begitu saja. Aku merasa segar dan tenang.
“Ikuti apa yang Bapak bacakan, ya,” ujar Pak Sobirin lagi. Aku tak mengerti. Terdengar lagi suara Pak Sobirin melantunkan ayat-ayat suci, terdengar begitu indah dan menyejukkan. Seperti mendapat suntikan energi yang dahsyat, aku mengikuti bacaan ayat-ayat suci yang Pak Sobirin lafalkan dalam gelap. Ya, dalam gelap.
Kegelapan perlahan-lahan tersingkap, seperti tirai hujan lebat yang berubah menjadi jarum-jarum tipis berupa gerimis. Serupa gerombolan awan-awan berwarna kelabu yang tiba-tiba tertiup angin. Langit sedikit lebih cerah, tapi belum terang betul. Pandangan mataku nanar dan mengabur, seberkas cahaya kulihat samar-samar menyelinap. Putih dan terang berkilau-kilau.
Samar-samar kulihat beberapa wajah sedang memandangku. Mereka tampak begitu bahagia dan penuh sukacita. Itu istri dan anak-anakku. Ada Galang dan Gadis, juga ibuku. Aku pejamkan mata. Di ujung gelap sana, Pak Sobirin tersenyum lembut memandangku. (*)
Leave a Reply