Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 05 Juli 2020)
AKU turun dari balik kegelapan langit seperti laba-laba meluncur ke bawah, bergantung pada tali sintesis laser dan logam dari sarang yang sebetulnya jerat terkejam dengan jejaring sepanjang galaksi, tempat segala pesawat luar angkasa yang sial kami sita bahan pangannya, lucuti awaknya setelah nyawanya kami bebaskan, dan bongkar pesawatnya untuk menambal sulam pesawat kami sendiri.
Meluncur tegak lurus, kutembus setiap lapisan langit dengan bunyi ledakan dan semburat bunga api, sebelum menginjak planet mengenaskan yang disebut Bumi.
Kulepaskan tali yang melesat kembali ke langit dan segera tercium bau apak peradaban yang ambruk. Bau limbah kimia percobaan gagal yang setiap kali terhirup mendekatkan maut.
Sepanjang jalan nan penuh rongsokan kendaraan berkarat, di antara gedung-gedung telantar yang meruapkan kepengapan, bergelimpangan sosok-sosok dengan nyawa meregang, ketika sepeda motor menggerung berkelak-kelok sembari sesekali melindas kaki, tangan, kepala, perut, tubuh yang tiada mampu bergerak menghindar sekadar karena sekarat.
Mereka yang masih hidup bergerak dengan sisa tenaga untuk mencuri, merebut, merampas, entah makanan entah pakaian yang masih melekat di badan untuk ditarik-tarik tanpa perlawanan menggantikan busana hasil penjarahan bertahun-tahun silam yang begitu kusam tanpa bentuk tanpa kepantasan dalam dunia liar tempat penindasan menjadi jalan keselamatan.
Bumi suram dan udara panas seperti asal mula kejadian ketika di luar kota rawa-rawa menggelegak bagaikan kawah dan puncak segala gunung mengalirkan magma termerah. Jika bukan karena tugas, aku tidak sudi tinggal lebih lama meski dari sinilah kami semua berasal sebelum menjadi makhluk setengah manusia, semenjak nenek moyangku dari masa entah kapan terusir dari Bumi dan terpaksa menerima lamaran bangsa ikan yang di dunia tanpa air tiada dapat hidup hanya dengan insang. Jadilah diriku produk rekayasa dengan nomor registrasi memanjang di tengkukku. Terajahkan seperti borgol anjing di tengkuk seekor ikan.
“Bawalah pedang katana ini,” kata Komandan, “meskipun kita paria di jagat raya, bagi makhluk Bumi yang satu itu masih terlihat layak dirampok jua.”
Betul kata Komandan. Setelah busana yang mereka tarik tiada terlucutkan karena melekat erat di kulit membusuk meski tubuhnya masih bernyawa, busana sintetis kumal untuk perjalanan luar angkasa yang kukenakan ini terlalu menarik untuk tidak dirampas.
“He! Kepala Ikan! Serahkan bajumu!”
Aku bertubuh, berkaki, dan bertangan seperti manusia, tetapi berkepala ikan. Punggungku bersirip, kulitku bersisik, dan ruang di antara jari-jariku berselaput. Seperti ikan, dunia kulihat dari sepasang mata yang memandang ke arah berlawanan.
Bahasa nenek moyang sudah ditanamkan di kepala ikanku yang berotak terlalu kecil, seperti juga cara menggunakan pedang katana yang kukuasai tanpa pernah mempelajarinya. Tidak perlu dipertanyakan bagaimana aku dapat mengambilnya dengan sebat dari sarung pedang melintang di punggungku, menggerakkannya secepat kilat tanpa bisa dilihat mata telanjang, dan sosok-sosok yang menerjang maju untuk menjarahku roboh bergelimpangan.
Begitulah aku melangkah tanpa kegagahan, dalam kesuraman yang tidak akan menjadi terang, di antara sosok-sosok yang menumpuk seperti barang, tetapi bukan barang, melainkan manusia tiada berguna dengan kehidupan seperti kerang yang sesekali saja bergeming sebagai tanda tidak mati, tetapi sungguh mati tiada bedanya dengan mati, terguyur hujan abu yang turun tipis-tipis, membuat jalan layang yang miring, gedung-gedung gelap tanpa listrik, reruntuhan monumen-monumen raksasa yang rebah centang perenang menjadi kelabu, abu-abu, diselimuti debu.
“Jangan pulang sebelum kau dapatkan,” kata Komandan, saat kumasuki pesawat antargalaksi yang tak terlalu laik terbang, kadang-kadang suka berhenti dan hanya melayang dalam kehampaan, sebelum tersendat-sendat dan meluncur kembali tanpa ledakan maupun desisan.
Aku diberi penjelasan singkat sebelum berangkat, betapa suatu wabah yang sebetulnya bisa diputus dengan mudah ratusan tahun lalu, karena sikap meremehkan telah menghabiskan seluruh pemukimnya, enam miliar manusia, selain yang masih sekarat sekarang dan tiada jelas kapan akan berpulang.
“Jelek-jelek mereka masih keturunan nenek moyangnya nenek moyang kita,” Komandan menjelaskan, “jika mereka punah, kita kehilangan jejak asal-usul kita.…”
Belum selesai kuingat-ingat perbincangan dengan Komandan, manusia bergolok penunggang sepeda motor berjubah kusam dan bermasker datang membabat dari depan.
“Mampus kau Kepala Ikan!”
Aku bergeser sedikit dan menggerakkan pedangku tanpa perlu menoleh ke belakang, nyawa keturunan langsung manusia ini pun segera terbang. Jauh lebih baik nasibnya daripada sesama manusia lain yang tetap hidup meski membusuk dalam pengharapan mati nan tiada pernah dikabulkan.
“Untuk melawan kepunahan manusia ini memaksakan diri untuk beranak-pinak dalam kebusukan dan udara yang begini panas,” kata Komandan.
Namun, jika bukan karena udara sepanas ini membunuh bayi begitu lahir, perebutan kekuasaan antarmanusia yang tidak pernah berhenti telah semakin mengurangi kesempatan hidup bayi-bayi, tersebab balas dendam dilakukan oleh siapa pun yang lolos dari pembantaian.
“Wabah itu tidak pernah menjadikan manusia menunda pertentangan mereka untuk menghadapi musuh bersama,” kata Komandan lagi, “selamatkanlah yang masih bisa diselamatkan, karena kepunahan telah menjadi kepastian.…”
Kami makhluk persilangan antara manusia dan ikan hanyalah gelandangan pemasang jerat tanpa planet untuk bermukim. Menggelandang dari galaksi ke galaksi, bersandar kepada makhluk-makhluk lain di setiap bandar luar angkasa untuk berbelas kasihan mendermakan makanan dan bahan bakar. Bagi negeri-negeri di setiap galaksi memang lebih baik makhluk seperti kami yang meruapkan bau amis ini segera pergi.
“Bukan bau amis yang membuat kami keberatan, melainkan virus kebodohan yang mungkin kalian sebarkan.…”
Tiada bantahan yang dapat kami ajukan mengingat cerita tentang manusia di Bumi yang tinggal sisa, akibat kepongahannya ketika berlangsung wabah, sudah menjadi peringatan bagi makhluk-makhluk sejagat raya. Tercatat dalam Mahadata Semesta betapa setelah pengalaman Covid-19 pada 2020 diabaikan, secara berturut-turut Covid-20 sampai Covid-44 dengan caranya masing-masing mengurangi penduduk Bumi yang tidak memiliki lagi daya pertahanan alamiah, ketika dari saat ke saat tanah dan air masih terus mereka rusak sendiri secara berkelanjutan. Apalah yang masih bisa diharapkan dari Bumi yang samudranya kering, sungainya berhenti, menyisakan selokan mampat dengan air kehitam-hitaman?
“Demi masa depan kemanusiaan, jangan sampai gagal,” kata Komandan.
“Siap!” jawabku bagaikan robot.
Dengan otak sebesar otak ikan aku tidak bisa berpikir lebih jauh selain melangkah di antara tumpukan tubuh membusuk meskipun belum ada yang mati karena Covid-44 tidak mematikan, tetapi melumpuhkan. Mata ikanku di sisi kiri dan kanan dari kepalaku jelalatan mencari tanda yang akan diberikan oleh mata-mata kami.
Di Bumi tiada lagi listrik, tetapi masih ada sisa baterai bertenaga matahari, yang membuat tanda lampu merah di puncak gedung tertinggi itu akhirnya terlihat. Dari kode-kode morse yang berbunyi D-I-S-I-N-I, kutahu diriku mesti melesat secepatnya. Namun yang tampaknya dekat, karena gedung itu tinggi, sebetulnya masih jauh. Dalam udara yang panasnya membuat dedaunan dan kertas terbakar, perjalanan dalam ruang tak berangin dan hujan abu harus tetap kulakukan.
“Ikan ini bisa dimakan!”
Terdengar suara yang sangat tidak sopan, tetapi sopan santun macam apa yang masih mungkin diharapkan ketika basa-basi sungguh tak sahih lagi? Para penjarah dengan daya seadanya ini tidak kunjung habis juga.
Aku memang makhluk setengah manusia setengah ikan tinggi besar, yang membuat pedang panjang katana itu seperti terlalu pendek bagiku. Memandang diriku yang berkepala ikan, apakah makhluk-makhluk membusuk dan menjelang punah ini merasa sedang memandang makanan?
Perutku merasa mual dan ingin segera pergi ke galaksi lain meninggalkan planet sampah ini, tetapi ketika aku bermaksud melangkah, kakiku tidak bisa bergerak. Berpasang-pasang tangan telah memegangi kedua kakiku, bahkan ada pula yang menggigit betis dan ujung sepatuku!
Aku segera melesat dengan pedang katana berdarah. Tidak perlu kutengok lagi berpasang tangan yang pergelangannya kubabat putus maupun kepala yang terpaksa kusepak agar tak harus memenggalnya. Pengendara sepeda motor yang mengayunkan kapak kutendang sampai terpental dan kini aku melaju dengan sepeda motor bertenaga matahari.
Kode morse itu kini berkata: C-E-P-A-T-B-A-H-A-Y-A.
Kukira aku tahu kenapa harus cepat, tetapi apa yang dimaksud dengan bahaya? Kutancap gas sembari berkelak-kelok di antara reruntuhan.
Sesosok bayangan berkelebat memasuki halaman gedung pada saat bersamaan. Ia melesat lebih dulu menuju pintu masuk dengan melompat dari sepeda motornya yang sengaja ditabrakkan ke arah para penjaga. Ia berkelebat masuk dan aku pun mengejarnya setelah menabrakkan sepeda motorku juga ke penjaga lainnya. Aku harus mendahuluinya jika tidak ingin tugasku gagal, artinya harus membunuhnya.
Dalam pertarungan sepanjang tangga gelap dan panas menuju lantai 99, berkali-kali sesosok bayangan ini nyaris kubunuh, tetapi selalu luput. Tembok sepanjang tangga terus berhamburan dibentur baja pedang katana. Manusia kecil bersenjata dua belati melengkung itu sungguh lincah. Berkali-kali akulah yang nyaris tewas di tangannya.
“Ayo kejar aku Kepala Ikan!”
Aku memang harus memburu dan menghentikannya. Tugasku adalah menyelamatkan bayi manusia terakhir yang baru lahir, tugasnya adalah membunuh bayi itu karena lahir sebagai keturunan musuh.
Di lantai 99, sementara ia menghadapi penjaga lain yang mengamuk, aku menyambar bayi merah tergulung kain kumal yang ibunya tergeletak dengan leher tergorok. Aku segera keluar ke puncak gedung, tempat sinyal dikirim oleh mata-mata kami agar pesawat luar angkasa kami menurunkan tali laba-laba sintetisnya di sana.
Kusambar tali yang turun dari langit, langsung kugulungkan ke kain kumal pembungkus bayi itu, dan mematikan simpulnya sehingga terjamin tidak lepas lagi. Tidak terlalu jelas bagiku sendiri, mengapa tidak kupegang saja tali yang akan langsung menarikku ke atas dengan tangan kanan, sembari membopong bayi itu di tangan kiri.
Namun, ini segera terjawab ketika dua belati melengkung itu melesat berputar-putar ke arahku. Belati yang menuju ke arah tali berhasil kusampok jatuh dengan pedang katana, pada saat itu belati melengkung yang lain melesak ke dadaku.
Tubuhku langsung limbung, dan aku jatuh telentang. Kusaksikan buntalan kumal pada tali itu mengangkasa dalam latar langit yang masih saja menurunkan hujan abu. Masih kudengar tangis bayi ketika mataku menutup untuk selama-lamanya. Sempat terpikir olehku betapa kemanusiaan akan terpaksa dipertahankan dengan cara kloning.… ***
.
.
Pondok Ranji, Sabtu, 6 Juni 2020, 07.06
Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Kini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia antara lain menulis trilogi tentang Timor Timur, yakni Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (novel), serta Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).
Hanafi lahir di Purworejo, 5 Juli 1960. Mendirikan Studiohanafi dan Galerikertas di Depok. Awal tahun 2020 ia menyelenggarakan pameran Suluh di Komaneka Keramas Beach Bali.
.
Simuladistopiakoronakra. Simuladistopiakoronakra. Simuladistopiakoronakra. Simuladistopiakoronakra. Simuladistopiakoronakra. Simuladistopiakoronakra. Simuladistopiakoronakra. Simuladistopiakoronakra.
Leave a Reply