Cerpen, Herman RN, Kompas

Makam

Makam - Cerpen Herman Rn

Makam ilustrasi Rahardi Handining/Kompas

5
(2)

Cerpen Herman Rn (Kompas, 17 Mei 2020)

BERULANG kali Abdul dan keluarga menolak pembebasan tanah di belakang rumahnya. Meskipun tanah itu tidak terlalu luas, dan dihargai dua kali lipat dari harga sebelumnya, Abdul tetap menolak.

“Ada makam Pak Teungku di sana,” alasan Abdul.

“Rumah dan kebun Pak Abdul ini memang sudah masuk dalam kawasan pengembangan kecamatan sejak dulu. Sudah dimasukkan dalam blueprint sejak camat periode lalu,” jelas kepala kampung kepada Abdul.

Abdul tahu dia dan keluarga hanya pendatang di Kampung Lampap. Belum sampai sepuluh tahun. Ia pindah dari kabupaten lain, lalu mendapatkan tanah di Kampung Lampap, Kecamatan Bubrang. Tanah dan rumah yang ditempati Abdul merupakan amanah seorang Teungku Meunasah.

“Tinggallah di sini, rawat dan jaga tanah beserta rumah ini. Kelola seperti milik sendiri,” begitu pesan Teungku Meunasah kepada Abdul.

Karena itulah, Abdul tidak mungkin menjual tanah dan rumah ini. Apa pun alasan dan berapa pun harganya, Abdul tetap tidak akan menjualnya.

Ia sudah menjelaskan semua perkara itu kepada kepala dusun, juga kepada kepala kampung. Namun, kepala kampung berdalih peta pengembangan kecamatan sudah dibuat sepuluh tahun lalu, sejak Tengku Meunasah masih hidup.

“Ini sudah masuk ke dalam RTRW pembangunan jangka menengah, Pak Abdul. Sudah dirumuskan sepuluh tahun lalu. Tanah Pak Teungku yang Pak Abdul tempati ini sudah dalam peta pengembangan kecamatan. Pak Abdul harus paham itu,” jelas kepala kampung ke sekian kali. Sebenarnya, tanpa diulang- ulang pun, Abdul sudah paham maksud kepala kampung.

“Saya paham, Pak. Saya mengerti. Namun, saya diamanahkan almarhum Pak Teungku, tanah ini boleh digunakan untuk pengembangan apa saja, perkebunan misalnya, asal tidak untuk dibongkar.”

“Pak Abdul ini bagaimana? Kawasan ini mau dibangun hotel tujuh lantai, lengkap dengan mall. Sudah pasti semua akan diratakan. Rumah ini juga kena, tapi saya sudah bicarakan dengan pihak investor. Rumah ini tidak dibongkar, tapi direnovasi agar layak berdiri berdampingan dengan hotel tujuh lantai.”

“Saya diamanahkan oleh almarhum Pak Teungku bukan hanya tinggal di rumah ini, tapi juga menjaga dan merawat semua yang ada di atas lahan Pak Teungku ini. Satu nasihat Pak Teungku yang saya ingat, beliau masih memiliki seorang anak laki-laki. Satu-satunya anak beliau. Saya harus menyerahkan rumah dan seluruh tanah ini kepada anak beliau itu. Begitu pesan Pak Teungku,” jelas Abdul panjang lebar.

Kepala Kampung Lampap kehabisan cara merayu Abdul. Di satu sisi, dia sudah menandatangani surat pembebasan lahan untuk Kampung Lampap. Salah satunya, kawasan tanah Pak Teungku, termasuk pula lapangan bola voli pemuda kampung yang letaknya sejajar dengan kebun Abdul.

Kepala kampung memang sempat mendapat perlawanan dari para pemuda yang menolak lapangan bola voli mereka dihancurkan. Namun, setelah negosiasi panjang, para pemuda Kampung Lampap akhirnya setuju. Sebagai gantinya, pihak pengembang memberikan lokasi baru untuk lapangan bola voli para pemuda Kampung Lempap. Lapangan baru itu terletak di pinggir sungai.

Baca juga  Ciu dan Durian Tembaga

Bukan hanya itu, para pemuda Kampung Lempap diberikan dana untuk perlengkapan seragam voli, lengkap dengan bola, jaring voli, dan ditambah dana pembinaan.

Kepala kampung mengira perkara ganti rugi bagi warga ini telah selesai semua. Namun, ternyata ia tidak berhasil meyakinkan Abdul. Sebenarnya bisa saja kepala kampung main kekerasan dengan mengusir Abdul, karena Abdul hanya warga pendatang di Kampung Lampap. Namun, kepala kampung sangat menghormati Teungku Meunasah, pemilik rumah yang ditempati Abdul. Orang tua itu yang membawa Abdul ke Kampung Lampap.

***

SEPEKAN kemudian, Kepala Kampung Lampap kembali menemui pihak pengembang. Sebenarnya bukan niat langsung menemui bos investor pembangunan hotel tersebut. Namun, bos investor sendiri yang mengundang kepala kampung ke Jakarta.

Selama ini, bos investor hanya mendengar cerita dari anak buahnya di lapangan bahwa ada seorang warga bernama Abdul yang tidak mau menerima pembebasan lahan. Padahal, kawasan lahan Abdul merupakan kawasan inti dari pembangunan hotel dan mall yang akan dikerjakan.

“Pak Kepala Kampung tahu, semua dokumen pendirian hotel dan mall itu sudah disetujui pada tingkat kabupaten, bukan hanya kecamatan. Bahkan, kami sudah mendapatkan rekomendasi dari Pak Menteri. Tapi, saya dengar ada warga kampung Bapak yang tidak mau menerima pembebasan lahannya. Bisa Bapak ceritakan kenapa?” tanya bos investor.

Kepala kampung sempat terdiam. Bukan takut, tapi ia melihat betapa berwibawa bos investor ini. Nada suaranya tegas. Dalam hati kepala kampung, bos investor ini pasti orang terdidik. Sekolahnya pasti di luar negeri.

“Bapak… Bapak, apakah saya salah bicara?” tanya bos investor pelan.

Ups… Tidak. Ma… af, Pak, saya… saya,” suara kepala kampung terdengar gelagapan. Ia membetulkan sandaran kursinya.

“Minum dulu, Pak,” sahut bos investor pula.

“Sebelumnya, atas nama kepala kampung dan semua perangkat kampung, saya minta maaf. Saya juga tidak mengira urusan administrasi dengan warga bisa serumit ini.”

“Bapak tahu tidak apa alasan kuat saya ingin mendirikan hotel dan mall di Kampung Lampap? Sebenarnya saya bisa saja menerima tawaran dari Kepala Kampung Lamkreh. Mereka sudah beberapa kali menjumpai orang saya, minta agar hotel dan mall itu didirikan di kampung mereka.”

Lama kepala kampung memandang bos investor. Ia tidak sabar ingin mendengar alasan bos investor itu memilih Kampung Lampap sebagai kawasan pengembangan kecamatan.

“Saya ini sebenarnya masih ada hubungan dengan Kampung Lampap,” ucap bos investor sambil menarik napas. Suaranya bergetar. “Orangtua saya berasal dari Kampung Lampap. Saya masih keturunan Lampap. Karena suatu musibah, saya terpisah dari orangtua saya. Hingga beliau menutup usia, saya tidak pernah berjumpa dengan beliau. Tujuan saya memilih Kampung Lampap sebagai kawasan pengembangan industri karena saya ingin berbakti kepada orangtua saya. Saya ingin memajukan kampung halaman saya. Bapak kembalilah ke kampung. Sampaikan kepada….”

Baca juga  Parut di Atas Alis

“Abdul.”

“Ya, Pak Abdul. Saya akan ganti semua, berapa pun yang dia minta. Saya akan rehab rumah yang ia tempati itu. Saya akan berikan ganti rugi tiga kali lipat kalau perlu. Tolong sampaikan juga, tiga hari lagi pengerjaan awal harus dilakukan. Saya akan ke lokasi.”

***

TANPA menunggu hari berganti, begitu sampai di kampungnya, kepala kampung langsung menemui Abdul. Ia ceritakan semuanya kepada Abdul, termasuk keinginan keras bos investor membangun hotel itu bukan karena proyek, tetapi pengabdian kepada orangtua dan kampung halaman.

Abdul diam sejenak. “Saya tidak minta harga berapa pun, Pak,” ujarnya lembut. Nyaris tidak terdengar.

“Kenapa Pak Abdul terlalu keras kepala?!” suara kepala kampung meninggi.

“Saya tidak akan minta harga berapa pun, Pak. Bukan berarti saya tidak mengizinkan rumah dan tanah ini Bapak berikan kepada pihak investor. Saya sudah musyawarah dengan keluarga, kami akan pergi dari kampung ini. Rumah beserta semua isinya kami tinggalkan, termasuk seluruh tanah Pak Teungku.”

Giliran kepala kampung terdiam.

“Saya dan keluarga sudah sepakat menyerahkan semua milik Pak Teungku kepada perangkat kampung. Nanti terserah pihak kampung mau bawa ke mana rumah dan tanah Pak Teungku. Kami tidak berhak atas rumah dan tanah ini. Kami hanya diamanahi. Saya sadar, saya tidak mampu menjaga amanah ini. Makanya saya kembalikan kepada Bapak dan orang Kampung Lampap. Saya dan keluarga akan keluar dari rumah ini, dari kampung ini tanpa membawa apa-apa, sama seperti saat kami datang dulu.”

Kepala kampung tercengang mendengar semua itu. Belum sempat ia menyela, Abdul sudah melanjutkan, “Kami hanya minta kepada Bapak, tolong berikan kami waktu beberapa hari mempersiapkan barang-barang kami. Setelah itu, semua akan kami serahkan kepada Bapak selaku pejabat kampung.”

Kepala kampung tak kuasa berkata-kata. Ia minum air yang dihidangkan istri Abdul seteguk, lalu pamit pulang.

***

TIGA hari kemudian, bos investor datang ke Kampung Lampap. Saat itu, bagian belakang rumah Abdul sedang dibersihkan dengan alat berat. Pohon mangga dan jambu sudah ditumbangkan. Rencana berikutnya membongkar makam Pak Teungku dan memindahkan ke lokasi pemakaman umum.

Bos investor tidak mau dianggap kasar oleh Abdul. Ia sengaja datang menemui Abdul. Maksud bos investor untuk anjangsana sekaligus minta maaf jika anak buahnya bersikap kasar dalam negosiasi.

“Tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi, Pak. Saya sudah mendengar semua penjelasan kepala kampung. Saya juga sudah berjanji akan meninggalkan kampung ini secepatnya. Saya hanya minta diberi waktu beberapa hari untuk kemas-kemas,” ujar Abdul tenang.

“Bapak mau pindah ke mana? Saya akan bantu,” ucap bos investor tak kalah tenang.

“Saya tidak minta apa-apa. Saya hanya minta satu hal, tolong hargai pemilik rumah dan tanah ini. Tolong jangan hancurkan makam beliau,” lirih Abdul.

Baca juga  Warung Padang Tetangga

“Baik. Saya akan penuhi permintaan Bapak. Jika diperkenankan, boleh saya melihat lokasi makam beliau?”

Abdul mengajak bos investor ke belakang rumah. Mereka melintasi ruang tengah. Di ruang keluarga, bos investor menghentikan langkahnya.

“Ini siapa?” tanya bos investor sambil menunjuk sebuah foto tua dalam bingkai kayu.

“Itulah Pak Teungku, pemilik rumah ini,” sahut Abdul pelan.

“Yang ini?” tanya bos investor lagi sambil menunjuk foto di sebelahnya.

“Bapaknya Pak Teungku.”

“Ini?” bos investor kembali bertanya sambil meraba sesosok wajah anak kecil dalam bingkai foto ukuran kartu pos.

“Anaknya Pak Teungku. Itulah ahli waris satu-satunya yang sah atas rumah dan tanah ini. Namun, Pak Teungku tidak tahu di mana keberadaan anak itu.”

Bos investor mendadak pucat. “Apa yang pernah dikatakan Pak Teungku tentang anak ini?” suara bos investor bergetar.

“Pak Teungku tidak bercerita banyak. Ia hanya sampaikan itu anak satu-satunya. Istri Pak Teungku meninggal dalam sebuah operasi saat melahirkan anak itu. Istri Pak Teungku lebih memilih kehilangan nyawanya demi menyelamatkan anaknya. Namun, Pak Teungku juga tidak bisa merawat anaknya lama-lama. Ketika umur anak itu menjelang lima tahun, keadaan kampung ini masih dalam suasana darurat. Pak Teungku dan anaknya ditangkap kelompok bersenjata, lalu mereka dipisahkan. Pak Teungku tidak tahu lagi bagaimana kabar anaknya. Ia hanya menyimpan foto itu, satu-satunya foto sang anak saat masih berumur 4 tahun….”

Belum selesai Abdul bertutur, bos investor menyela. “Dan sang anak mengira gerombolan bersenjata telah merenggut nyawa ayahnya sehingga anak itu tidak tahu lagi jalan pulang. Ia diasuh oleh orangtua angkatnya di Turki.”

Abdul menatap bos investor itu. Hatinya bertanya-tanya, bagaimana bos investor ini tahu tentang anak Pak Teungku.

“Setelah dewasa, anak ini ingin berbakti kepada orangtua dan kampung halamannya, tapi ia tidak tahu caranya. Si anak ingin membuat kampungnya menjadi lebih maju, ada hotel megah agar layak seperti kota-kota besar,” sambung bos investor.

“Bapak…,” mulut Abdul ternganga.

“Ya. Saya anak itu, anak yang tidak tahu jalan pulang,” ucap bos investor sambil menangis. Tangannya meraba wajah Pak Teungku dalam bingkai. ***

.

.

Sudut Indonesia, Desember 2019

Herman RN, lahir April 1983. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi. Meraih penghargaan sastra dari Balai Bahasa Aceh (2009).

Rahardi Handining, lahir di Semarang, 27 Februari. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Arsitektur Universitas Pandanaran, Semarang. Sejak 1997 mengisi kolom kartun di beberapa media di Indonesia. Pada 2004-2018, bekerja sebagai desainer grafis dan ilustrator di harian Kompas. Meraih beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri.

.
Makam. Makam. Makam. Makam. Makam. Makam.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!