Lagu-lagu kedamaian berhenti di tengah-tengah manusia yang merindukannya. Karmin pemilik rambut sebahu itu melangkahkan kakinya menuju hatinya yang sunyi. Karmin meringkuk di kursi panjang sebuah halte bus kota, kota yang beberapa menit lalu diserang bom bunuh diri. Lumpuh. Darah-darah mulai mengering dan anyir, sebuah jantung masih berdenyut di bahu jalan, potongan-potongan tubuh tercecer di mana-mana. Aku sendiri terlelap di bantal sikutku sambil menyaksikan televisi yang tidak pernah mati, di dinginnya kota yang belum bangun dari mimpi buruknya.
Karmin masih meringkuk di sana, dengan perutnya yang lapar, dengan bibirnya yang kering selepas dicium embun-embun bercampur polusi kota. Siang uluk salam pada jalanan, pada tubuh kota yang resah. Karmin bangkit dan duduk memeluk kedua lututnya. Karmin melihat banyak orang lalu lalang, berbagai macam suara sirine datang bersahut-sahutan. Dan, aku berjalan menuju sebuah toko buku, melempar senyuman pada tukang becak yang berjajar di pintu komplek kos-kosan.
Karmin merasakan matahari semakin menyengat dan menyaksikan betapa cepatnya darah-darah itu menghitam, dan orang-orang lalu-lalang melempar bunga-bunga sambil berdoa dan membanjiri wajah mereka dengan air mata. Karmin masih saja duduk di seberang lokasi kejadian bom bunuh diri, menatap orang-orang menjeritkan nama yang mati. Karmin betul-betul merasa sendirian, dan sepi. Entah sejak kapan, tiba-tiba dirinya ada di tempat itu.
Karmin kemudian bangkit dari bangku sunyi itu, dia berdiri menunggu bus kota. Aku sudah sampai di toko buku, melangkah menuju rak-rak buku yang apik, aku menyusuri satu per satu lorong buku yang sepi. Beberapa kali mengelus-elus buku tebal, “Kenapa orang bisa menulis buku setebal ini?” Tiba-tiba aku dikagetkan seseorang, yang menepuk bahuku. Aku menoreh. Kaget.
“Rusdi?” aku bertanya sambil dalam melihatnya.
Rusdi mengangguk. Dia adalah aktivis kampus, orasi-orasinya patut diacungi jempol. Seperti biasa, Rusdi selalu terlihat seperti aktivis lainnya, kumis yang lebat, dan rambut sebahu. Akhir-akhir ini Rusdi sibuk dengan aksi-aksi pembebasan di Bandung.
“Gimana kabar Irman?” tanyaku. Irman salah satu jurnalis kampus yang diintimidasi aparat saat merekam suasana penggusuran di Bandung.
“Saat itu beberapa intel selalu mengecek kondisi sekretariat, tapi Irman sudah diamankan bapaknya di Tanggerang dan anak-anak lainnya selalu ada kegiatan di luar saat itu,” tutur Rusdi. “Anak-anak dikasih tahu oleh anak organisasi lain.”
Aku serius mendengarkan penuturan Rusdi sambil berjalan-jalan mencari buku yang aku cari. Konon, kasus Irman sudah ditutup dengan aksi damai antara kedua belah pihak, yang pada akhirnya membikin dahiku berkerut.
“Oh ya? Kamu beli buku apa, Rusdi?”
“Aku yang seharusnya bertanya padamu. Ini kan toko buku bapakku,” sahutnya.
Aku terperanjat sekaligus malu dan pada akhirnya Rusdi memberiku bonus dua buku yang membuatku bahagia saat itu. Karmin duduk di dekat jendela, menatap kosong dunia. Dia tidak tahu akan pergi ke mana, tetapi dia bergegas. Karmin turun dari bangku dengan gontai. Sore menyerbu langit, oranye matahari saat itu. Karmin pening.
Ketika di perjalanan pulang dari toko buku, aku melihat seseorang jatuh, tapi tidak ada satu pun yang peduli. Lalu, aku membopongnya secara terpaksa sambil misuh-misuh.
Sudah satu minggu dia berada di kosanku. Tetangga-tetangga tidak ada yang tahu tentang ini, apalagi ibu kos. Ada yang aneh dengannya, dia bernapas tapi tidak pernah bangun. Aku sempat gelisah, tapi harus bagaimana lagi, aku tidak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit. Sesekali aku memberinya minum.
Sudah satu minggu aku tidak keluar, tidak kuliah, dan tidak membeli makan, karena stok makanan masih cukup. Aku hanya menghabiskan waktuku saja membaca buku-buku yang kubeli di toko buku satu minggu lalu. Ketika aku menatapnya dalam-dalam, dia terbangun. Anehnya, dia sangat harum.
“Ibu?” suaranya parau, matanya tajam melihatku. Bagaimana mungkin aku seorang ibu, pacaran saja tidak pernah, apalagi memiliki suami dan anak? Aku membatin.
“Tidur lagi, kalau belum sadar,” kataku sembari balik menatapnya.
“Sungguh, kau ibuku.” Lelaki itu mendekatkan dirinya kepadaku. Aku terheran-heran.
“Bapakku adalah Rusdi,” lanjutnya.
“Kenapa tidak Irman?” tanyaku sambil becanda. Aneh sekali orang ini.
“Irman yang membuat Rusdi mati, Bu!”
Hatiku terhenyak. Aku menutup buku dan melihatnya lekat-lekat.
“Aku masih perawan! Rusdi dan Irman sahabat sejati, dari mana kau berasal? Tutup mulutmu! Atau kau pergi saja dari sini!” kataku, dengan mata memerah. Bibirku bergetar. Lelaki itu tertawa, kemudian menangis sesenggukan. Aku semakin heran dan lalu menepuk-nepuk punggungnya yang kurus dan dingin.
“Mandi dulu, nanti kita makan,” kataku berusaha menenangkan.
“Aku tidak perlu mandi, karena aku suci,” sahutnya sambil mengusap-usap pipinya yang basah.
“Kalau begitu tunggu sebentar, aku akan memasak untukmu,” kataku, sambil beranjak dari tempat duduk. Suasana begitu hening, hanya suara rice cooker dan air mendidih untuk masak mi instan yang terdengar. Aku memasak sambil bingung, bertanya-tanya tentang kejadian saat ini. Setelah usai, aku duduk berhadapan dengan lelaki itu, barangkali dia benar-benar anakku.
“Sebenarnya aku bukan anak Rusdi, tapi anak Karmin,” katanya, kemudian menjelaskan bahwa Karmin adalah kembaran Rusdi. Setelah menikahiku, Karmin diculik dan tidak pernah pulang. Karmin hilang. Setelah lelaki itu lahir, Rusdi menggantikan peran Karmin. Aku memberinya nama Kardi. Awalnya aku tidak tahu Rusdi memiliki kembaran dan aku menikahi dua lelaki itu. Rusdi mati karena berita-berita Irman yang terus-menerus berpihak kepada kejahatan. Kita berdua makan dalam keheningan. Tiba-tiba mata Kardi berlinang air mata, tapi dia terus mengunyah mi instan campur nasi itu.
“Dan ibu mati seminggu yang lalu di masa depan,” kata Kardi, sembari menelan makanannya, sambil terus-menerus memasukkan makanan itu ke mulutnya.
Kemudian aku menatapnya sedih. Konon, aku mati karena bom bunuh diri yang dilakukan teroris. Potongan tubuhku berhamburan. Jantung yang berdetak di bahu jalan saat itu adalah milik ibu Kardi, dan Kardi tidak bisa berbuat apa pun.
“Hari ini adalah peringatan hari ketujuh kematianku di masa depan,” kata Kardi. Setelah itu, Kardi memelukku begitu erat. Aku memejamkan mata dan menangis. Air mataku membasahi bahunya. Tiba-tiba Kardi hilang, aku seperti memeluk udara, dan membuka mata lalu bersimpuh di lantai yang begitu dingin.
***
Karmin mendatangi sebuah rumah, terdengar suara tahlil di rumah itu. Sandal-sandal berserakan. Karmin ikut duduk di antara orang-orang yang berdoa. Kemudian Karmin menitikkan air mata, melihat Kardi tumbuh dengan baik. Karmin tahu betul ini adalah acara tahlil kematian istrinya. Seusai acara tahlil, Karmin menuju Kardi. Mereka berdua saling menatap haru penuh rindu. “Maafkan, Bapak baru pulang, Nak.”
Mereka berdua berpelukan. Kardi merasakan pelukan ibunya saat memeluk bapaknya. Tangisan laki-laki lebih berdarah dari perang-perang mana pun.
***
Rusdi datang terengah-engah, menuju diriku yang sedang duduk di kursi ruang kuliah U-12. “Hari ini kita presentasi, kamu ke mana saja selama ini? Teleponku tak pernah kau angkat sama sekali,” ujarnya.
“Lalu?”
“Kita belum bikin makalah!” kata Rusdi.
Satu kelompok hanya tiga orang. Irman dan Rusdi satu kelompok denganku. Kita tidak mengerjakan makalah maupun membuat power point, tapi kita berhasil melobi dosen untuk tetap presentasi tanpa makalah. Kita presentasi atas buku-buku yang kita baca dan budaya diskusi organisasi. Setelah itu, kita duduk dengan tenang menyimak presentasi kelompok berikutnya. Aku duduk di antara Rusdi dan Irman. Aku berbisik kepada Rusdi, “Titip salam buat Karmin.”
“Aku Karmin,” jawab Rusdi kepadaku. ***
Mila NA berasal dari Bandung. Beberapa karyanya antara lain: antologi puisi tunggal Zabaniyah (2016), antologi puisi Geometri Kata-Seni Bandung ke-1 (2017), antologi cerpen Ziarah Sebutir Peluru-LPM Suaka UIN SGD Bandung (2017), dan antologi puisi Cicalengka dan Kita (2018).
Kiswatul Lathifah
Suka…