Cerpen, Farizal Sikumbang, Kompas

Dua Tubuh

Dua Tubuh - Cerpen Farizal Sikumbang

Dua Tubuh ilustrasi Maman Rahman/Kompas

0
(0)

Cerpen Farizal Sikumbang (Kompas, 31 Mei 2020)

KURANG dari satu jam setelah kamu dinyatakan tiada, adik perempuan satu-satunya itu lantas memutuskan bahwa kematianmu tidak akan diberitahukan kepada ibumu.

Para kerabat dekatmu, yang terdiri dari paman dan beberapa sepupumu, tentu saja terkejut dan tidak setuju pada keputusannya itu. Namun, adik perempuanmu itu memang sejak dulu berkepala batu, ia tetap bersikukuh teguh pada pendiriannya dalam ratap dan linangan air mata. Membuat para kerabatmu semakin tidak mampu banyak bicara.

”Apakah kalian mau hari ini aku mengubur jasad dua orang yang kucintai? Aku yakin beliau tidak akan sanggup mendengar kabar duka ini,” begitu erang saudara perempuanmu itu dengan intonasi seperti sengaja ditekan agar tak bergema ke dalam kamar ibumu.

Aku tahu ia tidak ingin ibumu mendengar  suaranya itu. Dengan penuh kesedihan saudara perempuanmu itu mengusap-usap air mata di pipinya dengan terisak-isak. Sedangkan di kamar paling depan kudengar pula suara ibumu  terbatuk-batuk dalam sakit. Mendengar itu aku sungguh disungkup haru.

”Baiklah, baiklah jika itu keputusanmu. Kami tidak bisa mencegah,” ujar Ros, sepupumu yang paling besar.

Kamu meninggal pagi tadi. Tubuhmu ditemukannya tergeletak di tepi sumur. Aku yakin sekali, sebelum meninggal kakimu terpeleset di lantai, sebab lantai sumur itu terlihat licin. Lumut-lumut hijau  tumbuh di sana. Aku juga yakin kepalamu terbentur ke lantai yang licin itu. Mengingat itu aku sungguh bersedih tidak bisa membantu dalam  sakit dan deritamu. Padahal aku berhasrat sekali membimbingmu ke sumur ketika kulihat saat itu kau tertatih-tatih dan dengan langkah gemetar menuju ke sana.

Kuingat tiga bulan yang lalu kau pulang ke rumahmu ini dengan menenteng sebuah koper pakaian berwarna hitam dan seikat buku bacaan. Kamu pulang dengan rambut kusut dan wajah yang dipenuhi dengan kekecewaan.

Tidak lama setelah kau empaskan tubuhmu di atas kursi kayu di pojok rumah, saudara perempuanmu itu lalu bertanya kepadamu, ”Kenapa uda pulang dengan wajah bermuram serta membawa koper di tangan?”

Kau tidak menjawab langsung pertanyaannya, dalam diam pandangan matamu mengarah ke rumahku. Seakan mencari rupaku yang tersembunyi di balik kain gorden jendela kamar.

”Aku akan tinggal di sini, Pik. Biarlah kamar paling belakang itu aku tempati. Kau tak keberatan, kan?” tanyamu dalam suara yang berat dan suara itu begitu cepat pula melompat ke dalam lubang telingaku.

Tapi adik perempuanmu itu hanya terdiam. Ia sungguh merasa kebingungan pada dirimu.

Baca juga  Atavisme

”Pik, jangan kau beri tahukan kepada mande jika aku tinggal di rumah ini,” katamu selanjutnya.

Dan kata-katamu itu semakin membuat wajahnya memucat. Sedangkan bagiku berbagai tanya tumbuh di kepala. Apakah kamu sudah berpisah dengan Maya?

”Maaf, Da, sebenarnya ada apa kalau boleh aku tahu,” tanyanya kemudian.

Kamu tidak menjawab langsung pertanyaannya. Kulihat wajahmu seperti menahan kemarahan dan dendam. Dengan  langkah gontai kamu menuju ke kamar belakang rumah tanpa memedulikan saudara perempuanmu itu, sedangkan ia terus memandangimu.

***

Dua hari berikutnya aku lebih sering melihatmu duduk sendiri. Dalam kesendirian aku melihatmu seperti memikirkan sesuatu yang memberatkan kepalamu. Terkadang kamu juga terlihat bersedih. Aku semakin yakin bahwa kamu ada masalah dengan Maya.

Dan dugaanku terbukti, ketika suatu hari kau bertengkar dengannya.

”Apakah ini karena Dika, perempuan lumpuh itu yang membuat Uda meninggalkan Maya?” Gugat adik perempuanmu itu.

Kamu menatapnya dengan mata tajam. Tapi mulutmu terkatup.

”Uda harus pulang  segera ke rumah Maya. Jangan terlalu lama meninggalkannya,” tambahnya lagi.

”Aku tidak akan kembali. Kami telah berpisah. Aku telah menalaknya,” katamu.

Aku sangat terkejut mendengarnya. Bibirku bergetar. Badanku sempoyongan. Dua tanganku semakin erat memegang besi kursi rodaku. Aku bersedih.

”Itu tak mungkin Uda. Maya itu masih bersaudara dengan kita. Ia bako kita. Akan rusak tali persaudaraan kita dengan pihak almarhum abak bila Uda menceraikan Maya.”

”Apa boleh buat. Ini jalanku.”

”Pikirkanlah Uda. Pernikahan Uda dengan Maya adalah amanat almarhum abak. Tidak baik juga kita mengkhianati pesan orang tua.”

”Kau tak akan paham perasaanku, Pik. Aku tak mau diremehkan oleh perempuan. Aku memang tak punya pekerjaan seperti orang kantoran, tapi menjadi seorang penulis bagiku adalah sebuah pekerjaan juga. Dan aku sangat tersinggung jika ia meremehkan pekerjaanku itu. Aku pikir dengan pendidikannya yang sarjana itu ia bisa memahami bahwa pekerjaan penulis itu adalah sangat terhormat. Kau pikirlah Pik, bagaimana aku bisa hidup dengan orang yang tak menghargai pekerjaanku?” katamu.

Aku melihatmu seperti seorang serdadu yang luka parah. Merintih dalam kesakitan dan ketakutan. Persis seperti salah satu tokoh dalam cerita pendek yang kamu tulis. Tokoh itu bernama Paruk. Paruk adalah bekas seorang serdadu yang pernah bertugas di Aceh. Ia terpaksa dipulangkan dari dinas kemiliteran karena mengalami stres berat usai bertempur dengan gerombolan pemberontak. Dan aku masih menyimpan di rumah kliping koran cerpenmu itu. Aku masih ingat, itu adalah kali pertamanya cerpenmu dimuat di salah satu koran di kota kita. Seperti tuturmu dengan penuh bahagia padaku.

Baca juga  Kartu Pos dari Surga

”Aku semakin bersemangat menulis,” katamu padaku lagi. ”dan kuharap kamu tak bosan-bosan membaca naskahku setelah dimuat di koran,” imbuhmu lagi.

”Tentu, tentu,” balasku. ”Tapi jangan kau tulis cerita pendek tentang kisah cinta kita,” ujarku selanjutnya.

Mendengar itu kamu tertawa terbahak-bahak. Kamu sangat bahagia. Aku juga. Apalagi melihat bahwa cerita-cerita pendekmu semakin lama semakin banyak dimuat dalam koran yang ada di kota kita. Bahkan beberapa cerpenmu pun mulai dipublikasikan di koran nasional. Aku melihat kamu semakin bersemangat menjalani hidup sebagai seorang penulis.

Tapi, suatu hari kau mendatangiku dengan wajah teramat sedih. Aku berpikir kesedihanmu itu mungkin dari kegagalanmu memenangi sebuah sayembara menulis novel di Jakarta, tapi ternyata tidak.

”Aku akan segera dikawinkan,” ujarmu setelah beberapa lama mematung di depanku.

”Dengan siapa?” tanyaku dengan bibir bergetar.

”Dengan Maya. Keponakan abak”. Mendengar itu hatiku  terpukul hebat. Aku menangis di atas kursi rodaku sejadi-jadinya.

Itu adalah hari terakhir perjumpaan kita, sebab keluargamu sorenya memberi tahu bahwa aku tidak boleh lagi bertemu denganmu. Dan harapan itu semakin musnah setelah dua minggu kemudian kamu menikah.

Aku berpikir kamu mungkin telah bahagia dengan Maya. Keponakan almarhum ayahmu yang berprofesi sebagai guru itu. Dan barangkali kamu juga telah melupakanku. Namun, kepulanganmu dengan membawa koper pakaian ke rumahmu mematahkan dugaanku itu.

”Jadi, perceraianku dengan Maya jangan sampai mande tahu. Aku tak ingin sakit beliau semakin parah karena kecewa,” katamu kepada adik perempuanmu itu.

Aku membayangkan ibumu yang lumpuh dan buta itu. Yang tubuhnya hanya bisa terbaring di tempat tidur. Aku sungguh iba kepada ibumu itu. Satu tahun setelah ayahmu tiada, ia mulai sakit-sakitan hingga buta dan lumpuh seperti sekarang. Aku sungguh menyayanginya. Karena hanya beliau yang menegarkan hatiku di saat kamu menikah dengan Maya.

”Mande yakin kamu kuat menghadapi semua ini. Mande minta maaf kepadamu. Mande tak kuasa mencegah perkawinan mereka. Mande sangat berdosa padamu Dika, terlebih pada almarhum ibumu. Mande telah berkhianat pada ibumu. Karena sebelum ia meninggal, mande pernah bersumpah padanya akan menikahkan kamu dengan Salman sebagai bentuk tanggung jawab Salman yang membuat satu kakimu diamputasi karena kecelakaan itu.”

Saat itu aku tak sanggup membalas kata-kata ibumu. Dalam linangan air mata aku merasa bahwa kecelakaan yang kita alami bukanlah salahmu, tapi adalah kesalahan sopir truk kayu yang mengambil jalur jalan kita. Aku masih ingat bagaimana tubuh kita terpental ke jalan dan baru tersadar di rumah sakit dengan kaki tak utuh lagi.

Baca juga  Mayat Masa Lalu

Tapi, meski kaki tak utuh lagi, kamu masih mencintaiku bukan?

Kau mengangguk-angguk menjawab pertanyaanku itu. Aku  mencari kesungguhan di dua bola matamu. Dan kamu terus meyakiniku di rumah sakit itu.

Tapi dari kursi roda ini, setelah kamu kembali  pulang, aku hanya bisa memandangmu dari balik daun pintu. Aku tak punya daya untuk menghampirimu. Bukan karena kecacatan kaki. Tapi aku tak mau dipersalahkan atas perpisahanmu dengan Maya.

Dan aku juga hanya bisa memandang dan melihatmu di saat  kamu beberapa kali ke sumur belakang rumah berjalan dengan tubuh gemetar seperti orang sakit, persis beberapa minggu sebelum kamu meninggal.

Aku kembali mendengar suara ibumu terbatuk-batuk di kamar. Tapi kali ini agak panjang dan berat. Apakah ia tahu kamu meninggal? Tidak. Bahkan aku semakin yakin bahwa kematianmu hari ini tidak akan diketahui ibumu. Sebab berdasarkan kesepakatan adik perempuanmu dan Kak Ros, jasadmu telah  dipindahkan ke rumah Kak Ros.

Di atas kursi roda ini, aku kembali mendengar ibumu terbatuk-batuk. Tapi setelah itu ia memanggil-manggil namumu. ”Salman, Salman,” ujarnya lirih.

Aku kembali disungkup haru. Dan di atas kursi roda ini, aku menangis sejadi-jadinya. ***

.

(Banda Aceh, 2019)

.

Keterangan:

abak = ayah

bako = hubungan keluarga di pihak ayah

pik/upik = panggilan untuk anak perempuan

.

Farizal Sikumbang, lahir di Korong Gadang, Padang, 5 April 1975. Guru SMA di Provinsi Aceh. Bukunya yang sudah terbit Kupu-Kupu Orang Mati (Kumcer, Basabasi 2017) dan Perempuan dalam Prahara (Novel, Phonex Publisher 2019).

Maman Rahman, lahir di Karawang, 3 Oktober 1965, kini tinggal dan berkarya di Bantul, DIY. Berpartisipasi memamerkan karyanya pada sejumlah pameran, antara lain Color for Indonesia di Hadi Prana Gallery, Jakarta (2017) serta International Artswitch di Jogja Gallery, Yogyakarta (2017).

.
Dua Tubuh. Dua Tubuh. Dua Tubuh. Dua Tubuh.  Dua Tubuh. Dua Tubuh. Dua Tubuh. Dua Tubuh.  

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!