Budi Darma, Cerpen, Kompas

Lorong Gelap

4.7
(3)

Jumlah sel terpidana mati terbatas, hanya tiga belas, di ujung lorong gelap yang memisahkan penjara terpidana biasa dan terpidana mati. Begitu seorang terpidana mati siap untuk dieksekusi, seorang terpidana mati yang masih tinggal di penjara biasa diseret ke lorong gelap, diserahkan kepada kelompok sipir khusus.

Jam sebelas malam sel Den Hardo digedor-gedor, tanda bahwa dia harus segera diseret ke lorong gelap, menggantikan terpidana mati yang siap akan dieksekusi.

Beberapa sipir menyambut kedatangan Den Hardo, mengikat tubuh Den Hardo dengan kuat dan menyumpal mulut Den Hardo untuk menghadapi upacara awal: cap stigma. Sebatang besi menyala dilekatkan ke dada bagian depan, dada bagian belakang, kedua tangan, serta di leher dan tengkuk. Desis dan bau daging terbakar menyusup ke semua bagian lorong gelap, dan Den Hardo tidak mungkin berteriak dan berkelejatan menahan rasa sakit karena mulutnya telah disumpal dan tubuhnya telah diikat kuat-kuat dengan tali khusus.

Lalu, dengan cara serampangan. seorang sipir yang wajahnya mirip hantu mengatakan, terpidana mati mempunyai hak untuk menentukan cara hukuman sesuai pilihannya sendiri. Hukum gantung boleh, tembak tidak apa-apa, potong leher juga silakan. Tapi yang paling enak dipandang adalah eksekusi dengan listrik tegangan tinggi. Setelah tombol dipencet, tubuh terpidana mati berubah menjadi terang benderang, lalu dari ujung kepalanya muncullah cahaya indah, tanda bahwa nyawa telah melesat meninggalkan tubuh yang gosong.

Den Hardo kemudian dilempar ke sel dan diberi bekal satu kaleng besar kacang keras. Penjelasannya, di area eksekusi banyak tupai yang suka masuk ke sel tanpa maksud mengganggu, hanya minta diberi makan. Semua tupai itu jinak, dan suka diajak bermain-main. Tapi awas, kacang jangan dimakan sendiri, dan kalau dilanggar, hukumannya berat.

Melalui jendela Den Hardo melihat sebuah lapangan dikelilingi tembok yang dilindungi oleh kawat berduri berpijar-pijar karena ada muatan listriknya. Eksekusi selalu dilakukan antara jam satu dan tiga dini hari, di bawah pohon jejawi tua, dan semua alat eksekusi tersedia di sebuah gudang bercat putih.

Dini hari itu, sekitar jam setengah satu, Den Hardo melihat lampu-lampu besar di lapangan eksekusi dinyalakan, sebuah tiang gantung dipasang, dan berderet-deret kursi di panggung kehormatan dibersihkan. Kira-kira jam setengah dua beberapa orang penting masuk, dipersilakan duduk di kursi-kursi di panggung kehormatan.

Tanpa pidato seorang terpidana mati berbaju putih kumal dilapisi jaket berwama luntur digiring ke panggung tinggi, borgol tangannya dilepas, lalu tangannya diikat ke belakang, begitu juga kakinya, dan tali besar dan kuat seperti baja dilingkarkan ke lehernya.

Baca juga  Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah

Barulah pada saat itu seseorang yang tampak sangat berwibawa berteriak keras: “Hancurkan pengkhianat!”

Dengan mendadak pintu jebakan terbuka, hentakan keras menjerat leher terpidana mati, dan melesatkan tubuhnya ke atas.

Setelah tubuhnya diturunkan, dua orang turun dari panggung kehormatan, memeriksa tubuh terpidana mati, lalu mengacungkan jempol terbalik, tanda bahwa jantung terpidana mati masih berdegup. Seorang laki-laki dengan gagah turun dari panggung, mencabut pistol, menempelkannya di pelipis terpidana mati, lalu menarik pelatuknya. Dua orang mendekat lagi, memeriksa tubuh, kemudian mengacungkan jempol ke atas.

Delilah tidak tampak di panggung kehormatan; mungkin sudah mati, mungkin juga masih hidup dan terus berusaha menyengsarakan Den Hardo.

Delilah dan Den Hardo lahir dari bibit ayah yang sama, dan keluar dari kandungan ibu yang sama. Tapi Den Hardo tidak tahu mengapa ayah dan ibunya selalu memenangkan Delilah dan menuduh Den Hardo sebagai pihak yang salah dan pantas dihukum. Bukan karena Delilah dua tahun lebih tua, tapi entah karena apa.

Setelah lulus SMA Delilah dipersilakan masuk ke universitas, tapi setelah Den Hardo lulus SMA, ayah dan ibunya menyuruh Den Hardo mencari pekerjaan. Sejak kecil Den Hardo sudali terbiasa membersihkan rumah, mulai dari mencuci piring, menyapu dan mengepel lantai, sampai dengan menata pekarangan, dan merawat burung, kucing, serta anjing peliharaan. Den Hardo juga sudah terbiasa merasakan kekejian Delilah: lantai sudah bersih, dengan sengaja Delilah memakai sepatu kotor hilir mudik di lantai itu, sangkar burung dibuka, dan Den Hardo harus bertanggungjawab, dan entah apa lagi.

Dan setelah lulus SMA dan ternyata mencari pekerjaan sukar, beban penderitaan Den Hardo bertambah dan berlipat-lipat, demikian pula hukumannya.

Ketika ayah mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, dengan nada gusar Delilah menuduh Den Hardo sengaja membuat mobil ayahnya sukar dikendalikan, dan Den Hardo harus bertanggung jawab. Begitu juga ketika ibunya meninggal karena sesak napas, Delilah menuduh Den Hardo sengaja tidak mau merawat ibunya dengan baik.

Setelah mereka menjadi yatim piatu, Den Hardo menawarkan diri untuk pindah rumah, mencari kehidupan sendiri.

“Saya tahu kamu tidak pernah mencintai saya, Den Hardo. Makanya kamu mau meninggalkan saya sendirian.”

“Bukankah Kak Delilah kakak kandung saya? Apakah pengabdian saya tidak menunjukkan cinta dan rasa hormat saya?”

“Kalau kamu pergi, siapa yang akan merawat saya? Siapa yang akan mengurus rumah ini?”

Den Hardo mengalah, tidak jadi meninggalkan rumah.

Dan Den Hardo heran, sudah sekian lama Delilah kuliah, tapi belum juga lulus. Delilah suka pergi sampai berhari-hari, dan kalau pulang bau tubuhnya selalu menyengat.

Baca juga  Muara Doa

Sementara itu, beberapa tamu dengan tampang tidak karuan dan bersikap kurang ajar sering mengunjungi Delilah, biasanya lepas tengah malam.

Sering Den Hardo mendengar mereka berteriak dengan kasar: “Tembak mereka semua!”

Kadang-kadang mereka juga berbincang penuh semangat untuk menduduki stasiun televisi, stasiun radio, dan kantor-kantor lain.

Bau rokok dan minuman keras menghambur dari ruang pertemuan. Semua terjadi lepas tengah malam, dan sebelumnya, Delilah menyuruh Den Hardo tidur lebih awal, lalu, pada pagi harinya Den Hardo harus membersihkan ruangan.

Delilah biasa bangun siang, mandi, bersolek, dan kadang-kadang menyuruh Den Hardo untuk pergi dan jangan pulang sebelum malam. Dan ketika Den Hardo pulang malam, semua berantakan, dan bau menyengat dan menjijikkan kadang-kadang membuat Den Hardo muntah.

Lama kelamaan Den Hardo tahu, Delilah mempunyai kegemaran menjijikkan, yaitu memasukkan pengemis, gelandangan, dan pemulung, untuk menikmati tubuh dan bau mereka. Diam-diam Delilah menyembunyikan pakaian mereka, di antaranya ditaruh di bawah bantal.

Karena sudah tidak tahan, Den Hardo terpaksa minggat dengan meninggalkan surat betapa dia mencintai dan menghormati Delilah, dan janji pada suatu saat nanti akan kembali. Karena setelah ayah dan ibunya meninggal Delilah melarang Den Hardo mencari pekerjaan, maka Den Hardo pun menjadi penganggur. Dalam surat itu juga Den Hardo memohon maaf, terpaksa mencuri uang untuk memulai hidup baru. Surat ditutup: “Pada suatu saat pasti saya kembali.”

Di kediamannya yang baru setiap malam Den Hardo menangis, merasa berdosa terhadap Delilah, dan dia merindukan Delilah, karena memang dia mencintai dan menghormati Delilah.

Beberapa bulan kemudian Den Hardo mendengar kabar, ada kerusuhan berkepanjangan di ibu kota, disusul dengan berita mengerikan: mahasiswa dan anak-anak muda bentrok dengan polisi, dan polisi terpaksa menembak beberapa mahasiswa dan anak muda dengan peluru tajam. Makin hari bentrok makin meruncing, dan makin hari makin banyak mayat bergelimpangan sekian banyak tempat di ibu kota. Akhirnya mahasiswa dan anak-anak muda berhasil merebut rumah sakit, stasiun radio dan televisi, serta terminal bis, stasiun kereta api, lapangan terbang, dan pelabuhan. Tapi, polisi dibantu tentara tidak mau menyerah: mereka sering melakukan serangan mendadak, dan jumlah mayat pun meningkat tajam.

Semua mayat dikumpulkan di tiga rumah sakit besar, diidentifikasi, ditaburi bahan pengawet, dan lilin-lilin pun dinyalakan untuk mengurangi bau busuk. Kalau sampai tiga hari belum ada keluarga yang mengambil, mayat terpaksa dikumpulkan di ruang-ruang tersendiri untuk dimakamkan keesokan harinya. Kalau jumlahnya banyak, sebelum mayat-mayat diangkut ke makam, sebuah rekaman lagu kebangsaan diputar dengan suara keras. Mereka telah gugur untuk tanah air, dan tanah air harus membalas budi dengan kumandang lagu kebangsaan.

Baca juga  Fordesia

Ribuan mahasiswa dan anak muda dari berbagai daerah berhasil menyelundup ke ibu kota, dan dalam setiap bentrokan sebagian besar mereka menjadi mayat. Kacau tapi makmur: makanan, obat-obatan, peti mati, dan mobil selalu datang, disumbangkan oleh orang-orang kaya.

Den Hardo yakin Delilah terlibat, karena itu dia pulang, langsung ke rumahnya. Kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah tetangga-tetangganya juga sepi. Kemudian Den Hardo melihat banyak ambulans menuju ke makam, diiringi lagu kebangsaan.

Sambil mencari dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain, ingatan Den Hardo mengenai kekejian Delilah muncul kembali: ketika kecil Delilah sering mengajak Den Hardo ke rumah pemotongan hewan, ke lapangan adu anjing melawan babi, dan mengendap-endap di rumah sakit mengintai orang-orang sekarat. Makin sengsara binatang disembelih dan diadu, dan makin kesakitan orang-orang yang harus mati tapi belum ikhlas meninggalkan dunia, selalu memberi rasa gembira dan bahagia pada Delilah.

Di rumah sakit ketiga Den Hardo melihat seorang perempuan luka parah diangkut tandu, dan dengan jerit tangis serta rindu Den Hardo berseru: “Delilah!” Dengan isak tangis Den Hardo berusaha mengangkat tubuh Delilah dan menciuminya.

Memang Delilah lemas, dan darah keluar dari sekian banyak bagian tubuhnya, tapi begitu mendengar jerit Den Hardo, apalagi ketika Den Hardo berusaha mengangkat tubuhnya dan menciuminya, Delilah menjadi kuat, bangkit, lalu berteriak dengan penuh semangat: “Tangkap mata-mata ini! Polisi dan tentara tahu segala gerakan kita karena bajingan ini.”

Ketika mereka menangkap, menyiksa, dan membawa Den Hardo ke penjara, Den Hardo tidak berusaha melawan. ***

Budi Darma, sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Universitas Negeri Surabaya. Budi Darma pernah menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, dan novel, serta pernah mendapat penghargaan, antara lain dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Thailand), dan Anugerah Seni Pemerintah RI.

Yumma Loranita Theo, lahir di Medan, 13 Mei. Menempuh pendidikan di Studio Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Mendirikan Sanggar Serat Alam Anggit dan Jatiwangi Art Factory Jatiwangi Bandung. Finalis kompetisi lukis “Dunia Ideal” Jakarta Art Award tahun 2012.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!