Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 01 Maret 2020)
MALAM berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tanpa rembulan.
Ia merunduk di balik semak, antara bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring- iringan manusia berjalan berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang berdinding curam yang menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan membuat mereka harus berbicara cukup keras.
”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?”
”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa yang menggigil kedinginan.”
”Berarti mangsanya itu kamu!”
”Huss!”
”Ha-ha-ha-ha!”
”Ha-ha-ha-ha!”
”Ha-ha-ha-ha!”
Baginya ini hanya suara-suara karena ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, ia memang bisa memangsa salah seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan setapak ini, yang membuat mereka harus berhenti sejenak ketika satu per satu melewatinya. Setelah melangkahi akar-akar yang besar, setiap orang akan menghilang di baliknya. Akar- akar pohon sebesar itu memang tidak bisa dilangkahi, akar-akar itu harus dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas menghilang di baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi.
Itulah saat terbaik untuk menerkam manusia yang paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit lehernya sampai lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membunuh ia cukup muncul dan menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia yang terkejut dan melangkah mundur akan terperosok dan melayang jatuh ke dasar jurang tanpa jeritan.
Ini juga tidak dilakukannya. Ia hanya merunduk dan mengintai. Ia tidak berminat membunuh manusia, bahkan tidak satu makhluk pun, selain yang dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat ini ia tidak kelaparan karena sudah memangsa seekor kancil tadi siang. Kancil bodoh itu seperti lupa bau kencing pasangannya, bapak anaknya, yang pada setiap sudut menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka untuk memangsa makhluk apa pun yang memasuki wilayahnya. Dengan hukum itulah, nasib sang kancil sudah ditentukan.
Sebetulnya sudah lama bagaikan tiada makhluk apa pun akan memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi rusa, tidak kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa ke luar wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan.
”Kambing kita lama-lama bisa habis dimakan Simbah,” kata salah seorang.
Namun bukanlah ketakutan atas habisnya kambing, yang membuat orang-orang kampung masuk hutan mencarinya.
Pada suatu hari pasangannya muncul dari dalam hutan di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas tikar, sesuatu di balik kain yang bergerak-gerak. Bagi makhluk besar yang lapar, makhluk kecil bisa terlihat sebagai santapan.
Lantas terlihat olehnya bayi manusia itu. Menatapnya sambil tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia yang bisa tertawa di dunia ini, dan itu membuatnya tertegun.
Saat itulah dari tengah ladang mendadak terdengar suara bernada tinggi yang disebut manusia sebagai jeritan.
Malam tanpa rembulan semakin kelam. Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan orang-orang itu menjauh. Mereka semua, dua belas orang bercaping maupun berpayung daun pisang membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak akan menghasilkan tangkapan apa pun karena tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu.
Ia tahu bukan orang-orang itu yang menjadi penyebab kematian pasangannya, melainkan pemburu yang masuk sendirian ke dalam hutan tanpa suara meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan, parang dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di pinggang kiri.
Pemburu itu bahkan tidak bergumam. Membaca jejak di tanah, berjalan melawan arah angin, makan seperlunya dan tidak memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak- gerak barangkali mendesiskan rapalan.
Tentu pemburu itu telah melacak jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana, muncul di depan gua batu tempat ia sedang menyusui anaknya. Ia segera menggeram dan berdiri melindungi anak jantannya. Pasangannya bahkan melompat dan menerjang ke arah pemburu itu, tetapi makhluk yang disebut manusia ternyata tidak hanya bisa tertawa, tetapi pandai memainkan tipu daya.
Sangatlah mudah bagi pasangannya untuk menyusul pemburu itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan siap menerkamnya di tengah lapangan, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menggeram-geram ketika ternyata muncul puluhan manusia mengepung sembari mengacung-acungkan tombak bambu ke arahnya. Pasangannya mencari celah, berputar-putar dalam kepungan yang semakin merapat, sampai hampir semua tombak itu menembus kulit lorengnya.
”Akhirnya!”
Orang-orang berteriak lega atas nama keselamatan anak manusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka, meski dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil, dibantai, dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran tinggi. Kawanan bapa maling datang lewat tengah malam mengendarai mobil boks. Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pernah digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah yang di kampung itu jaraknya saling berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berserakan dengan bau anyir darah di mana-mana.
Kambing yang diterkam penghuni rimba jumlahnya tidak seberapa dibanding pencurian ternak dengan mobil boks. Itu pun bisa terjadi karena kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang terbuka, sering diikat begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran empuk makhluk pemangsa dari masa ke masa.
Bahwa bayi manusia seperti akan menjadi mangsa itulah yang mengubah segalanya.
”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!”
”Selesai sudah!”
”Belum …”
Pemburu itu tidak berteriak, tetapi pengaruhnya lebih besar dari segala teriakan.
”Belum? Kita baru saja merajamnya begitu rupa sampai kulitnya tidak bisa kita jual.”
”Masih ada betinanya….”
Semuanya ternganga.
”…dan masih ada anaknya.”
Saat pasangannya itu tewas oleh puluhan bambu tajam, ia yang ternyata mengikuti dari belakang dapat menyaksikan dari kejauhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia melihat ke arahnya. Tanpa bisa memberi bantuan, ia hanya berjalan mondar-mandir dengan gelisah.
Ia masih berada di sana ketika menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan.
”Kita harus membunuh juga betinanya, ia pasti juga akan mencari mangsa di kampung kita!”
”Anaknya juga harus kita bunuh, kalau tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!”
Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat merasakan ancaman.
Kini dalam kelam berhujan, ia mengawasi orang-orang yang memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu. Ia telah memindahkan anaknya ke goa lain yang sama hangatnya pada malam hari, dan karena itu ia tidak perlu khawatir mereka akan menemukannya. Pemburu itu mungkin akan bisa, tetapi tidak malam ini, karena belum tahu bahwa goa yang ditemukannya sudah kosong.
”Betinanya baru saja beranak, dan anaknya masih terhuyung-huyung kalau berjalan….”
Pemburu itu memberi petunjuk ke mana orang-orang kampung bisa menyergap makhluk pemangsa yang terandaikan bisa membalas dendam.
”Anakku sakit panas,” katanya memberi alasan. Dalam hatinya ia sudah bosan bekerja tanpa bayaran.
Demikianlah rombongan orang-orang bertombak yang bercaping ataupun berpayung daun pisang muncul di ujung jalan setapak di tepi jurang ketika ia berada dalam perjalanan memburu pemburu.
Ia merunduk di balik semak, membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan arahnya. Ia tidak membunuh seorang pun.
Setibanya di kampung yang gelap dan sunyi di malam berhujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa suara, terendus olehnya aroma pemburu yang tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil. Sebuah rumah yang sengaja berjarak dan menjauhkan diri karena penghuninya yang selalu berikat kepala kusam merasa berbeda dari para petani bercaping.
”Orang-orang dungu,” pikirnya selalu.
Terdengar tangis bayi yang tak kunjung berhenti.
”Panasnya belum juga turun, coba ambilkan air yang lebih dingin dari sumur, handuk ini seperti baru tercelup air rebusan,” ujar perempuan yang sedang menjaram anaknya itu.
Jawabannya adalah desahan malas, disusul derik balai-balai bambu.
Kemudian pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalam membersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala dengan bau tubuh yang tengik berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom.
Hujan belum berhenti ketika ia meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke atas secepat-cepatnya.
Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya.
Namun, kali ini sudah terlambat. ***
.
.
Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Kini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Seno lebih dikenal setelah menulis trilogi karyanya tentang Timor Timur, yakni Saksi Mata (1994, kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (1996, novel), serta Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997, kumpulan esai).
Ledek Sukadi, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 19 Oktober 1969. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Ledek antara lain menerima penghargaan dari Pemerintah Kyoto, Jepang (1992), dan memenangi gelar lukis akbar di Candi Borobudur (1994).
.
Macan. Macan. Macan. Macan. Macan. Macan. Macan.
Leave a Reply