Cerpen Triyanto Triwikromo (Kompas, 26 April 2020)
APAKAH Kafka, yang kau kenal sebagai pencerita kisah-kisah muram, pernah melawan Hitler? Apakah pria kelahiran Praha yang adik-adik perempuannya mati sebagai tahanan Nazi di Auschwitz, Polandia, justru menjadi sekutu Sang Führer? Aku tak sepenuhya tahu. Namun, aku kira catatan Bettina Charlotte1 perihal perjuangan Kafka yang tak akan Anda dapatkan dalam buku Kafka—Die Jahre der Erkenntnis dan Kafka—Die frühen Jahre karya Reiner Stach berikut ini mungkin bisa menjawab pertanyaan itu.
Pada suatu masa selain menulis cerita, setelah berhenti sebagai pegawai asuransi, di Echause Miquelstraße, Kafka setiap malam hampir selalu berhadapan dengan kematian orang-orang Yahudi akibat serbuan Histeinalbtraum. Histeinalbtraum adalah persilangan antara tikus-tikus ganas dan burung gagak. Berkepala tikus, Histeinalbtraum memiliki taring-taring yang tajam.
Sebagaimana tikus, hewan ini bisa berjingkat-jingkat di lorong-lorong gelap, tetapi pada saat lain menyerupai gagak, ia bisa terbang dan hinggap dari satu pohon ke pohon lain. Binatang-binatang ini nyaris tidak bisa dibunuh. Mereka hanya bisa mati setelah seseorang memenggal leher, memotong kedua kaki, menancapkan pucuk gunting di lambung, dan membakarnya. Histeinalbtraum tak mati jika siapa pun membunuh satwa mengerikan ini tak sesuai urutan. Binatang ini tak bisa mati jika langsung dibakar.
Histeinalbtraum adalah nama yang diberikan oleh Rabi Moses, salah satu petinggi sinagoge di Berlin, kepada binatang serba hitam menjijikkan itu. Rabi Moses yakin binatang-binatang ini punya hubungan dengan Adolf Hitler.
Pada 8 November 1923 pukul 19.30, ketika para Histeinalbtraum terbang di kegelapan langit Berlin, di Munich Beer Hall, Hitler bilang, “Revolusi nasional telah dimulai!” Pada saat itu pula Hitler menyatakan telah meruntuhkan Pemerintahan Bavaria dan menyingkirkan Reich. Polisi dan tentara juga sudah dikuasai.
Histeinalbtraum punya kemampuan mengendus yang luar biasa. Binatang-binatang itu, menurut Rabi Moses, bisa membedakan mana orang Yahudi, keturunan Yahudi, dan orang Jerman asli. Satwa-satwa ini tak pernah menyerang orang-orang Jerman. Mereka hanya membunuh orang-orang Yahudi dengan cara menancapkan taring di mata dan leher.
Pada 1923 orang-orang Yahudi yang tinggal di Berlin, sebagaimana tertulis di Kisah Pemusnahan Orang-orang Yahudi karya Eva Ebner, memang gampang mati. Sebelum pagi datang, orang-orang bisa dengan mudah menemukan mayat-mayat orang Yahudi di taman-taman atau hutan kota. Kadang-kadang mayat-mayat orang itu tergeletak di depan pintu apartemen. Semua memiliki luka yang sama, yakni leher seperti digigit tikus dan mata dipatuk gagak. Sebelum orang-orang itu mati, biasanya mereka susah menarik napas, bersuara parau, kejang-kejang, demam, bersuhu badan tinggi, dan muntah-muntah tak keruan. Mungkin sebagian orang menyebut ini sebagai sampar. Sebagian yang lain menganggap ini senjata Hitler untuk memusnahkan orang-orang Yahudi. Ada juga yang bilang ini sebagai binatang-binatang kiriman dari neraka. Neraka yang berimpit dengan Berlin.
“Jangan pernah menganggap mereka sebagai binatang-binatang yang dikirim dari neraka,” kata Rabi Moses kepada 12 orang keturunan Yahudi di Berlin. “Aku yakin Histeinalbtraum adalah binatang-binatang yang sengaja diciptakan oleh para pembenci Yahudi. Mereka sengaja diciptakan untuk memusnahkan kita. Kita harus melawan mereka.”
Kafka, salah satu dari keturunan Yahudi yang berada di sinagoge itu, manggut-manggut.
“Sebagaimana kami semua, apakah kau pernah melihat para Histeinalbtraum membunuh orang-orang di sekitarmu, Kafka?” tanya Rabi Moses.
Kafka mengangguk. Hanya, Kafka tak yakin apakah Histeinalbtraum membunuh orang-orang Yahudi saja. Sepanjang yang Kafka ketahui binatang mengerikan itu juga membunuh orang-orang Jerman.
Minggu lalu ketika berjalan ke arah stasiun, Kafka melihat Charlotte, perempuan Jerman yang bekerja di sebuah toko roti, dihajar oleh paling tidak 10 Histeinalbtraum. Sebagaimana korban Histeinalbtraum yang lain, Charlotte langsung susah menarik napas, bersuara parau, kejang-kejang, demam, bersuhu badan tinggi, dan muntah-muntah tak keruan. Hal serupa juga dialami Cherrylistha, Idonna, Inga, Claudia, dan Sabine, para perempuan yang kerap bercakap-cakap dengan Kafka, saat mereka membeli susu. Malah semalam di jalan sepi menuju sinagoge, Kafka melihat para laki-laki Jerman (dua di antaranya tetangga Kafka bernama Kaspar dan Karl) juga diserbu oleh ratusan Histeinalbtraum. Mereka tak berkutik. Mereka tumbang begitu saja.
Akan tetapi, berbeda dari yang dilihat oleh Rabi Moses dan 11 orang keturunan Yahudi di Berlin, tak semua orang yang dihajar oleh para Histeinalbtraum mengembuskan napas terakhir. Mereka memang susah menarik napas, bersuara parau, kejang-kejang, demam, bersuhu badan tinggi, dan muntah-muntah tak keruan. Akan tetapi, itu hanya sebentar. Mereka merasakan sakit yang luar biasa, tumbang, tetapi kemudian bangun lagi. Hanya sesaat mereka pun tumbang lagi. Begitu seterusnya.
Ini mengingatkan Kafka pada kisah legenda Prometheus. Dalam legenda itu Prometheus dirantai di sebongkah karang di Kaukasus karena membocorkan rahasia para dewa kepada manusia. Karena jengkel, para dewa mengutus elang untuk memakan perutnya. Setelah itu perut itu dipulihkan lagi, tetapi tak lama kemudian dipatuk oleh elang lagi. Begitu seterusnya hingga Prometheus merasakan kesakitan tak kunjung henti justru karena ia tak segera mati.
Karena melihat beberapa korban para Histeinalbtraum yang tidak mati-mati tetapi sangat menderita, Kafka ingin sekali menulis legenda baru tentang Prometheus. Selain mencantumkan legenda pertama sebagai pancatan, Kafka ingin menyatakan Prometheus, yang sangat menderita akibat catukan paruh elang, menekan dirinya sendiri kian dalam ke karang hingga ia menyatu dengan karang itu. Kafka juga ingin mengatakan pengkhianatan Prometheus tak diingat lagi setelah berabad-abad kemudian, diabaikan oleh para dewa, elang, dan dirinya sendiri. Terakhir Kafka ingin mencatat: tiap orang mulai capai berurusan dengan kisah konyol ini. Dewa-dewa letih, elang letih, dan lukanya pun menghilang karena letih sebagai luka.
Sebenarnya dengan menganggap Prometheus dilupakan, Kafka berharap orang-orang tidak membangun monumen ingatan tentang Histeinalbtraum lagi. Kesakitan dan kematian harus dilupakan agar mereka tidak meneror lagi.
Akan tetapi, Histeinalbtraum tetap saja membuat takut siapa pun. Meskipun pada suatu hari Kafka memberi tahu Rabi Moses betapa binatang-binatang bertaring itu tak tebang pilih saat menghajar para korban, tetap saja Rabi Moses menganggap Histeinalbtraum hanya membunuh orang Yahudi dan keturunan Yahudi.
“Aku yakin ini senjata Adolf Hitler untuk memusnahkan orang-orang Yahudi dan keturunan Yahudi. Karena itulah, kita tidak boleh tinggal diam. Kali ini kawan-kawan kita yang mati, kali lain kita yang akan mati,” kata Rabi Moses. “Kita harus melawan serangan binatang-binatang Hitler ini dengan cara apa pun.”
Kafka yang tak setuju pada ucapan Rabi Moses terdiam. Kafka tidak sepenuhnya yakin Hitlerlah yang mengirim binatang-binatang keji ini untuk membunuh segala makhluk di Berlin.
“Sekejam-kejam Hitler tidak akan membunuh orang-orang yang sangat disayangi dan diperjuangkan. Bukan tidak mungkin ada orang-orang yang lebih berkuasa dari Hitler sedang ingin mencemarkan nama baik Hitler. Semua serbamungkin terjadi bukan?” batin Kafka.
“Jangan biarkan kawan- kawan kita berkeliaran di jalanan. Histeinalbtraum hanya menyerang orang-orang yang tak terlindung apa-apa di jalan,” Rabi Moses mulai memberikan perintah.
Kafka membatin, “Aku juga harus minta orang-orang Jerman untuk menyingkir dari jalanan. Semua orang harus menutup pintu atau jendela apartemen karena Histeinalbtraum bisa menyusup ke aneka lubang dengan sangat cepat.”
“Aku akan minta bantuan teman-teman kita yang telah menyusup ke pasukan-pasukan Hitler untuk memerangi Histeinalbtraum dengan tank-tank terbaru. Akan aku ajari mereka membunuh makhluk-makhluk gila ini. Aku akan minta mereka menghajar Histeinalbtraum dengan tembakan-tembakan beruntun, lalu memenggal leher, memotong kedua kaki, menancapkan pucuk gunting di lambung, dan membakarnya,” kata Rabi Moses. “Pendek kata perlu serbuan militer untuk membunuh Histeinalbtraum.”
Kafka yang antimiliter untuk hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh orang sipil tidak mendebat apa pun yang diucapkan oleh Rabi Moses. Kafka hanya menunduk. Kafka yakin membunuh Hitler pun bukan cara terbaik untuk menghilangkan Histeinalbtraum. Jika benar cara terbaik menghindar Histeinalbtraum hanyalah berdiam di apartemen, maka dia memilih tidak melawan seluruh binatang menjijikkan itu secara frontal di jalanan.
“Mengapa tak kita biarkan saja Histeinalbtraum menunggu kita di luar apartemen. Toh setelah bosan, mereka akan meninggalkan kita. Kita melawan dengan diam saja,” Kafka menceletuk.
“Tidak bisa. Kita butuh waktu yang sangat lama jika menunggu Histeinalbtraum jenuh dan meninggalkan kita. Kita harus mengadang mereka. Ayo, jangan banyak berdebat. Kita harus menolong orang-orang Yahudi dan keturunan Yahudi di Berlin dari kepunahan.”
Tak ada yang berani melawan ajakan Rabi Moses. Malam itu dengan bersiap-siap memenggal leher, memotong kedua kaki, menancapkan pucuk gunting di lambung, dan membakar Histeinalbtraum, mereka pun keluar dari sinagoge. Hanya, malam itu sama sekali tak ada Histeinalbtraum. Tak ada mayat-mayat yang berserakan di jalan-jalan.
“Kalian tak berani melawan kami ya!” Rabi Moses berteriak.
Kafka takut pada seruan jemawa itu.
“Ayo, serang kami!” teriak Rabi Moses.
Kafka makin takut pada seruan yang kian jemawa itu. Kafka justru melihat Rabi Moses sebagai sosok yang menakutkan.
“Kalian kira kami tak bisa memusnahkan kalian! Kalian kira kami cuma jadi satwa bantaian?” kata Rabi Moses sambil mengacung-acungkan obor dan gunting.
Kafka terdiam. Kafka tertinggal di belakang ketika Rabi Moses dan 11 orang keturunan Yahudi berobor dan mengacung-acungkan gunting berlari ke arah lorong di antara apartemen-apartemen yang tegak membisu. Kafka hanya melongo ketika dari arah berlawanan ratusan Histeinalbtraum, gagak-gagak berkepala tikus itu, menyerang Rabi Moses dan 11 orang keturunan Yahudi.
Kafka bergidik menyaksikan pemandangan tak terduga itu. Kafka tak berharap sejenak kemudian Rabi Moses dan mereka yang jemawa melawan Histeinalbtraum itu susah menarik napas, bersuara parau, kejang-kejang, demam, bersuhu badan tinggi, muntah-muntah tak keruan, dan akhirnya tumbang di tengah jalan.
Kafka yang sudah lama melupakan sinagoge, hanya bisa mendesis, “Tuhan! Tuhan! Kapan segalanya berakhir dan kembali seperti sedia kala?”
Tak ada jawaban. Namun Kafka paham: Tuhan bisa saja diam, bisa saja segera mengakhiri segalanya. Tanpa diatur oleh doa-doa. Tanpa diatur oleh manusia. ***
.
.
Triyanto Triwikromo pernah meraih penghargaan Tokoh Seni 2015 Pilihan Majalah Tempo, juga Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa. Sastrawan ini adalah penerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya 2017 dari harian Kompas. Aktif mengajar Penulisan Kreatif di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Nino Puriando, lulusan Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB tahun 1999. Tercatat aktif sebagai seniman sketsa sejak 2013. Setidaknya sudah delapan kali berpartisipasi dalam pameran, baik di dalam maupun luar negeri.
.
.
Leave a Reply