Cerpen, Kompas, Silvester Petara Hurit

Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang

Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang - Cerpen Silvester Petara Hurit

Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang ilustrasi Ni Wayan Dasti/Kompas

5
(2)

Cerpen Silvester Petara Hurit (Kompas, 19 April 2020)

JIKA waktunya tiba, tanamlah walau hujan belum turun. Ketika benih sudah diantar ke tanah, langit dan bumi kawin. Hujan turun. Padi tumbuh dan membiak di atas tanah berbatu sekalipun. Jangan khawatir, bukan hanya kamu yang hidup di atas tanah ini. Sudah beratus bahkan beribu-ribu tahun leluhurmu hidup di atas tanah yang sama, menanam padi yang sama dengan tata dan cara kerja yang juga sama. Padi itu manusia. Jika setia, ia tak mungkin meninggalkanmu.

Kata-kata itu seperti menyembul dari hatinya. Ingatan Nara akan pesan Ba Tala, sang kakek, kepada ayahnya di mezbah batu di tengah ladang terasa begitu hidup dan sempurna. Waktu itu, ia masih berumur 10 tahun.

Beras yang dibeli dari warung tak sama dengan yang ditanam di ladang sendiri. Makan dari tanah sendiri menyatu dengan tanah, udara, langit, dan air. Walau sedikit, segera kenyang dan bertahan. Nikmat dan syukur mengenyangkan hati, menenangkan pikiran.

Kata-kata tersebut bagai mantra pengikat yang walau sudah dua puluh lima tahun bersekolah dan merantau di kota yang jauh, Nara akhirnya pulang ke kampung halamannya. Sebenarnya ia tak mau pulang. Kampung terlalu jauh dan berat untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya. Kota dan lingkungan pergaulannya, akses informasi serta infrastrukturnya memberinya peluang bertumbuh yang lebih menjanjikan.

Peristiwa-peristiwa hidup seakan mendekatkan ia pada pulang. Semakin kuat upaya bertahan, semakin terasa daya paksanya. Kekuatan macam apakah yang seakan begitu kuat menariknya untuk pulang? Kadang, ia mengeluh. Capek bergulat antara kehendak pikiran dengan panggilan pulang yang entah. Adakah Ibu Tanah atau Bapa Langit atau leluhur yang tak henti-henti memanggilnya untuk pulang?

Nara selalu menghidupkan ingatan masa kecilnya. Pagi yang dibangunkan oleh kicau burung yang berumah di atas beringin. Saat musim hujan tiba, mata air musiman muncul di mana-mana. Kampungnya kerap dibilang kampung pemuja berhala. Karena tetua kampung biasa membawa persembahan berupa telur, anak ayam, kapas, kain putih, tuak yang disimpan di ruas-ruas bambu kecil, sedikit beras yang disimpan dalam anyaman lontar dan diletakkan di mezbah batu antara rerumpun beringin atau pohon besar di kampungnya.

Letak dan jenis pohon masih lekat dalam ingatannya. Nara bahkan masih ingat di dahan mana musang-musang biasa tinggal. Juga kawanan pergam sebelum diusir elang yang singgah mengintai ayam atau anak kambing. Maka ketika masuk kampung, ia memberondongi Boli, teman bermain masa kecil, yang menjemputnya dengan sekian pertanyaan.

“Di mana pohon-pohon besar dulu?”

“Sudah habis ditebang dengan gergaji mesin, ditraktor, diracuni, dan dibakar.”

Baca juga  Kartu Merah Sadat

“Tak ada yang mencegahnya?”

“Siapa yang mencegah?! Pohon-pohon besar dianggap sarangnya kuntilanak, kurcaci, roh jahat. Tempat orang menyembah berhala serta bertapa jadi tukang sihir, santet, dan semacamnya.”

“Tetua adat?”

“Mereka dihukum selama dua bulan dengan tuduhan mendirikan agama baru.”

“Tradisi berladang?”

“Sudah mati.”

“Masih banyakkah yang menanam padi, jagung, ubi, singkong, kacang tanah, jewawut, sorgum?”

“Kamu lihat sendiri. Jambu mente sudah penuh. Bijinya dijual dengan harga lumayan per kilogramnya.”

“Sehari-hari orang makan mente?”

“Ah kau ini!”

“Bukankah mente sangat rakus? Jika sudah besar, tak ada lagi tanaman yang bisa tumbuh subur di dekatnya, bahkan mati secara perlahan-lahan?”

“Betul.”

“Uang hasil jual biji mente digunakan lagi untuk membeli beras, sayur, kacang, sorgum, pisang?”

“Iya.”

“Kalau kemudian beras terlambat atau disetop pengiriman dari luar karena kondisi tertentu, apa uang bisa direbus jadi makanan?”

Bagaimana orang menghormati padi secara sungguh, menjaga malam-malam dengan hening, tak melakukan pesta pora dan kegaduhan, sedang tanah sebagai ibu yang melahirkan dan memangku manusia saja kini sudah dijual? Sesulit itukah hidup bahkan hanya untuk sekadar mencari makan? Siput yang paling lamban serta ulat yang paling lemah sekalipun bisa hidup. Semut bahkan menimbun persediaan makanan di sarangnya.

Nara setia mendengar dan berusaha menghubungkan makna demi makna, kata-demi kata yang lahir dari mulut ayahnya yang terbata-bata tersedak menahan batuk. Usianya tak begitu tua. Namun, kerja yang terlampau keras di masa muda membuat fisiknya terlihat lebih payah. Ayahnya seorang petani yang tak sekolah. Barangkali karena itu, seluruh hidupnya terpaut dengan tanah. Bertahun-tahun ia berhubungan dengan tanah, merasakan gelisah, denyut serta keringatnya. Menanam kestela, singkong, kelor, kacang, ubi di sela-sela padi.

”Padi itu hidup. Jika bersungguh-sungguh, ketika hama sekalipun, ia tak mungkin meninggalkan kita yang berpeluh, berkeringat, yang rela berbasahan diguyur hujan demi merawatnya.”

Ibunya membawa tempat sirih pinang. Mengambil arak menuangkannya pada gelas tempurung dan memberikannya kepada ayahnya. Ayah menuangkannya ke tanah.

Nara memperhatikannya. Ibunya menangkap apa yang ada di benak anak lelaki semata wayangnya itu.

“Ingatlah tanah. Ingatlah leluhur. Juga makanan, minuman, dan semua yang membuatmu hidup,” pesan ibunya.

Nara menarik napas. Hening.

“Tuntutan dan dunia kami hari ini sudah berbeda, Ibu.” Nara berusaha dengan sangat hati-hati menjelaskan dan memberikan pemahaman kepada ibunya.

Listrik tiba-tiba padam. Ibunya menyalakan pelita dan menempatkannya dekat tiang utama rumah. Mereka duduk lebih rapat. Batuk ayahnya semakin sering. Napasnya terasa lebih berat.

“Kalau hatimu terang, alam dan leluhur mendoakanmu. Batu, kayu, segenap binatang hutan, kehidupan yang kelihatan dan tak kelihatan bersamamu. Seperti kunang-kunang di malam hari, atau seperti api yang dinyalakan di puncak gunung, semua akan melihat pekerjaan kecilmu yang tulus dan bersungguh.”

Baca juga  Istri Keempat Tuan Bisma

Ayah coba membujuknya.

“Siang ketika di ladang selalu saja ada awan kecil yang melindungi ayahmu dari teriknya. Jangan kejar besar. Alam tahu cara membesarkanmu. Leluhurmu orang besar karena itu jangan cari besar,” tambah ibunya.

Nara menarik napas panjang. Apa guna dirinya bersekolah tinggi ditambah dengan pengalaman dan pergaulannya yang luas lantas pulang kampung dan berladang sebagaimana harapan kedua orangtuanya?

Berladang itu jalan untuk dekat dengan kehidupan. Ibunya berpesan bahwa ketika padi ditanam, jangan lupa beri bagiannya ulat, semut, keong, belalang, cacing, tikus, dan segala jenis binatang yang terbang di udara maupun yang berumah di dalam tanah.

Obrolan mereka terjeda sesaat ketika tiba-tiba kawanan anjing melolong dari kejauhan. Menurut ibu, dalam satu-dua hari ini orang akan meninggal di dalam kampung. Binatang begitu peka menginderai dan memberi sinyal pada kehidupan. Begitu kelahiran, begitu pula kematian, satu tercerabut memengaruhi keseluruhan. Hidup adalah sistem hubung antara yang kelihatan dan tak kelihatan. Alam guru kehidupan.

“Kita lahir dari badan gunung. Berbapak matahari, beribu tanah. Bapak matahari menyinari laut, menguap jadi awan, ditiupkan angin, dijaring gunung menjelma hujan.”

Sang ayah melanjutkan bahwa supaya hujan cukup, jangan lupa datanglah kepada gunung, kepada langit, kepada laut, kepada angin Timur dan Barat agar bermurah hati mengasihi dan memberi berkah. Supaya selepas panen, korke diperbaiki, kegembiraan dan syukur tetap jadi milik.

“Berladang buat kita dekat dengan tanah, dengan leluhur, alam, dan kehidupan. Memiliki kehidupan membuat batin penuh dan tenang. Yang lahir adalah berbagi rasa sayang dan belas kasih.”

Tiga bulan di kampung bersama kedua orangtuanya, Nara seperti menemukan keluasan di kampung kecilnya. Ia tak lagi bermimpi untuk kembali merajut hidup di kota.

Ketika Wuno muncul di kaki langit dan Pari tenggelam di tengah laut, sudah waktunya menanam. Segera ibunya mengantar beras, sirih pinang, dan tembakau ke kubur memohon berkah leluhur.

Keban dibuka. Padi siap diantar besok ke ladang. Sebagai seorang gadis, ia berpakaian pengantin. Ia akan dikurbankan. Mati demi berlangsungnya kehidupan. Ia turun ke tanah dan akan tumbuh sebagai padi. Ini peristiwa yang haru serta mendebarkan. Nara tak bisa tidur. Namun bukan terutama karena itu.

Pagi-pagi sang ayah yang biasanya terlihat lemah seakan mendapat tenaga baru. Tak ada yang bisa melarangnya untuk ikut serta ke ladang. Ada ras. Ia ingin memastikan bahwa benih yang diambil dari keban mesti diantar dengan hormat tanpa halangan ke Tanah Sang Ibu.

Baca juga  Melayang Sebutir Cahaya

Nara, ayah, sejumlah kerabat dan tetua kampung turut serta ke ladang. Mereka berdiri melingkari mezbah batu tempat duduk dan berdiamnya padi. Di situ ditanam sebuah tiang pancang sebagai sandaran tempat padi akan melahirkan. Di sana duduk hikmat saudari dan ibunya menjaga sokal berisi benih padi. Doa-doa mulai dirapalkan, beberapa butir telur diedarkan, kemudian dipecahkan. Ayam, seekor anak babi, dan kambing turut dikurbankan. Ada yang harus mati supaya kehidupan terus berlanjut.

Panas terasa menyengat walau hari masih pagi. Beberapa buah kelapa muda dikupas untuk mendinginkan tanah. Supaya padi dapat tumbuh sehat, beranjak remaja, dan melahirkan bulir-bulir yang ranum, karena itu harus dijaga dengan penuh cinta dan rasa hormat.

Suasana khusyuk tiba-tiba berubah dengan datangnya sejumlah orang berseragam. Rupanya kegelisahan Nara semalam suntuk bukan sekadar perasaan. Sang ayah menatap tajam mereka satu per satu.

“Kalian harus berhenti dan tak boleh melanjutkan ini kegiatan! Ini tanah siap dieksekusi untuk dibangun hotel berbintang,” kata salah seorang dari mereka dengan nada sedikit mengancam.

“Tanah ini milik kami. Bagaimana bisa kalian suruh kami berhenti?!” tantang ayah.

Seseorang mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. “Tanah ini telah dibeli oleh Tuan James. Ini sertifikatnya.”

“Siapa yang menjualnya?! Apa selembar kertas bisa mengalihkan milik kami sejak leluhur kami dari berabad-abad yang lalu?!”

Perdebatan kian menjadi. Suasana semakin panas. Seorang bertubuh besar kehilangan akal sehatnya lantas menendang sokal padi hingga berhamburan. Spontan ayah meraih tombaknya. Beberapa letusan terdengar. Jerit pecah. Lengang. ***

.

Keterangan

korke: bangunan pusat ritual dalam agama lokal suku Lamaholot

Wuno: gugus bintang Pleiades

Pari: gugus bintang Antares

keban: lumbung padi

.

.

Silvester Petara Hurit adalah seorang esais, penulis lakon, dan sutradara teater. Tinggal di Lewotala, Flores Timur, NTT. Alumnus Sekolah Seni Tari Indonesia Bandung, sekarang ISBI Bandung.

Ni Wayan Dasti, lahir di Badung, Bali, tahun 1990. Pernah menempuh pendidikan di Jurusan DKV di New Media Bali, kemudian belajar seni rupa secara otodidak. Menekuni seni grafis, desain, dan kreasi multimedia, termasuk kolaborasi komik animasi dan mural.

.
Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang. Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang. Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang. Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!