Cerpen Sori Siregar (Kompas, 27 Januari 2019)
NANAIMO. Sebuah kota kecil di Kanada. Di sanalah Lili sekeluarga bermukim. Tidak tahu untuk berapa lama.
Dengan menggunakan telepon seluler Sutana mengamati foto-foto lama Lili dan teman-temannya di kampus Vancouver Island University di British Columbia tersebut. Ia bangga sekaligus merindukan putrinya itu. Sudah lima tahun Lili, suaminya Arie, dan kedua anak mereka, Kafka dan Nares bermukim di negeri orang itu. “Kapan kalian pulang?”
Pertanyaan itu sering dilontarkan Sutana di surelnya, karena Lili telah selesai pendidikan masternya setelah berdiam dua tahun di kota kecil, di pantai timur Pulau Vancover itu. Belakangan pertanyaan itu tidak diulangi Sultana, karena Lili telah mengutarakan niat mereka untuk menjadi penduduk tetap di negeri empat musim itu.
Penduduk tetap, hanya setingkat di bawah warga negara. Niat untuk pulang kampung pastilah semakin menipis, karena pilihan itu. Tapi, apakah status itu akan semudah itu memperolehnya?
Ia tidak dapat mengungkapkan hal ini kepada istrinya, Rosmaini, yang sejak keberangkatan Lili telah didera demensia. Orang dengan demensia telah mengalami penurunan fungsi otak yang cukup serius. Ingatannya hanya bertahan satu atau dua detik. Lafalnya ketika berbicara juga tidak sempurna. Ia dapat tertawa tapi tidak pernah menangis. Paling tidak begitulah ia selama lima tahun. Ia dikawal terus oleh Aniek, seorang asisten rumah tangga yang sekaligus bertugas sebagai “care-giver”. Dr Yenny tempat berkonsultasi Romaini setiap bulan juga menyebut Sutana sebagai “care-giver”.
Sutana kehilangan teman berkonsultasi dan berbicara sejak Rosmaini menyandang demensia. Dari ketiga anaknya hanya seorang, yaitu Ovi, yang masih sering menemuinya, karena rumahnya hanya berjarak 100 meter dari rumahnya.
Dulu, dua tahun sebelum keberangkatan Lili ke Nanaimo, putranya Parlin memburu gelar master dan PhD di Ibukota Inggris dan terakhir mengajar di Universitas Nottingham Trent, Nottingham. Parlin juga tidak dapat mengatakan kapan ia pulang. Ia ingin mengajar dulu dengan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya. Mungkin untuk setahun, dua tahun, tiga tahun dan seterusnya. Tujuh tahun yang telah dilaluinya bukanlah waktu yang singkat.
Kini si bungsulah yang menjadi tumpuan harapannya dan tempatnya mengadu jika ia didera rasa sunyi. Kerinduan kepada anak di usia senja memang sukar dilenyapkan. Dua anak tinggal di negeri yang jauh dan tidak dapat berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi terhadap dirinya dan istrinya. “Kapan kalian pulang?” itulah pertanyaan yang sering dilontarkannya jika kerinduan datang menyiksanya.
Sesekali di kesunyian malam ia berbicara kepada dirinya sendiri. “Umurku saat ini 70 tahun. Alangkali membahagiakan jika aku dapat berusia 97 tahun seperti Pangeran Philip, paling tidak seperti Mahathir Mohamad yang masih mampu menyandang jabatan Perdana Menteri dalam usia 93 tahun. Aku akan berdoa terus kepada Tuhan agar aku dapat berusia seperti mereka Semoga Tulian mengabulkan permintaanku ini”.
Tiba-tiba Bonar, seorang eksil menyapanya. Kerinduanmu kepada kedua anakmu tidak ada artinya dengan kerinduan kami, aku dan kawan-kawanku, kepada tanah air. Puluhan tahun kami para eksil ingin kembali tetapi senantiasa dihadang. Aku baru punya kesempatan pulang justru setelah mendapat kewarganegaraan tempatku bermukim. Sudah terlambat. Aku sudah tidak ingin kembali ketika peluang itu terbuka lebar. Kerinduanku untuk pulang telah padam di luar keinginanku.
Sapaan Bonar adalah sapaan seorang sahabat yang telah berpulang sepuluh tahun lalu jauh sebelum kedua anak Sutana meninggalkan kampung halaman.
Mungkin Bonar benar. Tetapi kepergian Bonar adalah keterpaksaan yang tidak dapat ditolak. Bukan karena desakan hati yang menginginkan kepergian itu. Lain halnya dengan Lili dan Parlin. Mereka pergi dengan keinginan mereka sendiri. Titik tolaknya adalali belajar menambah kekayaan pengetahuan.
Keinginan untuk bertahan lama di negeri orang itu datang belakangan. Lili ingin menjadi penduduk tetap dan Parlin ingin menjadi pengajar di almamatemya, karena sejak awal ia memang ingin mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan.
Bagaimana jika akhirnya Lili dan Parlin kehilangan keinginan mereka untuk pulang. Atau keinginan yang tinggal hanyalah berkunjung. Setahun sekali, dua tahun sekali atau bahkan lima tahun sekali. Sutana semakin berharap agar ia dan istrinya dapat berumur panjang seperti Mahathir Mohamad atau Pangeran Philip, sehingga mereka masih mungkin untuk bertemu dengan kedua anak yang telah menetapkan pilihan mereka ini.
Namun, seperti yang dirasakan Sutana, kerinduan bukanlah sesuatu yang dapat diusir begitu saja. Ia telah mengendap dan setiap saat dapat muncul kembali. Pada saat tertentu Sutana bertanya mengapa anaknya tidak meniru langkah- nya beberapa dasawarsa lalu.
Sutana dua kali mendapat pe-luang untuk membuktikan ke- mampuan dirinya di negeri orang Dan dengan man tap ia menentukan waktunya kapan kembali ke kampung halaman dan menetapdi negeri ini untuk selama-lamanya. Ia ingin anak-anaknya tetap menjadi anak-anak Indonesia, bukan anak-anak bangsa lain yang menatap negeri ini dengan sikap meremehkan. Atau masih anak-anak Indonesia tetapi menatap tanah airnya dengan sebelah mata.
Lalu, apa menariknya Nanaimo, kota kecil yang hanya berpenduduk 85.000 orang itu. Apa pula menariknya Nottingham yang berpenduduk ratusan ribu orang itu. Mengajar di almamater di negeri orang memang merupakan penghargaan yang tidak boleh disepelekan. Tidak semua orang mendapat kepercayaan dan peluang seperti itu. Mungkin Parlin benar, penghormatan ini tidak boleh ditolak. Sebagai anak bangsa yang mendapat beasiswa dari perguruan tinggi tempatnya memberi kuliah itu, ia juga ingin membuktikan tidak sia-sia perguruan tinggi berwibawa itu memberikan kesempatan kepadanya untuk belajar dan mengajar.
Berbeda dengan Parlin, Lili memilih Nanaimo atas keinginannya sendiri dengan dana yang dikumpulkannya ditambah dengan tabungan suami dan mertuanya selama bertahun-tahun. Ia tidak merasa berkewajiban untuk menyumbangkan sesuatu kepada almamaternya. Wa laupun ia meniniba ilmu di sana semuanya telali selesai begitu ia membayar uang kuliahnya.
Tetapi mengapa begitu sukar bagi mereka untuk mengatakan kapan pulang, seandainya telali menjadi penduduk tetap di negara ternpat mereka bermukim. Kan tidak ada larangan bagi siapa saja untuk pulang ke negeri asalnya. Dulu, ketika Suna bekerja di negeri orang yang hanya beberapa tahun, kerinduannya kepada ibunya selalu memanggilnya pulang, padahal ibunya belum terlalu tua
Apakah Lili dan Parlin me- nyimpan perasaan seperti itu terhadap Sutana dan Rosmaini? Ini yang selalu menjadi tanda tanya besar bagi Sutana. Alang- kah malangnya dirinya dan is-trinya, Rosmaini, jika kedua anaknya tidak merasa seperti itu. Kekhawatiran ini tidak muncul begitu saja karena con- tohnva ada dan masih jelas ter- pampang di depan mata nya. Kim Lys, sepupunya, yang se- mula hanya ingin belajar di ne¬geri orang termasuk dengan perjuangan yang be rat karena ayahnya meninggal, hanya satu kali menjenguk ibu dan adiknya di kampung halaman hingga ke¬dua orang itu berpulang.
Kekhawatiran sepihak seper¬ti itu segera diusimya. Umur bukan manusia yang menen-tukan. Ia sadar kekhawatiran tentang kematian dan peluang untuk bertemu dengan orang-orang yang dicintai tidak harus menjadi beban yang dipikulnya hanya karena kerinduan kepada kedua anaknya. Rasa rindu tidak boleh membuat dirinya menjadi cengeng dan tenggelam dalam kecengengan itu terus-menerus.
Ia haru tegar. Ia tidak boleh takluk menghadapi apa pun. Kalaupun kedua anaknya tidak ingin kembali, itu telah menjadi pilihan mereka. Pilihan yang harus dipahami. Apalagi ia tahu belasan orang temannya ketika bekerja di negeri orang dulu tak seorang pun yang pulang dengan alasan mereka harus membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Mungkin alasan itu benar. Mereka mungkin merasa asing dengan tanah airnya sendiri.
Video-call, whats app, email masih terus berlangsung antara Sutana dengan Lili dan Parlin, hampir setiap minggu. Namun, ada sesuatu yang hilang dalam komunikasi itu. Mereka di sana dan Sutana di sini. Mereka dipisahkan oleh jarak ribuan kilometer. Mereka tidak di sini, tidak hadir di depannya. Kehadiran itulah yang hilang selama beberapa tahun. Itu yang merupakan kecambah kerinduan yang berlebihan.
Sutana berupaya keras meredam gangguan yang setiap hari tidak pernah meninggalkan dirinya itu. Pada waktu yang sama ia sadar bahwa ia harus realistis. Ia harus berani menerima ketidakhadiran anak-anaknya entah hingga kapan. Ia tidak ingin hancur hanya karena Nanaimo dan Nottingham telah merenggut anak-anaknya.
Ini yang membuatnya menghampiri istrinya yang sejak tadi duduk seorang diri, tanpa teman, karena Aniek sedang membersihkan kamar mandi. Ia tahu, apa pun yang akan dikatakannya kepada istrinya, perempuan penderita demensia itu tidak akan memahaminya. Namun ia tetap berkata, “Rosmaini, Lili dan Parlin akan pulang tidak lama lagi. Mereka ingin menghadiri perayaan ulang tahunmu bulan depan”.
Sutana terperanjat. Ia tidak percaya. Ia menghampiri istrinya karena ingin menyaksikan lebih dekat. Ia benar-benar tidak yakin. Istrinya ternyata masih bisa menangis. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun. Untuk pertama kalinya. ***
.
.
Sori Siregar lebih dikenal sebagai penulis cerpen walaupun ia juga menulis novel dan sejumlah tulisan di rubrik kolom berbagai media. Ia pernah dua kali mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta untuk novel-novelnya. Beberapa cerpennya juga terpilih dalam Kumpulan Cerita Pendek Pilihan Kompas. Kini ia menetap di Jakarta. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
I Made Supena, lahir Singapadu, 12 Januari 1970. Menempuh pendidikan Program Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana (kini ISI Denpasar). Memperoleh Philip Morris Award tahun 1997-2001. Finalis The Windsor-Newton Competition tahun 2000, meraih penghargaan Best Five Thousand Mystery of Borobudur (2008) dan Certificate of Ownership, Museum Weltkulturen Frankfurt, Jerman.
.
Nanaimo, yang Jauh di Sana. Nanaimo, yang Jauh di Sana. Nanaimo, yang Jauh di Sana. Nanaimo, yang Jauh di Sana. Nanaimo, yang Jauh di Sana.
Leave a Reply