Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 27 Juni 2021)
AKU tidak bisa membayangkan, keanehan macam apa yang bakal terjadi di kampung kami. Dua tokoh masyhur akan pulang kampung secara bersamaan. Ketut Rapti dan Wayan Wari ingin bertemu dengan bantuanku. Alasannya, hanya aku yang mengerti perseteruan apa yang sedang mereka alami di Jakarta dan di TV-TV. Konyol sekali. Aku satu-satunya orang yang berpikir alangkah tidak bermanfaatnya pertemuan mereka berdua. Apa peduliku, bila Ketut Rapti sedang berseteru hebat dengan Wayan Wari. Apa peduliku bila Ketut Rapti sedang berada pada titik nadir hidupnya, ketika ia gagal menghasilkan satupun lukisan baru.
Gosip terakhir yang beredar, Ketut Rapti hanya mereproduksi lukisan-lukisan lamanya yang fenomenal. Ia bekerja sama dengan tim kreatifnya yang canggih, untuk membuat cerita untuk pernak-pernik yang mereka produksi. Ketut Rapti adalah bentuk perlawanan terhadap upaya diskriminasi terhadap kedaerahan. Ketut Rapti adalah seorang aktivis sejati. Hidupnya sendiri adalah perlawanan.
Sebagai pelampiasannya dari kegagalan membuat lukisan baru, Ketut Rapti mulai menghadiri talkshow-talkshow TV. Ada seorang ahli public speaking yang melatihnya secara intensif. Tentu saja dengan bayaran yang sangat mahal. Sebuah harga yang pantas dengan kepandaian Ketut Rapti berbicara saat ini.
Ketut Rapti merasakan kegembiraan yang meluap-luap pada kemampuannya berbicara. Ketut Rapti sendiri seperti terpesona dengan kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya. “Saya yakin kita tidak cuma lahir untuk kejayaan dan kekayaan. Kalaupun kita ditakdirkan untuk itu, saya yakin itu harus dilakukan dengan cara yang benar. Bukan dengan saling sikut, apalagi dengan menjadi calo politik. Lebih baik hidup miskin dengan uang apa adanya, daripada harus hidup dari kekayaan yang haram. Saya sangat setuju. Tidak ada kebahagiaan yang bisa diraih dari harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar. Hidup pun tidak bisa tenang.”
“Anda sendiri sangat kaya? Bagaimana Anda meraihnya?”
“Anda mungkin belum membaca biografi saya. Saya datang ke Jakarta, nyaris tanpa bekal apapun. Saya hampir terlempar dalam keputusasaan. Namun lidah saya menyelamatkan saya, eh maksud saya lukisan-lukisan saya. Saya tidak menggunakan apapun untuk mencapai apa yang saya miliki sekarang, selain kecintaan saya untuk melukis. Saya tidak habis mengerti dengan orang-orang meraih kekayaan dengan korupsi, sikut sana sikut sini. Menjadi calo untuk menguras anggaran rakyat. Sedihnya, bahkan ada kawan yang saya kenal baik, melakukan itu. Saya sangat sedih karenanya. Untuk apa kekayaan yang diperoleh dengan cara begitu. Saya yakin tidak ada kebahagiaan yang bisa diraih di situ.”
“Boleh tahu siapa tokoh yang Anda maksud itu?”
“Tidak eloklah bila saya menyebutnya. Kelak Anda pasti tahu siapa dia. Dia sekarang sudah berada di Jakarta, untuk melubangi APBN, agar ia kecipratan.”
“Wah kami sungguh penasaran dengan siapa yang Anda maksud.”
Ketut Rapti hanya tersenyum simpul. Menolak terpancing menjawab pertanyaan si penyiar TV. Ia hanya memandang sekilas dari tabung kaca TV, dan memastikan orang yang dimaksudnya sedang menonton.
Wayan Wari memang ada di depan TV dan mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan Ketut Rapti. Wari bersungut-sungut kesal.
“Perempuan kurang kerjaan. Tidak bisa melihat orang lain hidup tenang.”
Aku tahu betul, perseteruan Ketut Rapti dan Wari tidak dimulai sekarang, pada saat keduanya menjadi orang yang kaya dan terpandang. Itu dimulai jauh hari ketika mereka masih kelas satu SMP di sebuah sekolah inpres yang berada di tengah padang ilalang.
Ketut Rapti naksir Wayan Wari yang menurutnya berhati baik. Namun Wari naksir Ayu Dewi yang sekarang ini menjadi istrinya. Kami sering bermain ke sawah bersama dan sangat mudah mengetahui perasaan Ketut Rapti kepada Wari.
Wari hanya tertawa terbahak-bahak ketika aku mencandainya dengan kenyataan itu. “Mana mungkin aku naksir Ketut Rapti. Kulitnya lebih hitam daripada panci di rumahku.” Senyum di wajah Ketut Rapti lenyap. Ia berlari sekencang-kencangnya untuk menghindari kami berdua. Kami berdebat panjang setelah kejadian itu.
“Kalau kamu tidak suka dia, tidak perlu menghinanya seperti itu?” kataku marah.
“Aku tidak menghinanya. Cuma bercanda. Kita kan biasa bercanda. Mengapa sekarang dia jadi lebih sensitif begitu. Dia juga sering mengata-taiku, belog, cuma karena ia sering juara satu.”
Begitulah. Dendam kesumat seperti sudah bersarang di benak Ketut Rapti, begitu mengetahui Wari pun berhasil memanjat tangga menuju sebuah awan di langit sana.
Wari menelponku berulangkali untuk menyampaikan kekesalannya.
“Apa sih maunya Ketut Rapti mulai menyinggung-nyinggung namaku. Dia juga menuduhku yang bukan-bukan di TV.”
“Apa kamu memang tidak pernah melubangi anggaran rakyat?”
“Iya sih, tapi kamu harus menutup mulutmu. Kamu tahu, bahkan seorang koruptor mati dengan dielu-elukan karena kemurahan hatinya. Aku sudah berdana punia ke banyak Pura. Sudah sering menyumbang besar setiap ada Piodalan di kampungku. Mereka pasti lebih menyukaiku daripada Ketut Rapti”
“Lalu untuk apa kamu memberitahuku soal ini?”
“Kamu mengenalnya. Tolong kasih tahu dia. Dia tahu kamu juga ada di Jakarta.”
“Sejak kapan aku peduli, Yan. Kaupun dulu menghindariku sejak kau mulai kaya.” Kataku setengah menyindir.
“Apa kau meminta bayaran untuk hal ini?”
“Ha… ha…. ha…., tidak semua orang tertarik pada uangmu, Wari. Aku hanya tidak ingin terlibat dalam urusanmu.”
Wari terdiam di ujung telepon. “Apa yang dikatakan Ketut Rapti sangat berbahaya. KPK bisa mencariku, padahal reputasiku sedang baik saat ini.”
“Itu salahmu sendiri, Wari. Karena menghinanya dulu. Ketut Rapti sekarang punya kuasa untuk memengaruhi media.”
“Jangan terlalu melebih-lebihkan keagungan Ketut Rapti. Aku tahu kenapa dia begitu bawel di TV. Apalagi kalau bukan karena dia sudah tidak punya kemampuan melukis,” kata Wari dengan mencibir.
“Terserah kalianlah. Aku tidak mendapat keuntungan apa-apa dari pertengkaran kalian. Sudah ya, Yan, aku harus balik kerja. Bosku sudah memandangku tajam sejak tadi.”
***
Kemudian yang membuat aku makin tak habis mengerti adalah, SMS yang aku terima dari Ketut Rapti tadi pagi. Ternyata bukan hanya Wari yang mengganggap aku punya peran penting dalam perseteruan keduanya. Ia mengajakku bertemu di sebuah kafe.
Gelap mulai turun saat aku masuk ke dalam kafe. Seorang perempuan cantik tersenyum manis menyambut kedatanganku.
“Hai… Made, sampai juga kau. Tiang sudah menunggu sejam.”
“Kamu Ketut Rapti?” Aku terbelalak tak percaya.
“Kok Made seperti melihat hantu.”
“Kamu… berubah sekali,” kataku agak tercekat.
“Ah tidak. Kulitku tetap hitam. Wari akan tetap mengatai kulitku lebih hitam daripada panci di rumahnya.”
“Tapi kamu sungguh cantik seperti artis.”
“Belakangan tiang jarang melukis, jadi tiang punya banyak waktu lowong. Tiang menghubungi seorang dokter untuk memperbaiki beberapa bagian dari wajah yang kurang simetris.” Aku hanya melongo. Kehabisan kata-kata.
“Sejak perseteruanku dengan Wari, ingatanku terus melayang pada pertemuan terakhir kami di sawah itu.”
“Kamu tidak berniat merebutnya kan, dari istrinya yang sekarang?”
“Konyol betul perkiraanmu, Made. Dengan wajahku yang sekarang dan nama baikku sebagai seorang aktivis, untuk apa aku mengejar Wari. Masih banyak laki-laki tampan yang lebih berkelas daripadanya.” Aku tersenyum kecil menyetujui ucapannya.
“Kamu ingin Wari menyesal karena dulu menolakmu?”
Ketut Rapti mengulum senyum. “Tiang hanya ingin bertemu dengannya.”
Aku memandang perempuan cantik di depanku dengan setengah tidak percaya. Mana mungkin niatan sederhana itu muncul dari benak Ketut Rapti yang sekarang. Ketut Rapti yang sekarang bukanlah perempuan yang sederhana lagi. Ia bukan lagi perempuan pemalu yang senang menyembunyikan dirinya di sudut kelas. Wajahnya bertebaran di koran dan di TV. Ia kini bisa menyusun kalimat-kalimat yang rapi untuk menyampaikan pikirannya.
“Jadi Ketut akan mengalah, tidak lagi menyerang Wari seperti sebelumnya.”
Perempuan di hadapanku hanya menggangguk kecil dan tersenyum manis. Tanpa kusadari aku terhisap dalam pusaran senyumnya yang menghanyutkan.
“Made… Made… Made….” Ketut Rapti menguncang-guncang bahuku berulang-kali.
“Eh… iya, a… a… pa, Tut?”
“Kok Made bengong?”
“Tidak… tidak apa-apa. Apa yang Ketut mau, saya akan mencoba untuk membantu.”
“Jadilah penengah pertemuan kami. Tiang mohon.”
Aku menganggukkan kepala pasrah. Ketut Rapti sudah menundukkanku dengan senyumnya yang menghanyutkan.
“Karena tiang sudah mengalah, maka Wari pun akan mengalah. Di sawah terakhir kami bertemu, ia akan meminta maaf karena menghinaku waktu itu. Juga 1.000-an laki-laki yang pernah melakukan hal yang sama kepada teman perempuannya. Kata-kata semacam itu adalah kekerasan verbal kepada perempuan dan harus dilenyapkan dari jagat raya.”
“Aku kagum pada niatmu, Tut.”
“Ada 20 stasiun TV dalam dan luar negeri akan meliputnya,” mata Ketut Rapti berbinar-binar seperti bintang-bintang di malam paling gelap.
“Tahun depan tiang akan maju menjadi calon bupati.” Mataku terbelalak. Ketut Rapti bukan saja tak lagi sederhana, ia juga melenting-lenting untuk mencapai langit tertinggi yang bisa diraihnya.
“Bukankah Ketut ingin menjadi seorang seniman?”
Ketut Rapti hanya tersenyum tipis menanggapinya. Dan aku makin yakin perempuan di hadapanku ini, bukanlah perempuan yang sama yang aku kenal di masa kecil dulu. ***
.
.
Arti kata-kata
Belog = bodoh
Punia = sumbangan kepada Pura
Piodalan = upacara keagamaan
Tiang = saya
.
.
Ni Komang Ariani adalah penulis kelahiran Gianyar, Bali. Ia telah menulis tujuh buku tunggal, yaitu Lidah, Senjakala, Bukan Permaisuri, Jas Putih, Ketut Rapti, Marigold, dan Telikung. Ia memenangi Lomba Menulis Cerbung Femina pada 2008 dan tiga kali masuk buku Cerpen Pilihan Kompas. Cerpen-cerpennya bisa dinikmati di www.nikomangariani.com. Selain menulis, saat ini ia bekerja sebagai dosen.
Bambang Paningron, lahir di Yogyakarta, 2 Juni 1964. Lulus SMA Kolese de Britto tahun 1983, melanjutkan kuliah di Jurusan Komunikasi UGM, tapi tidak diselesaikannya dan lebih menekuni dunia seni pertunjukan serta seni rupa. Sejak 1998 menjadi anggota Kelompok Seni Rupa Bulaksumur. Terlibat pameran bersama di Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Bali. Menginisiasi beberapa festival seni. Dia, antara lain, pernah menjadi kurator Pekan Kebudayaan Nasional 2020 dan Direktur Fest pada Jogja International Performing Art.
.
Pertemuan Ketut Rapti dengan Wari. Pertemuan Ketut Rapti dengan Wari. Pertemuan Ketut Rapti dengan Wari. Pertemuan Ketut Rapti dengan Wari.
Dave
Soal patriarki muncul dalam cerita ini dari segi sikap dan perilaku laki laki terhadap penampilan perempuan. Ada tokoh laki laki muda yang menggunakan kekuasaan patriarkis untuk menilai kecantikan tokoh gadis. Gadis itu, anak SMP, bernama Ketut yang berkulit hitam, dianggap ada penampilan jelek oleh teman laki laki sekelas, Wayan. Penampilannya dibandingkan oleh Wayan dengan warna panci. Dampak hinaan itu segera, dalam dan lama. Ejekan patriarkis menikam hatinya sangat dalam lebih-lebih karena dia menyimpan perasaan bagi Wayan. Luka itu tak sembuh dan terasakan lama. Hinaan dan luka itu tampaknya juga terkait dengan putusan Ketut di kemudian hari untuk menjalani beda kosmetika. Sebagai dewasa Ketut, menjadi seniwati yang sangat berhasil namun ada juga keinginan untuk menyembuhkan luka yang lama itu. Untuk mencapai penyelesain ini, si Narator-aktor (N-A), Made ada peran dan ditugaskan oleh kedua pihak, Ketut dan Wayan untuk mengurus suatu pertemuan. Ironisnya, N-A tidak sadar bagaimana penampilan Ketut yang dijadikan ‘cantik’ dengan bedaan itu mempengaruhi perilakunya. Dulu N-A enggan untuk membantu Ketut agar Ketut bisa bertemu dengan Wayan. Namun waktu N-A bertatap muka dengan Ketut dia langsung terpukau, melongo melihat penampilan Ketut yang baru. N-A langsung penuh gairah untuk membantu dia. Ketut sendiri ingin mendidik Wayan, memberi suatu pelajaran bagi dia. Rencananya Wayan harus menyerah dan minta maaf di depan media massa. Dengan demikian, gadis-gadis yang pernah mengalami perilaku patriarkis semacam ini tahu mereka ada kekuasaan juga untuk menolak kekuasaan patriarikis. Si Ketut ada rencana lagi menjadi calon bupati suatu tanda perempuan ada hak untuk memegang tampuk kekuasaan politik, suatu ranah yang masih dikontrol laki laki.