Nengah Longod duduk di sisi balai-balai lumbung dengan kedua kaki berjuntai. Di sebelah kanannya ada dua gelas kopi hitam yang masih menguarkan uap. Belum lama gelas itu ditaruh Wayan Lipur, istrinya, yang buru-buru ke belakang rumah memberi makan babi-babi peliharaannya.
Sekitar pukul sembilan pagi waktu itu. Cahaya lembut matahari menembus celah-celah rimbun pepohonan di sekitar rumah, menciptakan pemandangan seindah lukisan. Suara aneka burung peliharaan terdengar bersahut-sahutan dari rumah tetangga. Sambil menunggu kopinya nyaman diminum, ia mengambil pisau yang tergeletak di samping kirinya lalu menyepih bilah-bilah bambu menjadi bagian-bagian kecil nan pipih, menyerupai tali rafia, untuk bahan kukusan.
“Minum dulu kopinya, biar tidak dingin,” Wayan Lipur duduk di samping suaminya setelah selesai dengan urusan memberi makan ternaknya.
Nengah Longod menggeser duduknya lalu meraih gelas kopinya, dan setelah menyeruput isinya pelan-pelan ia mulai menganyam kukusan. Hanya itu kegiatan yang bisa ditekuni sejak ia mengidap rematik, penyakit yang menyebabkan ia tidak bisa lagi bekerja di sawah. Persendian kedua lututnya selalu terasa ngilu jika sering digerakkan. Bila tidak ada gangguan, tak kurang dari sepuluh kukusan berhasil ia rampungkan dalam sehari. Kukusan yang dihasilkan dititipkan di warung Men Sukra, warung yang paling banyak pelanggannya.
Kegiatan menganyam alat menanak nasi itu mendatangkan uang yang lumayan. Ditambah penghasilan istrinya dari memelihara babi di belakang rumah, cukuplah untuk menjaga dapur mereka tetap berasap. Uang yang dulu sering dikirim Made Segara, anak bungsu mereka yang bekerja di kapal pesiar, selain disisihkan untuk tabungan juga digunakan untuk memperbaiki rumah sehingga mereka pun bisa punya rumah yang tak kalah bagusnya dengan rumah para tetangga yang hidup sebagai pegawai.
Mereka tidak lagi tergolong keluarga miskin, tetapi peristiwa yang terjadi baru-baru ini telah membuat mereka merasa kehilangan segalanya. Semua itu akan terus tersimpan di benak mereka sebagai kenangan pahit sepanjang sisa hidup. Kenangan akan kelakuan Made Segara yang bertolak belakang dengan harapan mereka.
Wayan Lipur sudah begitu sering menasihati agar ia kelak kawin dengan perempuan yang siap menjalani hidup sebagai orang desa dengan segala aturan adatnya. “Jangan sekali-kali kawin dengan perempuan luar,” begitu ia pernah berpesan.
Saat pertama kali pulang dari luar negeri, Made Segara malah datang bersama seorang perempuan kulit putih berambut pirang. Ibunya tak urung terguncang.
“Siapa turis itu, De?” begitu Wayan Lipur bertanya setelah Made Segara kembali dari mengantar perempuan itu ke hotel tempatnya menginap di Kuta.
“Namanya Sofi,” sahut Made Segara.
“Teman kerja?”
Made Segara menggeleng. “Kenalan. Ia ingin tahu Bali. Bahkan tertarik tinggal di Bali.”
Wayan Lipur diam. Ia mulai khawatir jangan-jangan perempuan itu pacar Made Segara. Bisa saja kelak aku seperti Men Sentang yang punya menantu dari Perancis, pikirnya. Boro-boro bisa mengajaknya berbaur dengan orang-orang desa, menyentuh cucu sendiri saja belum tentu diizinkan. Bakal dianggap kotor karena setiap hari mengurus babi.
Sejak saat itu Wayan Lipur kerap dibayang-bayangi perasaan khawatir. Air mukanya hampir tak pernah jernih, dan ia jadi orang yang gampang marah. Apa saja yang tidak berkenan di hatinya pasti akan jadi bahan gerutuan. Nengah Longod tahu istrinya tertekan, namun kalau setiap hari mendengar omelan pusing juga ia dibuatnya.
“Yan,” ia memberi isyarat suatu hari pada istrinya agar duduk di dekatnya. Wayan Lipur manut. “Mengenai anak kita, Made, tak usah diributkan. Jika ia sampai ngambek, kita juga yang akan susah.”
“Kalau dibiarkan sesukanya, nanti malah nglunjak,” sahut Wayan Lipur ketus. “Dikiranya kita setuju dengan tingkahnya.”
“Biarkan dulu begitu, nanti pasti berubah pada waktunya.”
“Saya tidak setuju.”
Nengah Longod menarik napas panjang, “Kalau begitu ajak ia bicara baik-baik. Jangan ribut.”
“Bli kan tahu, bagaimana sikapnya ketika diajak bicara.”
Nengah Longod merasa tak ada gunanya melanjutkan pembicaraan. Istrinya memang keras kepala, tidak gampang menerima saran. Namun, ia tidak menyalahkan istrinya. Ulah Made Segara memang kelewatan. Lain sekali dengan tingkah lakunya ketika belum bekerja.
Dulu, ketika baru tamat sekolah, ia jarang bicara dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Ia tidak habis pikir bagaimana Made Segara bisa menjadi begitu urakan. Ada juga beberapa anak muda dari desanya bekerja di kapal pesiar, tetapi tidak satu pun menunjukkan kelakuan seperti anaknya.
Saban pulang ia datang menggandeng teman perempuan berbeda dan selalu dibilangnya kenalan. Nengah Longod kehabisan akal. Memarahi anak bukanlah kebiasaannya. Ia sudah enggan bicara dan Made Segara juga tidak peduli. Wayan Lipur semakin berang. Jika tidak dapat mengeluarkan uneg-uneg ia pasti sakit kepala.
“De, kamu itu bagaimana sih?” begitu Wayan Lipur bertanya tatkala Made Segara berkemas sebelum berangkat lagi. “Kamu sama sekali tidak punya perasaan. Tahu tidak, betapa jengah hati kami mendengar omongan orang. Tidak baik jika kamu terus-terusan datang dengan perempuan seperti itu.”
“Terus maunya yang seperti apa?”
“Kan sudah kubilang, jangan sampai dapat perempuan yang tidak siap hidup di desa.”
Setelah lewat enam bulan, Made Segara pulang lagi menggandeng seorang perempuan. Kali ini seorang gadis bermata sipit dengan potongan rambut pendek seperti laki-laki. Wayan Lipur buru-buru masuk ke dapur dan membanting pintu. Ia tidak kuasa lagi menahan tangis melihat anaknya yang semakin tidak peduli. “Aku tak akan bicara apa-apa lagi,” gumamnya pedih.
Selama Made Segara di rumah menghabiskan masa liburnya, kedua orangtuanya seakan sepakat untuk melakukan aksi tutup mulut. Mereka sudah pasrah. Made Segara yang mondar-mandir dengan teman perempuannya tidak mereka hiraukan. Tidak ada lagi tegur sapa. Mereka biarkan saja seperti apa maunya. Sampai suatu hari Ketut Lenju, tetangga mereka, bertandang dan bertanya apakah benar Made Segara pacaran dengan cewek kafe remang-remang.
“Apa? Cewek kafe? Ketut tahu dari mana?” Nengah Longod balik bertanya, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Putu, anak saya yang kerja di hotel, sering melihat mereka.”
Nengah Longod geleng-geleng kepala. “Susah, Tut, punya anak tak bisa dinasihati. Ibunya dibuat uring-uringan terus.”
Ketut Lenju menatap Nengah Longod dengan perasaan iba. “Sabar ya, Bli. Barangkali orangtua seperti kita dianggap sudah ketinggalan jaman,” ucapnya.
Nengah Longod tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa telah melakukan yang terbaik untuk anaknya, tetapi toh harus menghadapi kenyataan pahit seperti itu.
Sepeninggal Ketut Lenju, Nengah Longod termangu di tempat duduknya. Ia berhenti menganyam walau kukusan yang sedang ia kerjakan baru setengah jadi. Ia sama sekali tidak menyangka kalau anaknya sampai berhubungan dengan perempuan yang dianggap tidak benar, tetapi ia tidak akan menyampaikan berita buruk itu kepada istrinya. Kalau istrinya sampai tahu, jelas ia akan tambah stres. Namun, Wayan Lipur malah sudah mendengar berita lebih buruk yang membuatnya pingsan, dan tak urung bikin kalang kabut teman-teman yang diajaknya ngaturang ayah di pura. Ada informasi, Made Segara mengalami kecelakaan lalu lintas, motornya menabrak truk. Ia sudah dibawa ke rumah sakit, namun tubuhnya sudah kehilangan nyawa sebelum sempat mendapatkan pelayanan medis.
Wayan Lipur bukan tidak tahu bahwa suka, duka, sakit dan mati adalah bagian dari kehidupan. Ia hanya tidak siap mengalami kehilangan yang begitu mendadak. Tidak putus-putusnya ia menangis setelah jasad Made Segara disemayamkan di Bale Sakenem. Ia pingsan lagi ketika mayat anaknya dimandikan, sampai ia tidak bisa mengikuti upacara perabuan di kuburan desa.
Nengah Longod terus menggerakkan tangannya menganyam kukusan walau perasaan kehilangan masih menyesaki dadanya. Sementara itu Wayan Lipur duduk bergeming dengan pandangan kosong, isi gelas kopinya belum berkurang sedikit pun. Pipinya yang mulai basah buru-buru diusapnya dengan telapak tangan karena tiba-tiba ada tamu datang, dua orang perempuan yang kemudian bergabung dengan mereka di balai-balai lumbung setelah sebelumnya saling bertukar salam.
“Benar ini rumah Made Segara?” begitu pertanyaan salah seorang dari mereka, perempuan paruh baya yang mengenakan seragam endek seperti guru. Perempuan satunya lagi masih muda. Tubuhnya terbalut pakaian longgar, wajahnya manis, penampilannya sederhana seperti gadis-gadis di desa mereka. Pemilik kulit kuning langsat dan rambut mencucuk bahu itu tingginya sedang-sedang saja.
“Ya, benar,” sahut Nengah Longod yang telah berhenti menganyam.
“Saya Made Miati dan ini Wayan Serinten. Kami berdua dari panti asuhan, datang ke sini hanya ingin memastikan ….”
“Memastikan apa?” tanya Wayan Lipur ketika tamunya tiba-tiba berhenti bicara.
“Dia ini sudah seperti anak saya sendiri. Dia tidak punya siapa-siapa. Dia besar di panti asuhan. Biar Ibu dan Bapak tahu, dia dan Made Segara sudah sejak dulu pacaran. Karena sudah lama tidak ketemu, dia ingin tahu keadaan Made Segara.”
Nengah Longod dan istrinya saling pandang.
“Maaf, Made Segara sudah meninggal,” ucap Wayan Lipur.
“Oh, kapan…?”
Pembicaraan terputus. Wayan Serinten mendadak semaput. Made Miati cepat memeluknya dan lantas membaringkannya di balai-balai lumbung. Sementara ia panik menepuk-nepuk pipi Wayan Serinten, Nengah Longod dan istrinya kembali saling pandang setelah melihat perut Wayan Serinten yang menonjol bulat. ***
Catatan:
– Bli = kakak (laki-laki).
– Ngaturang ayah = kerja bakti.
– Bale sakenem = rumah adat Bali bertiang enam.
Ketut Sugiartha lahir di Tabanan, Bali, 9 November 1956. Menerima Penghargaan Sastra Gerip Maurip 2017 dari Pustaka Ekspresi untuk naskah buku Surat uli Amsterdam, kumpulan cerpen berbahasa Bali. Sudah menerbitkan tiga kumpulan cerpen dan lima novel. Kumpulan cerpen terbarunya yang akan segera terbit berjudul Menggugat Dewa Kematian.
Yuswantoro Adi, perupa tinggal di Yogyakarta, lahir 11 November 1966. Selain melukis juga mengajar dan memberi pelatihan seni rupa, terutama untuk anak-anak. Meraih penghargaan Grand Prize Winner Philip Morris Asean Art Award 1997 di Manila, Filipina.
Leave a Reply