Cerpen, Kompas, Maya Sandita

Lelaki di Bawah Lampu Jalan

Lelaki di Bawah Lampu Jalan - Cerpen Maya Sandita

Lelaki di Bawah Lampu Jalan ilustrasi I Made Wiradana/Kompas

3.7
(3)

Cerpen Maya Sandita (Kompas, 26 Januari 2020)

IA melengkungkan senyuman bulan dan menarik garis alis.

Ini malam—di ujung sebuah gang—seorang lelaki diam di bawah lampu jalan yang temaram, menunggu. Dua jam lebih sudah bcrlalu. Pedagang asongan yang lewat tak henti-hentinya memperhatikan, ingin memastikan yang berdiri di sana manusia ataukah setan. Sesiapa tidak berani bertanya. Hanya bisa menyinggahkan mata sebentar saja lalu berjalan lebih cepat dari biasa. Rasa takut menyergap habis mulut sampai lutut.

Ia menunduk hening, rambutnya yang berponi jatuh menutupi mata dan kening. Kedua tangan ke kantong celana ia selipkan. Tubuh ia sandarkan ke tiang lampu jalan.

Tak jauh dari tiang lampu, perempuan-pemilik lengkungan senyum bulan berdiri di balkon kayu. Rumahnya di situ. Sebuah bangunan liar di tengah kota yang catnya biru. Ia mengarahkan pandang pada seseorang. Begitu tajam ia melihat, pandang bak pedang yang siap menusuk dan menyayat. Tertuju matanya pada lelaki di bawah tiang lampu jalan sana.

Berkali-kali dari rumahnya, ia masuk dan keluar lagi—dengan alasan melihat bulan. Begitu jawaban yang ia punya saat seseorang—yang tinggal bersamanya—bertanya. Seorang laki-laki lain, seorang manusia yang ia tak mampu memberinya nama apa; suami sah atau suami main-main.

Laki-laki lain itu Gondek, seorang lelaki pendek yang hitam legam kulitnya, besar hidungnya, badannya penuh lemak, dan kepalanya botak.

Jika Gondek terlihat oleh tetangga di kawasan rumah liar, perempuan itu akan segera mendengar gosip yang gampang sekali menyebar. Gosip itu adalah perkara; mengapa perempuan secantik dia mau serumah dengan laki-laki yang punya hidung babi di wajahnya, atau apa sebenarnya status mereka berdua, atau bahkan; jika nanti mereka punya anak akan seperti jelmaan katak, ikan, atau babi?

Semua pertanyaan itu kemudian mereka jawab sendiri—dan tentunya tanpa perlu disanggah sama sekali. Tapi setelah bertahun-tahun tinggal di sini, akhirnya perempuan itu bisa ambil sikap tidak peduli. Sedang Gondek sudah mulai risih dengan mulut tetangga yang luar biasa brengsek.

“Entah mana yang kurang ajarnya tak terduga, kau atau mereka?” balas perempuan itu sekenanya. Ia menyapu lipstik merah yang hampir habis ke bibir yang tipis.

“Maksudmu apa, Rosi?” tanya Gondek. Ia segera bangkit, terdengar derit. Duduk ia di tepi ranjang dengan dada telanjang.

Rosi membalikkan badan. “Kau ini apa sebenarnya? Seorang manusia atau seonggok daging bernyawa? Kau punya kepala tapi tak ada isinya. Pikirmu aku ini siapa? Kau datang sekarang, nanti kau pergi sesuka hati. Bukan berhari-hari, berbulan-bulan malahan kan sebelum ini?” nada bicara perempuan bernama Rosi jadi lebih tinggi.

Baca juga  Ular

“Aku kerja!” Gondek mulai emosi.

“Kau pulang tanpa uang. Tasmu saja tak ada barang. Itu ‘kerja’ katamu?”

Gondek menekan marahnya, meski merasa tiba-tiba tak punya harga diri.

“Sudah berapa istri lainmu di luar sana?”

“Rosi!” ia membentak akhirnya.

Rosi mengambil tas kecilnya dan keluar meninggalkan Gondek tanpa mengeluarkan kata-kata untuk berpamitan. Ia turun dari lantai dua bangunan liar itu. Muncul ia di samping rumah, di gang gelap kecil dengan tanahnya yang selalu basah sebab air comberan yang tumpah.

Langkahnya mengarah ke tiang lampu tempat lelaki tadi menunggu. Gondek memperhatikan Rosi dari balkon tadi. Sang istri pergi, beriringan, lalu bergandengan. Ia mengepal kesal.

Menjelang tengah malam di jalan Sudirman, kunang-kunang kota adalah jelmaan lampu-lampu yang bertebaran, terlihat dari jendela hotel lantai lima. Rosi dan lelaki tadi ada di sana.

“Gi, aku harus pulang,” kata Rosi sembari barang-barangnya ia kemasi.

“Penantianku dua jam hanya terbalas dari pukul sepuluh hingga sebelas?” jawab Gi.

“Gondek di rumah.”

“Kapan ia pulang?”

“Sepekan lalu atau dua. Aku lupa.”

Rosi melihat kecewa di wajah tampannya.

“Aku kira kita bisa bersama lebih lama lagi. Besok aku akan pergi ke Kediri.”

“Kapan akan pulang lagi?”

“Tidak tahu.”

“Kenapa mendadak? Kau seperti orang tersedak.”

“Tidak mendadak.”

“Lalu?”

Ergi, begitu nama si lelaki. Nama yang kemudian berulangkali dipanggil Rosi sebab tak juga memberi jawab.

Setelah berhasil menemukan kata yang tepat dan Rosi sudah duduk di sampingnya dengan rapat, ia akhirnya bicara, “Malam ini aku punya seorang bayi.”

Rosi menarik diri, beringsut dari duduknya tadi dan tiba-tiba meremas jemarinya sendiri. “Bayi?” katanya dalam hati.

“Siapa?” begitu pertanyaan yang mampu ia utarakan.

“Istriku tentu saja,” jawab Ergi seolah itu adalah pertanyaan sederhana.

“Bukan dia. Aku,” lanjut Rosi meluruskan pertanyaan pendeknya yang nyatanya kusut.

Rosi berjalan ke jendela, menjenguk kunang-kunang dan jaring laba-laba yang bertebaran di bawah sana. Kaca mendadak basah diterpa gerimis. Ia merasa dunia tiba-tiba sadis.

“Sebab kau beristri makanya kau tak mau menikahiku meski siri?” tak menoleh ia meski sesudut mata.

“Bukan. Sebab kau bersuami.”

“Gondek bukan suamiku!”

“Astaga, Rosi. Kau jangan gila! Semua ini kita lakukan bukankah dengan kesadaran diri?”

“Bagiku—tidak.”

Raut wajah manis Rosi dan senyumnya yang indah sekali, jadi aliran air mata.

Selama ini kepada Ergi seluruh rasa ia beri. Harapan memenuhi sampan yang dikayuhnya ke tepian, setelah berkemas dari pulau yang hampir pecah. Berdoa setiap hari agar Gondek tidak kembali. Tapi si brengsek itu tak tahu malu. Ia pulang dan tak pernah berhasil ditendang. Sementara kini Ergi rupanya telah beristri dan besok akan menggendong seorang bayi.

Baca juga  Kisah Sang Pengutang

“Pulanglah padanya, Rosi,” bujuk Ergi.

“Dengan Gondek, aku tak punya perasaan apapun lagi.”

“Mengapa pada Gondek kau begitu benci?”

“Aku tak ingin punya anak seperti babi!”

Ergi beranjak dari tempat tidur dan menyusul Rosi yang pandangannya sudah semakin kabur.

“Jikapun memang kita menikah, keputusan itu tetap salah,” katanya. “Kau punya suami yang ianya belum lagi menceraikan,” sekali lagi kalimat itu ia ucapkan, berusaha menjelaskan.

Rosi menghapus air mata dari dua kelopaknya. Ia lanjutkan berkemas meski lemas. Ia rapikan baju yang kancingnya masih terbuka itu. “Tidak apa, Ergi. Aku bisa pergi.”

Dibukanya pintu kamar dan pergi keluar. Jantungnya kuat sekali berdebar dan kepalanya terasa berputar. Ergi? Ia tidak mengejar.

Perjalanan pulang sendirian begitu menyakitkan. Aspal yang terbentang di jalan terasa penuh paku dan beling yang bertebaran. Darah lukanya berceceran, air dari kelopak mata yang tadi helum juga berhenti bercucuran.

Satu belokan memasuki gang di depan, Rosi akan sampai di rumah liar tempat tadi Gondek ia tinggalkan. Si hidung babi yang paling-paling bermalas-malasan di tempat tidur dan kondisi rumah sudah terang hancur. Dia masih seperti biasa; meski risih, Rosi akan ikut tidur di sampingnya. Terpaksa. Apalagi kali ini letih dan sakit hati yang terasa amat luar biasa.

Sebentar lagi, ia akan belok ke kiri, melewati lampu jalan tempat Ergi menunggunya tadi.

Mestinya ujung gang itu bising sebab sampai lewat tengah malam selalu ada manusia bising. Nyanyian pemuda-pemuda terdengar nyaring, ditemani gitar dan beberapa botol kaca yang tak bening. Ceracau mereka tak karuan, lagu mereka berantakan. Tapi kali ini tidak ada suara demikian. Perasaan Rosi tiba-tiba berganti. Rumah liar dipenuhi orang, banyak sekali.

Orang-orang itu mulai berbisik, bicara, dan bergosip tentu saja mereka tak lupa. Bukan perkara anak bak jelmaan apa kali ini, tapi siapa lagi yang akan memberinya anak meski seperti ikan, katak, atau babi. Rosi berusaha menutup telinga, tapi percuma.

Ia yang ramping menyelipkan badannya, berusaha menerobos di antara kerumunan yang berkumpul sampai ke kamar yang lampunya tak menyala.

Kedua matanya yang bengkak menyaksikan Gondek tergeletak. Tempat tidurnya basah dan amis sebab tergenang darah. Di samping tempat tidur, tergeletak pisau dapur. Pangkal lengan bagian dalam Gondek sobek.

Rosi berteriak histeris, ia meronta sampai suara dan tenaganya habis. Bagaimanapun pada Gondek ia begitu benci, laki-laki itu tetaplah suami yang pernah menyelamatkan keluarganya di kampung dari hutang yang tak lagi terperinci. Memang Rosi tak pernah cinta, sampai bertahun-tahun lamanya mereka bersama, sampai Gondek bangkrut usahanya, sampai ia luntang-lantung ke Lampung dan segala perkara dimulai dari sana.

Baca juga  Sebotol Hujan untuk Sapardi

Rosi benar-benar merasa berdosa, ingin dengan darah Gondek ia melumuri sekujur tubuh. Berharap dengan begitu dosanya bisa luruh. Ia benar-benar hancur kali ini. Lebih hancur dibandingkan kehilangan Ergi. Kunang-kunang kota pindah ke mata dan seketika membuatnya buta. Tubuhnya lemas sekali terasa, lalu jatuh begitu saja. Cepat ia disambut orang-orang yang berdiri di sampingnya.

Waktu berlalu lambat-lambat. Kejadian itu membuat akalnya tak sehat. Rosi tidak pindah sebab tinggal di rumah liar ia begitu betah. Meski tentu saja tetangga makin menggosipinya. Saat ia keluar untuk berdiri di balkon rumah kayunya, anak-anak kecil akan meneriakinya ‘orang gila’.

Pemilik senyuman bulan yang cantik lupa bagaimana cara menyisir rambutnya, memoles bibir dengan warna merah merona, juga mengganti pakaian yang sudah sobek di bagian lengan atau dada.

Pemilik rumah liar sudah lama menyuruhnya pergi. Awalnya mereka membiarkan saja sampai dukanya tak dalam lagi. Tapi ia membawa pisau dapur ke mana pergi. Tidak jauh, hanya ke balkon ujung di sebelah kanan, atau ke samping rumah yang tanahnya basah dengan air comberan. Tak satu pun orang berani mendekati.

Malam itu, ketika pemuda-pemuda kembali dengan kegiatan mereka yang biasa; bernyanyi dengan keras di pos jaga dan mabuk-mabukan dengan anggur Orang Tua. Rosi duduk di balkon. Mata cantik yang sudah sayu melihat ke sebuah tiang lampu. Seseorang berdiri di situ. Menunduk beku. Seperti menunggu orang atau sesuatu. Rosi berusaha melihat lebih jelas. Ia dapati seseorang dengan wajah pias, ia pun menyapa dengan suara keras, “Gondek, kenapa pulang tidak mengabari? Aku di sini!” ia melambaikan tangan tinggi.

Suara gitar berhenti, nyanyian pemuda berhenti, bulu tengkuk mereka berdiri. Tiang lampu tidak jauh dari tempat mereka bernyanyi gaduh. ***

.

.

Maya Sandita, sutradara, aktor, dan penulis. Berdomisili di Batam. Cerpen terbarunya “Felicia” dan “Penabur Bunga” (Republika, 2019). IG @sanditaisme.

I Made Wiradana, lahir di Denpasar, Bali, 27 Oktober 1968. Mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Aktif menggelar pameran tunggal dari 1999 hingga 2018, juga berpartisipasi dalam pameran bersama di dalam dan di luar negeri. Menerima sejumlah penghargaan, antara lain Gold Medal Award Asian Art Biennale Hong Kong.

.

Lelaki di Bawah Lampu Jalan. Lelaki di Bawah Lampu Jalan. Lelaki di Bawah Lampu Jalan.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!