Artie Ahmad, Cerpen, Koran Tempo

Laki-laki dari Barat dan Seekor Anjing Temuannya

3.9
(10)

Setelah menyelesaikan cerita yang panjang tentang perjalanannya, dirinya berlalu keluar. Payung hitam bergagang kayu cokelat dibawanya. Mendengar cerita-ceritanya selalu membawaku mengembara dengan liar melalui angan-angan. Sejak kali pertama kami bertemu, Walter, laki-laki asing itu, suka sekali bercerita. Dia baru saja datang dari daratan yang gersang sebelum akhirnya sampai di tanah Jawa. Selama beberapa waktu, dihabiskan perjalanannya di sebuah daerah yang disebutnya Maharashtra. Desa di daratan India itu sedang mengalami kekeringan panjang. Sepanjang mata memandang hanya tampak tanah gersang, air langka, dan sawah-sawah terbengkalai lantaran tak bisa digarap. Di sana ia mengenal seorang laki-laki bernama Ganesh Appa, yang kemudian gemar ia panggil Appa. Selama di Maharashtra, ia memerhatikan apa saja yang dilakukan Appa. Pagi sekali warga lokal itu akan memasak sejenis kacang lentil untuk sarapan dan minum air putih dengan hemat, karena air begitu langka. Appa mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan setelah sarapan. Beberapa warga lain telah mengungsi ke tempat yang lebih baik, tempat di mana air masih mudah ditemui dan hujan masih kerap bertandang. Walter menutup ceritanya dengan memberikan satu kalimat yang terdengar cukup menyedihkan. “Barulah kali pertama aku melihat kegersangan semacam itu, kekeringan yang mengancam, kelangkaan air yang mematikan.”

Walter tak mau disebut pengembara, dia lebih tertarik disebut seorang petualang atau setidaknya penjelajah. Dia sangat menggemari setiap perjalanannya, terlebih jika dekat dengan alam. Dirinya sendiri datang dari tempat yang dingin di bagian barat Eropa. Beberapa tahun belakangan ia melakukan perjalanan sampai akhirnya menjejakkan kaki di Hindia Timur, menjelajah beberapa negara dan akhirnya sampai di tanah Jawa.

Anjing itu ia temukan di tengah-tengah semak belukar, ketika hujan baru saja mereda. Anjing berbulu cokelat tua, matanya yang berwarna kelabu itu terlihat resah. Ketika diajak duduk di ruang tamu, anjing itu masih menggelepar gelisah. Badannya kuyup, gigil terlihat benar di tubuh mungil berbulu itu. Segera aku mencarikan sebuah kain untuk membalut tubuh si anjing. Dengan lembut Walter mengusap-usap anak anjing temuannya.

“Aku akan membawanya ke pondokanku. Aku akan merawatnya,” Walter mengangkat anak anjing itu, ditelitinya adakah luka di badan si anjing.

“Ya, memang seharusnya kau bawa. Pamanku tentu tak menghendaki ada seekor anjing di sini.”

Pemuda itu mengangguk-angguk sembari terkekeh. Dia mengenal betul tabiat pamanku. Sebagai tuan rumah, paman memang tak mengizinkan ada hewan di dalam rumahnya yang besar ini. Meski bukan pembenci hewan, paman memang tak bisa menggemari hewan-hewan peliharaan. Pelbagai alasan ia kemukakan ketika aku menginginkan memelihara seekor kucing. Menolak seekor burung dara ketika Harjoeno, anak sulung paman, membawa sebuah sarang burung beserta isinya. Dengan sedikit kesal akhirnya Harjoeno melepaskan burung itu, dibiarkan burung dara terbang bebas kembali ke alam.

Baca juga  Yang Mulia

***

Anak anjing itu diberi nama Goela oleh Walter. Beberapa hari setelah ditemukan, anak anjing tersebut menjadi akrab dengan Walter. Gonggongan si Goela sering terdengar dari pondokan Walter. Tak hanya dengan Goela, Walter juga mudah akrab dengan siapa saja. Masih melekat di ingatanku kejadian hari itu, sepekan selepas Walter tiba dan tinggal di pondokan paman. Tuan Audric Van Kellen, laki-laki yang baik itu, meninggal. Di siang yang masih menyisakan basah dari hujan semalam, kereta kuda yang mengangkut peti jenazah Tuan Audric berjalan perlahan menuju kherkoff. Pemakaman dilaksanakan dengan sendu. Namun, dari rangkaian upacara pemakaman itu, ada satu yang kurang. Seperti kebanyakan upacara pemakaman di kherkoff, sebuah syair puisi biasanya dibacakan untuk mendiang. Tapi siang itu tak ada yang menyiapkan sebuah puisi untuk mengiringi kematian Tuan Audric. Beberapa waktu kemudian, Walter maju ke depan. Kawan Harjoeno itu menyediakan diri membacakan puisi pendek untuk mendiang Tuan Audric. Suaranya ketika membaca puisi itu tak lantang, namun terdengar oleh semua yang hadir dalam pemakaman.

“Bunga-bunga berguguran, meninggalkan ranting semata. Kelopak-kelopaknya berserak di tanah. Tapi gugurnya mahkota bunga bukan akhir semuanya, harapan tetaplah bertumbuh di rerantingan. Bunga-bunga baru akan terlahir, yang gugur akan senantiasa bersemi, terawat dengan elok di ingatan pun di dalam hati…”

Siang di pemakaman Tuan Audric, Walter mulai dikenal banyak orang. Aku pun yang berada di sana, baru saat itu memerhatikan Walter meski kami sempat beberapa kali bertemu sebelumnya. Laki-laki dari barat itu semakin lama memang menarik. Dia mudah berbagi cerita, ada hal-hal baru yang selalu dia bawa. Bertahun-tahun melanglang buana, begitu banyak cerita lahir di kepalanya. Bukan saja denganku, dengan warga di sekitar rumah paman pun dirinya gemar berbagi cerita. Orang-orang bahkan memanggilnya ‘landha sumeh’ atau orang barat yang ramah.

Dari cerita-cerita, perkawanan kami semakin erat. Walter tampil sebagai kawan yang menyenangkan. Setelah kematian kedua orang tuaku, kesepian kerap bertandang tanpa alasan. Harjoeno, sepupuku satu-satunya itu, kerap memberikan penghiburan. Tapi beberapa waktu belakangan Harjoeno terlalu sibuk membantu paman berdagang. Seperti beberapa hari ini, dia turut paman ke Batavia untuk mengirim beberapa kuintal gula.

Malam terasa demikian basah selepas hujan turun seharian. Walter mengetuk pintu samping disambut suara gonggongan Goela. Ketika pintu itu kubuka, senyum Walter mengembang, sedang Goela berada di gendongannya.

“Aku sedang tidak mengganggumu, kan?”

“Tidak. Masuklah…” aku melebarkan pintu.

Walter berjalan perlahan di sampingku. Di dekat pendiangan di ruang tengah, kami duduk berhadapan.

“Kau berbeda dengan perempuan kebanyakan, Diajeng.” Walter mengucapkan kalimat dengan setengah bergumam.

Aku hanya melemparkan senyum simpul, tanganku sedang sibuk menuang teh panas ke cangkir untuk Walter.

“Berbeda bagaimana?” aku mendongak, menatap laki-laki di hadapanku dengan saksama.

“Aku sulit menjelaskannya, namun kau cukup berbeda. Kau pintar, dan begitu menarik.”

Baca juga  Deadline

“Di luar sana banyak perempuan yang lebih pintar dariku.”

“Tapi sulit menemukan perempuan semenarik dirimu,” suara Walter terdengar serius.

“Mungkin lantaran lawan bicaraku engkau, jadi aku terlihat menarik. Padahal itu semua lantaran engkau yang sebenarnya menarik!”

Walter tertawa mendengar ucapanku. Ditaruhnya Goela di lantai. Anjing kecil itu dengan tenang merebahkan diri di dekat pendiangan. Beberapa waktu kemudian aku dan Walter hanya bersilang pandang, sebelum akhirnya aku berdiri, mengambil beberapa balok kecil dan melemparkan ke dalam mulut pendiangan. Walter turut berdiri, direngkuhnya pinggangku dengan lembut. Perlahan tubuh kami saling melekat. Di dekat pendiangan, kami berdua berpelukan, tubuh kami seolah nyaris menyatu. Walter mengangkat daguku, saat itulah baru terlihat jelas bahwa kedua matanya berwarna hijau kekuningan. Lalu, perlahan bibir Walter menyentuh bibirku. Bibir kami seakan saling melumat satu sama lain. Goela menggonggong, namun untuk kali ini kami seolah tak peduli, pelukan kami bertambah erat. Desah napas kami beradu, keadaan seakan menjadi bertambah panas meski udara dingin semakin terasa lantaran bara api di pendiangan mulai mengecil lalu bersiap padam.

***

Kebiasaan laki-laki dari barat itu kuhafal betul. Pagi-pagi benar dia akan keluar membawa Goela, tentu jika cuaca sedang demikian bagus. Dari serambi rumah paman, aku akan mengamatinya ketika melewati halaman depan. Dia akan menoleh, melambaikan tangan dan disusul gonggongan kecil Goela. Hampir setengah jam mereka berjalan-jalan, dan akan kembali dengan peluh di sekujur badan. Mengamati dan menghafal kebiasaan Walter menjadi rutinitas tersendiri. Tentu saja, ada kebiasaannya yang hanya bisa dia lakukan ketika paman dan orang rumah lainnya pergi, datang menghampiriku, kini bukan saja sekadar berbagi cerita, melainkan ada hal lain yang kerap kami berdua lakukan.

Musim penghujan nyaris habis, cuaca menjadi lebih cerah. Burung-burung kerap bertandang di pohon angsana yang tumbuh di halaman samping. Walter lebih kerap menghabiskan waktu di luar pondokan, dia akan duduk berlama-lama di bangku taman, sedang Goela akan duduk diam di dekat kakinya. Harjoeno ketika tidak bekerja, dia akan duduk bersama Walter. Mereka akan menghabiskan waktu sembari meminum kopi dan bercerita tentang banyak hal. Pertemanan keduanya memang erat, dari Harjoeno aku mendengar bahwa Walter ingin menetap di Jawa selama mungkin.

“Dia menginginkan tinggal di Jawa selama yang dia bisa, Diajeng…” ujar Harjoeno ketika kami duduk di serambi rumah, di tengah guyuran matahari sore.

“Dia tampaknya betah di sini.”

“Ya, Walter betah sekali. Dia melakukan banyak hal selama tinggal di sini.”

“Tentu satu hari nanti dia akan merindukan keluarganya, tanah kelahiran di tempat nun jauh sana.” Aku mengucapkan itu perlahan. Kubayangkan jika suatu hari nanti Walter pergi, kembali ke tanah kelahirannya. Betapa kesepianku dulu akan datang kembali.

“Tapi dia menginginkan untuk tetap tinggal di sini. Memiliki rumah, menjalani kehidupannya sampai tua, dan mati pun di sini seperti Tuan Audric…”

Baca juga  Makhluk Tanpa Kepala

Hal itu kemudian kudengar langsung dari Walter, lelaki itu mengatakan bahwa dia ingin menetap di Jawa. Tinggal bersamaku di Candi Ombo. Keinginan untuk hidup berlama-lama denganku, membangun sebuah rumah yang tak terlalu besar namun tenteram, menikah, dan memiliki anak-anak yang lucu. Dia menginginkan itu semua. Di sebuah buku catatan yang selalu ia bawa ke mana-mana, semua itu ia tulis dengan rapi. Buku catatan itu berisi kisah perjalanannya, menjelajah beberapa negara di Hindia Timur, dan sampailah ia di tanah Jawa. Kini di dalam buku itu pula, dituliskan keinginannya untuk bisa berlama-lama menghirup udara di Candi Ombo dan leluasa memelukku sampai kapan saja.

Tapi sampai di manakah sebuah keinginan itu? Tuhan pula jua yang bisa menentukan jawaban atas segala keinginan manusia. Begitu pula keinginan Walter. Segalanya pupus, ketika perang dunia kedua meletus. Berita kekacauan itu terdengar sampai Candi Ombo. Orang-orang asing haruslah dibersihkan, begitulah peraturan dari pemerintah Hindia Belanda. Walter dipaksa pergi, meninggalkan tanah Jawa secepatnya bersama orang-orang asing lainnya.

Ia pergi meninggalkan buku catatan, Goela dan keinginannya yang tak pernah terpenuhi. Di pagi buta, dingin membawa gigil sampai ke tulang ketika Walter pergi meninggalkan Candi Ombo. Gonggongan Goela terdengar begitu menyayat, sedang tangis kutahan sebisanya. Aku tak menginginkan air mataku akan menambah lara di dada laki-laki barat. Kubiarkan dia kembali, meski dia sendiri tak menginginkan kepergiannya. Kapal Van Imhoff akan membawanya kembali ke Eropa Barat, tanah kelahiran yang telah bertahun-tahun ia tinggalkan.

Goela berada di bawah pengawasanku selepas tuannya pergi. Selama beberapa waktu anjing itu terlihat begitu sedih. Goela enggan menggonggong, makannya pun sedikit. Aku berusaha menjaganya sebaik mungkin meski beberapa kali paman mengajukan keberatan, sampai satu hari berita itu datang. Kapal Van Imhoff tenggelam di Samudra Hindia. Pesawat angkatan laut milik Jepun menyerang kapal. Bom meledak dan kapal itu tenggelam, menenggelamkan pula lelaki itu, penjelajah dari barat.

Kabar kematiannya tak ubahnya sebuah kidung duka yang demikian menyedihkan. Aku menghabiskan waktu untuk menangisi kematiannya. Sampai panas rasanya kedua mataku, sedang Goela hanya melihatku dengan keheranan. Anjing itu belum mengerti bahwa tuannya telah benar-benar pergi, tertidur di dalam palung samudra dan tak memiliki harapan lagi untuk kembali. ***

Yogyakarta, 2021

Artie Ahmad lahir di Salatiga, Jawa Tengah, dan saat ini tinggal di Yogyakarta. Selain menulis cerita pendek, dia menulis novel. Saat ini dia sedang menyiapkan buku keenamnya.

Loading

Average rating 3.9 / 5. Vote count: 10

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Danang Semeru11

    Ada satu adegan tempelan yang merusak alur cerita.

    Di Jawa
    Apakah ada yang pernah lihat BURUNG DARA punya sarang dan hidup lepas di alam Jawa?

    Aneh-aneh.

    Burung yang punya sarang dan lepas bebas di alam Jawa itu kutilang, emprit, bentet/jentet, Manyar, gereja, jambul.

    Klo burungmu punya sarang tidak?

    😂😀😂

Leave a Reply

error: Content is protected !!