Cerpen Yudi Ahmad Tajudin (Kompas, 12 Juli 2020)
SUARA musik tanpa vokal, yang mengganggu dan tak pernah kuhapal benar, tiba-tiba terdengar dari pelantang handphone yang tergeletak di lantai di samping ranjang. 09.31. Segera setelah aku terjaga, angka itu membayang di kepala. Angka yang kutentukan untuk membunyikan alarm di telepon genggam yang beberapa bulan ini selalu kubawa tidur.
Beberapa bulan. Ya, sudah beberapa bulan. Persisnya, sudah dua bulan dan tiga minggu aku di rumah terus. Sebagaimana banyak orang lain, aku bagian dari kelas sosial yang meskipun terengah-tengah tapi mampu memenuhi anjuran #dirumahsaja, untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 yang dengan ganas menjadi wabah sejagat dalam waktu singkat.
Entah untuk berapa lama lagi aku bisa melakukannya. Tabungan sudah menipis, dan proyek pertunjukan yang rencananya akan dilakukan bulan depan terpaksa kubatalkan karena larangan berkumpul lebih dari lima orang dalam situasi pandemi yang entah akan berakhir kapan ini.
Ranjang kosong. Berantakan oleh selimut dan beberapa bantal yang tumpang tindih, tapi kosong; anak dan istriku sudah tak ada. Sudah cukup siang untuk mereka. Cahaya matahari menerobos masuk dengan buas dari satu dinding kamarku yang terbuat dari kaca, dengan dua daun pintu geser, yang juga kaca, di tengahnya. Kepalaku terasa agak berat.
Tubuhku, yang masih malas, kudorong untuk perlahan bangkit. Lalu duduk di pinggir ranjang sebentar. Aku berusaha mengingat rencana untuk mengisi waktu di rumah saja hari ini. Tak berhasil (atau sesungguhnya aku tak pernah menyusun rencana untuk hari ini?). Aku lalu bangkit berdiri setelah mengambil HP-ku dari lantai, mencabutnya dari kabel pengisi baterai.
Selanjutnya tubuhku bergerak mekanis: keluar dari kamar langsung menuju dapur, melintasi meja makan dengan empat kursi yang tak tertata rapi, mengambil gelas bening besar seukuran setengah liter dari kabinet di atas meja dapur, mengisinya dengan air dari dispenser di samping kulkas, lalu meminumnya dalam satu kali tarikan.
Kemudian tubuhku kembali melintasi meja makan dengan kursi-kursi yang tak rapi karena ulah anakku, melintasi pintu kamar, lalu masuk ke kamar mandi yang terletak di ujung lorong pendek yang mengantarai kamar utama dengan kamar anakku (yang belum juga ia tinggali, karena ia masih tidur bersama kami, bapak dan ibunya). Setelah menutup pintu kayu kamar mandi, kubuka tutup kloset, lalu kencing. Setelah menekan tombol penyiram mekanis di bagian atas kloset, aku lalu keluar, mencuci tangan di wastafel di depan pintu kamar mandi.
Mencuci tangan. Kebiasaan yang kini sering sekali kulakukan setiap harinya, dalam hampir tiga bulan ini. Kebiasaan baru, yang mungkin juga menghinggapi banyak orang di masa pagebluk ini. Satu-satunya cara yang disepakati, di samping penjarakan fisik atau sosial, yang bisa mengurangi kemungkinan tertular wabah yang ganas ini. Cara lain? Kebijakan pemerintah? Sudah lebih dari sebulan ini tak kupedulikan lagi.
Menyaksikan kedua telapak tanganku di antara busa sabun dan kucuran air, aku merasa keduanya berwarna lebih terang dari bagian lain tubuhku.
Rumah sepi sekali. Pintu depan tertutup. Tak seperti biasanya. Kalau tak hujan, pintu depan selalu dibuka oleh istriku sepanjang hari sehingga matahari pagi sampai sore merangsek masuk dari depan dan belakang rumahku.
Anak dan istriku tak ada. Juga pengasuh anakku yang tinggal di kamar belakang. Ah, mungkin mereka semua sedang jalan kaki keluar kompleks perumahan kami yang tak besar, membeli sayur dan kebutuhan lain untuk seminggu ke depan di tukang sayur dan toko kelontong di perempatan jalan di seberang gerbang perumahan.
Setelah meramu segelas kopi, aku lalu duduk di teras belakang, teras kamar utama, menghadap kebun kecil yang hanya berisi rerumputan dan beberapa pot tumbuhan pendek. Tempat favoritku, karena di titik itulah, di atas kursi rotan di sudut teras, aku bisa membuka laptop atau handphone-ku sambil mengisap berbatang-batang rokok dengan tenang. Sudah hampir delapan tahun ini, sejak istriku hamil lalu lahir dan tumbuh anak kami, aku tak bisa lagi merokok di dalam rumah.
Sekilas kulihat bangkai kecoak di sudut teras. Tampaknya korban baru dari kucing peliharaan kami yang baru berusia dua bulan. Di mana dia?
Tak sempat memikirkannya lebih jauh, aku mulai menjelajah dunia di genggamanku. Tentu saja media sosial dulu. Newsfeed Facebook kugulung dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Juga Twitter. Lalu pindah ke Instagram. Bolak-balik. Ritus yang sama, tiga bulan lebih ini.
Setelah beberapa saat, aku terusik dengan sesuatu yang melintas-lintas di layar HP-ku. Ada beberapa berita kematian. Entah teman medsos yang memang kutahu, atau temannya teman medsosku yang tak kukenal. Ah, hari seperti ini lagi. Hari-hari ketika kau merasa kematian, maut, berlintasan di sekitarmu. Dan wabah ini membuatnya jadi lebih kerap terjadi.
Kopiku terasa lebih pahit dari biasanya.
Aku berusaha mengalihkan perhatian dengan mulai membuka-buka portal berita. Atau unggahan-unggahan lain di medsosku yang bukan berita duka. Beberapa saat aku terseret dari satu berita, atau sekadar cerita kosong, ke berita atau cerita kosong yang lain.
Sudah batang kedua. Kopiku tinggal separuh. Aku sempat berpikir, kenapa anak istriku, dan pengasuh anakku, belum pulang. Belanja di mana mereka? Ah, sudahlah. Biarlah. Mereka butuh sedikit penyegaran dari berbulan-bulan karantina di rumah.
Melihat satu sudut taman kecil di depanku tersiram cahaya matahari, yang berhasil masuk dari sesela langit di antara bangunan-bangunan rumah tetangga di samping dan belakang rumahku, aku sempat berpikir untuk berjemur. Memanen vitamin D demi imunitas tubuh. Tapi kulihat jam di HP sudah menunjuk angka 10.55. Ah, sudah terlalu panas. Kuurungkan niatku.
Aku kembali menengok layar HP. Menggulung newsfeed dari atas ke bawah, bawah ke atas. Dan kembali melintasi dengan cepat kabar duka yang satu ke kabar duka yang lain. Beberapa saat seperti itu, sampai tiba-tiba aku terpaku pada satu berita duka.
Tanganku kaku. Tubuhku menegang. Degup jantungku seperti melonjak tiba-tiba.
Ada satu unggahan berisi ungkapan belasungkawa pada istriku (kuperiksa lagi namanya, benar, nama istriku) atas meninggalnya suaminya, aku, yang terasa mendadak. (Juga kuperiksa apakah benar namaku yang tertulis di sana atau tertulis di tagar #RIP seperti biasanya. Benar, namaku.)
Aku terdiam beberapa saat. Dengan degup yang masih kencang. Tubuhku terasa dingin.
Apa-apaan ini? Siapa yang bikin lelucon tak lucu ini. Media sosial memang bisa membuat orang jadi berbuat (maksudku, berkomentar atau berpendapat) tolol dan seenaknya. Karena seluruh kuasa penyampaian komentar dan pendapat itu ada di tangan mereka, di jari-jari mereka, tanpa editor atau otoritas lain yang akan mengurasi pikiran mereka, setolol apa pun. Aku mulai marah.
Tapi lalu kubuka lini masa medsosku. Penuh dengan ungkapan duka. Atas kepergianku kemarin sore. Kemarin sore? Aku memaki keras.
Aku berusaha menenangkan diri, lalu kuperiksa lagi dengan hati-hati semua medsosku. Dan kali ini aku menemukan berita duka atas kepergianku terpampang di mana-mana. Siapa yang membuat kebohongan yang cukup saksama tetapi keji ini?
Kepalaku terasa semakin berat. Keringat mulai mengucur dari dahiku.
Setengah berlari aku lalu masuk ke dalam rumah. Berusaha mencari istriku, atau anakku, atau pengasuh anakku, (atau siapa pun!) yang sejak tadi tak kudengar dan kulihat kehadiran mereka. Semuanya tak ada. Bahkan kucing peliharaan kami. Aku berlari ke pintu depan, melintasi meja makan dengan kursi-kursi yang tak rapi, mainan anakku yang tergeletak di lantai di sana sini, lalu sofa dan meja kopi yang selalu tampak tak pas ada di ruang itu.
Pintu depan terkunci. Dan tak kutemukan anak kunci di lubangnya. Putus asa aku berusaha membuka paksa pintu itu beberapa kali dan tak berhasil. Tubuhku basah.
Aku membalikkan badan, memandang ke ruang-ruang di rumahku yang tak besar. Berantakan, tapi kosong. Tak ada siapa-siapa.
Kepalaku terasa semakin berat. Cahaya matahari yang menerobos masuk dari pintu dapur yang terbuka tampak bersinar semakin terang. Terus meningkat terang dengan cepat, memenuhi seluruh ruang.
Sedemikian terang sehingga kesadaranku mulai tersengat. Ya, kini aku “ingat”, kemarin sore aku tiba-tiba terjatuh di teras belakang, lalu tak sadarkan diri. Gelap.
Seperti gelap yang kini tiba-tiba menyergapku. ***
.
.
Rawa Buntu, 27 Mei, 2020.
Yudi Ahmad Tajudin, salah satu pendiri Teater Garasi, kolektif seniman lintas disiplin di Yogyakarta. Sutradara teater Indonesia ini telah membawa karya-karyanya ke panggung dan forum seni pertunjukan internasional.
Ong Hari Wahyu, seniman visual art, aktif di beberapa komunitas seni di Yogyakarta. Sebagai desainer grafis, banyak membuat sampul buku pada sejumlah penerbitan. Kini juga dikenal sebagai art director dan production designer pada beberapa produksi film di Indonesia.
.
Berita Kematian di Media Sosial. Berita Kematian di Media Sosial. Berita Kematian di Media Sosial. Berita Kematian di Media Sosial.
Leave a Reply