Cerpen Zen Hae (Kompas, 28 Oktober 2018)
LOMPATAN PERTAMA
Jika sinar matahari pagi jatuh dengan kemiringan 34°, maka berapakah panjang bayangan tubuh seseorang? Berapa lebih panjang bayangan itu daripada tubuh yang menjadi sumbernya?
Sudah lama ia tergoda oleh pertanyaan yang mirip soal matematika ini. Sebab, setiap kali melintasi alun-alun kota pada pagi hari, sembari sesekali menoleh ke kiri, ia menyaksikan bayangannya seperti ditarik sehingga tampak rusak anatominya. Lebih kurus, tipis, sedikit melengkung.
Bayangannya merunduk sebagaimana ia merunduk—demi mencermati setiap jengkal tanah untuk menemukan, misalnya, sisa makanan atau puntung yang ditinggalkan mereka yang begadang tadi malam, tetapi kemerundukannya itu bukanlah kemerundukan ia yang tengah dirundung masalah. Rundukan itu terkesan tidak peduli kepada semua hal.
“Tak risau barang sedikit,” ia menggerutu. Maka setelah bosan menduga-duga, ia berhenti. Dalam kemiringan sinar matahari yang kini 45° ia merasakan panas membakar punggungnya. Ia menilik panjang bayangannya. Hampir dua kali, ia mengira. Ia bertolak pinggang, si bayangan juga. Ia meludahi kepala bayangannya, tetapi yang bersangkutan hanya diam. Lagi—tetap diam. Tetapi, sesaat kemudian ia menyaksikan bayangannya mulai bergerak.
Demikianlah, pembaca yang budiman, dari hamparan rerumputan tempatnya berbaring—karena tengah asyik mandi sinar matahari—si bayangan menyaksikan lelaki ringkih itu menggigil dan memegangi perutnya. Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya sebagai bayangan ia mesti melompat sebab, jika tidak, ia akan tertimpa oleh tubuh di depannya itu.
Jam Tangan dan Astronot
Sudah lama ia ingin menulis sebuah cerita yang tokoh utamanya menghadapi kesulitan luar biasa dan menyebabkan kehancuran si tokoh di akhir cerita. Maka ia menaruh sebuah jam tangan di sebuah planet. Ketika cerita bermula si jam tangan sudah mengeluh, apalah gunanya waktu di sebuah planet jika mesti ditandai dengan peranti yang biasa digunakan manusia di bumi. Bukankah penampakan di planet itu sama saja dari waktu ke waktu, bergerak antara terang dan gelap. Seluruh perangkat mahakecil dalam dirinya pun mogok. Jika tidak bisa menandai waktu, keluh si jam tangan lagi, apalah makna sebuah jam tangan semacam dirinya, baik di bumi, di planet ini, maupun di planet lain di jagat raya mahaluas ini.
Merasa kasihan kepada tokoh yang telah ia bikin sengsara, si pengarang menghadirkan seorang astronot yang kemudian memungut jam tangan. Dengan jam tangan itu si astronot ingin mencari tahu pukul berapakah sekarang ini di bumi—tepatnya di rumahnya. Apakah istrinya telah bangun dan anak-anaknya sudah diantar ke sekolah—karena ia merasa angkasa seperti akan melahirkan pagi yang teramat murni. Atau petang yang mencemaskan: Siapa lagi yang akan melambaikan tangan dari depan pintu gerbang rumahnya sebagaimana kerap ia dapati dari balik gorden jendela yang separuh tertutup setengah terbuka.
Namun, jam tangan itu sudah telanjur rusak.
Soal utama bagi si astronot kemudian bukanlah kerusakan jam tangan, tetapi kemungkinan hadirnya astronot lain sebelum dirinya—yang ia duga telah meninggalkan jam tangannya yang rusak. Jika itu tidak mungkin, maka inilah dugaannya selanjutnya—ini karena ia masih tergolong “astronot beragama”: siapa yang menciptakan jam tangan itu? Tuhan? Apakah dengan kemahakuasaan-Nya Ia telah menciptakan sebuah jam tangan—yang dengan segala kerumitan peralatan di dalamnya lantas rusak begitu saja. Sementara bagi si jam tangan soalnya adalah mengapa si juru selamat hanya memikirkan keluarganya dan kemahakuasaan-Nya.
“Kau sangat tidak adil!” bentak si jam tangan. Si pengarang tersentak, bercampur bingung. Apakah seruan itu ditujukan kepadanya atau kepada-Nya.
Negeri Orang Mati
: setelah Astrid Lindgren
Malam ini aku akan menempuh perjalanan melintasi Negeri Orang Mati, demi mencari obat mujarab. Telah kupertaruhkan nyawaku demi seorang bayi yang tengah sekarat di perkampungan sebelum pergunungan ini. Jika esok pagi aku sampai di batas terjauh negeri ini, artinya aku selamat dan bayi itu akan sehat seperti sedia kala. Namun, yang akan aku hadapi bukan hanya Raja Orang Mati—ia yang bertakhta di puncak bukit dan tatapan tajamnya akan menyedot nyawa manusia atau binatang atau tumbuhan kemudian membakarnya—tetapi juga seorang pengarang, di luar cerita ini—ia yang gemar mematikan tokoh-tokohnya di akhir cerita.
Aku tidak tahu siapa yang akan ia matikan nanti, aku atau si elmaut. Maka yang kuperlukan adalah menunggu hingga si pengarang benar-benar mengantuk dan tertidur berbantalkan mesin tik tuanya. Aha, ia mulai menguap satu-dua kali, tetapi masih berusaha meneruskan kalimat-kalimatnya. Maka kupacu kudaku melintasi hutan hitam dan di puncak bukit itu si elmaut duduk dengan angkuhnya. Tiba-tiba ia menguap yang menghasilkan badai dan membuat kudaku, si Surai Api, meringkik beberapa kali. Elmaut mencari-cari sumber suara dan ia mendapati bulu-bulu kudaku yang menyala di dalam gelap—seperti seonggok bara yang bergerak sangat cepat. Ia menuruni bukit yang membuat batu-batu di tebing bukit berjatuhan. Aku telah berhasil melintasi longsoran bebatuan, tetapi masih harus melampaui barisan pepohonan hitam yang menyerupai jasad orang yang mati-kering. Pepohonan itu merunduk ke jalan, menghalangi lari kudaku.
Aku memacu kudaku lebih cepat lagi, mencoba melompati pepohonan, sisa hutan, lembah tengkorak, sungai hitam dan jembatan sakratul maut. “Tinggal sebaris lagi,” kudengar suara di langit. Dan kulihat si elmaut melayang melintasi tebing bukit dengan jubah merah-hitam yang berkibaran. Apa-apa yang ia lewati mulai terbakar. Kini seluruh bentang hutan dan pergunungan di belakangku mengobarkan api. Aku terus memacu kudaku agar bisa membebaskan din dari seluruh kejahanaman ini. “Selamatkan aku, wahai Juru Ketik Agung…,” aku berdoa.
Tetapi, ketimbang terbang, kudaku malah terperosok ke dalam sungai. “Arrrggghhh…”
Aku menjerit panjang ketika tangan elmaut melesat ke dalam air. Air sungai seperti meledak. Tiba-tiba, segala ketegangan berhenti begitu saja—seperti rangkaian gambar hidup yang di-pause. Masih kulihat pengarang itu terbangun dan segera mengelap iler di pipinya.
Syafaat untuk Ternak
Ke makam Syekh Uwais di Biyooley, orang-orang Somalia biasa berziarah untuk mendapatkan berkah dan keselamatan. Namun, mereka bukan hanya berziarah untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk hewan ternak mereka. Selama ritual perziarahan hewan-hewan itu diikatkan di keempat pohon yang mengelilingi makam. Maka, embik kambing dan lenguh lembu menjadi setara dengan doa manusia. Dengan syafaat sang wali mereka berharap agar seluruh ternak mereka sehat-gemuk dan selamat dari gangguan binatang buas. Seekor harimau yang kelaparan sejak sepekan lalu menjadi belingsatan karena tiba-tiba saja ia merasa jeri berhadapan dengan kambing dan lembu yang tengah merumput di tepi hutan. Kerentanan nasib hewan, ketamakan manusia dan syafaat seorang wali akhir nya memutuskan satu mata rantai makanan. Tapi itu hanya berlaku untuk seekor harimau, bukan? Sebab setelah selamat dari terkaman harimau, seekor kambing atau lembu yang gemuk toh tidak bisa selamat dari pisau ta- jam si tukang jagal.
Teater Adaptasi
Pada bagian akhir lakon Le Roi se meurt karya Eugene Ionesco—yang diindonesiakan oleh Ikranegara menjadi Raja Mati dari versi Inggris Donald Watson—kita temukan seorang raja yang lenyap menjadi asap. Yang lenyap di situ sebenarnya bukan hanya raja, tetapi juga permaisurinya dan seluruh penampakan balairung istananya. Adegan itu tentu saja absurd, tetapi—sebagaimana dikatakan pengarangnya—“sangat penting”.
Seorang sutradara berbakat mementaskan naskah itu. Sejak awal tokoh Sultan bermain seperti kerasukan iblis. Kalimat-kalimatnya licin dan berbahaya. Terutama ketika menghadapi muslihat dan rongrongan Tabib yang didukung Permaisuri Satu. Dengan bimbingan Permaisuri Satu yang ingin berkuasa—dan telah pula berbagi selimut dengan Tabib—Sultan akhimya menempuh kehidupan barunya sebagai kaum zahid. Ia moksa di dalam sebuah gua yang penuh sawang dan kelelawar.
“Ada yang ganjil dari pementasan itu,” kata sebuah ulasan. Masalahnya bukanlah saduran telah membuat sebuah karya asing mendapatkan konteksnya yang baru, “nalar performativitas baru”, tetapi kepercayaan kepada yang adikodrati—sebagaimana terjadi pada masyarakat tempat si sutradara tumbuh—telah melucuti makna terpenting lakon absurd semacam Le Rot se meurt. ’”Lakon absurd itu telah kehilangan elan vitalnya,” kata si kritikus teater dalam ulasan berjudul “Quo Vadis Teater Absurd”.
“Tidak ada yang salah dengan penyaduran,” bantah kritikus lainnya. “Kita harus mempribumikan lakon-lakon Barat terus-menerus.”
Si sutradara sangat menikmati polemik itu—tetapi para pemainnya, rasanya, tidak. Terutama pemeran Sultan, Permaisuri Satu dan Tabib. Mereka benar-benar lenyap setelah pementasan usai.
Seandainya
Jika kata seandainya, atau yang sejenisnya, dihapus dari kamus sebuah bahasa, dengan apakah para penutur bahasa itu melukiskan peristiwa yang belum terjadi tetapi mereka ingin sekali semua itu terjadi? Maka, akan lenyaplah angan-angan: tidak akan ada lagi “if conditional”; tidak diperlukan perselisihan di depan meja sidang; hanya akan ada pernyataan—dan sedikit kenyataan magis—bukan lagi pertanyaan. Yang tak kalah penting: akan kekal takdir Tuhan. Cerita tanpa kata seandainya adalah kisah seorang lelaki tua dan boneka kayu ciptaannya. Hingga cerita berakhir boneka itu tetaplah boneka kayu di atas meja makan dan si tukang kayu senantiasa lelaki tua yang kesepian. Sebabnya adalah kata seandainya telah dihapus dari doa dan mimpinya selama ini: Seandainya boneka kayu itu bisa berubah menjadi anak kecil yang menemaniku. ***
.
.
Zen Hae menulis puisi, cerpen, esai, kritik sastra, dan menyunting sejumlah buku. Buku terakhirnya adalah kumpulan cerpen The Red Bowl and Other Stories (2015). Sepanjang September-November 2017, ia menjadi seniman mukiman di Praha dan eský Krumlov, Republik Ceko, atas dukungan penuh Komite Buku Nasional-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
I Wayan Suja, lahir di Batubulan, Bali, 8 Desember 1975. Menempuh pendidikan Seni Rupa di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar (STSI/ISI Denpasar). Pernah menjadi Finalist of Indonesia Art Award dari YSRI tahun 2000 dan 2010. Tahun 2005 Finalist The 2005 Sovereign Asian Art Prize, Hong Kong.
.
Enam Kisah. Enam Kisah. Enam Kisah. Enam Kisah. Enam Kisah. Enam Kisah. Enam Kisah.
Leave a Reply