Cerpen Terjemahan, Jawa Pos, Virginia Woolf

Sepucuk Surat

Sepucuk Surat ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4.9
(8)

Cerpen Virginia Woolf (Jawa Pos, 27 Juni 2021)

ADA lekukan kecil di atas permukaan gunung itu bagaikan sebuah kawah yang terdapat di bulan. Lekukan itu dipenuhi salju yang tampak berwarna-warni seperti dada seekor burung nuri, tetapi terkadang tampak berwarna pucat beku.

Benda-benda terserak di sana-sini. Betapa sulit bernapas atau menyingkap selubung yang menutupi kehidupan. Salju itu sama saja, sejenak seakan tampak berwarna-warni, lalu berwarna semerah darah dan putih bersih, tergantung pada hari.

Ada kuburan di lembah. Di sana ada sebuah gundukan lebar di salah satu sisi; batuan yang murni; lumpur salju; pohon pinus mencengkeram tebing batu yang terjal; sebuah gubuk terpencil; ada semacam mangkuk hijau, lalu atap yang seperti kulit telur; akhirnya, di bagian paling bawah, tampak sebuah desa, hotel, bioskop, dan kompleks pekuburan—sebuah kompleks pekuburan di halaman gereja dekat hotel yang mengabadikan nama-nama beberapa lelaki yang terjatuh saat memanjat gunung.

“Gunung,” perempuan itu menulis seraya duduk di balkon hotel, “adalah lambang.” Ia berhenti. Ia bisa melihat puncak gunung tertinggi melalui kacamatanya. Dia menatap saksama, seolah-olah ingin memastikan benda itu melambangkan apa. Ia sedang menulis surat untuk kakak perempuannya di Birmingham.

Balkon itu menghadap ke jalan utama tempat peristirahatan musim panas Alpina, bagaikan sebuah kotak balkon di gedung teater. Ada ruang duduk pribadi dan juga tempat untuk bermain teater—semacam tirai yang menyelubungi—dipergelarkan di depan umum. Selalu ada sedikit basa-basi, kata pembuka, terbukanya selubung tirai. Hiburan perintang waktu. Jarang melebur dalam sebuah kesimpulan, seperti halnya perkawinan atau persahabatan yang berakhir. Ada sesuatu yang luar biasa dalam hal itu: tak ada kesimpulan. Kepadatan bisa diseret ke ketinggian ini. Bahkan rumah-rumah tampak rapuh. Pada saat mereka mencapainya, desa itu pun menjadi baur, tak nyata.

Baca juga  Kisah yang Disimpan Keheningan…

Seraya merendahkan letak kacamatanya, ia mengangguk pada anak-anak muda di bawah balkon hotel yang tengah bersiap untuk memulai pendakian. Ia memiliki hubungan tertentu dengan salah satu di antaranya—bibi anak muda itu adalah kepala sekolah anak perempuannya.

Masih menggenggam pena yang meneteskan tinta, ia melambai kepada para pendaki itu. Ia telah menulis bahwa gunung adalah sebuah lambang. Tapi lambang apa? Pada tahun empat puluh di abad sebelumnya ada dua lelaki yang tewas—tahun enam puluh empat lelaki. Sebab yang pertama karena tali yang putus; sebab kedua karena malam keburu tiba dan membekukan mereka hingga bertemu maut. Kita selalu memanjat hingga ketinggian tertentu. Namun, itu tak mewakili apa yang ia pikirkan setelah memandang melalui kacamatanya ke puncak gunung yang masih perawan itu.

Ia melanjutkan menulis, tetapi tak berhubungan dengan tulisan sebelumnya. “Aku bertanya-tanya mengapa gunung itu membuatku berpikir tentang Isle of Wright? Kau ingat, saat Mama hampir meninggal dunia kita membawanya ke sana. Dan aku berdiri di balkon saat perahu tiba dengan penumpang di atasnya. Kukira itu Tuan Edward. Dia baru saja turun dari perahu. Kini semua penumpang telah mendarat. Mereka tak lagi melihat pada perahu itu. Aku tak pernah mengatakan kepadamu—kau berada di India saat itu, sedang mengandung Lucy—bahwa aku merindukan saat-saat ketika dokter datang, dia berkata, ‘Ibumu tak akan bisa bertahan hingga seminggu lagi.’ Kenyataannya Mama masih hidup hingga delapan belas bulan kemudian. Gunung membuatku teringat betapa aku merasa amat sendirian saat itu. Aku terpaku menatap saat kematiannya, seperti sebuah lambang. Aku berpikir jika aku mencapai titik itu, aku akan terbebas. Kami tak bisa menikah hingga setelah Mama meninggal. Segumpal awan akan tampak menutupi gunung itu. Kurasa saat aku mencapai titik itu pastilah akan terasa hampa—aku tak pernah mengatakan kepada siapa pun. Aku berada di puncak. Aku bisa melihat dari segala sudut. Kita berasal dari sebuah keluarga India-Inggris. Aku masih bisa membayangkan, saat mendengar cerita-cerita, bagaimana orang-orang tinggal di belahan dunia yang lain. Aku bisa melihat gubuk-gubuk berlumpur itu, juga kehidupan yang liar. Aku bisa melihat gajah yang sedang minum di danau. Begitu banyak yang telah dijelajahi oleh para paman dan sepupu kita. Aku selalu amat ingin menjelajahi diriku sendiri. Tapi tentu saja, saat waktunya tiba, semua itu akan bisa kurasakan, dengan mempertimbangkan keterikatan dalam pernikahan.”

Baca juga  Bek Sayap

Dia menatap ke seberang jalan pada seorang perempuan yang sedang menggoyang-goyangkan sehelai tikar di atas balkon lainnya. Setiap pagi pada waktu yang sama perempuan itu muncul. Kita bisa melemparkan sebutir kerikil ke atas balkonnya. Hubungan mereka telah sampai pada titik saling bertukar senyum, hanya terpisah oleh sepotong ruas jalan yang membentang.

“Vila-vila kecil,” tambahnya, menuliskan kembali penanya, “di sini mirip sekali dengan di Birmingham. Semua rumah membuka pondokan. Hotel itu agak penuh. Walaupun agak membosankan, makanan di sini tidak bisa dibilang buruk. Kita bisa melihat gunung dari setiap jendela. Begitulah. Kadang-kadang aku bisa menjerit saat keluar dari toko yang menjual koran—datangnya telat seminggu—selalu karena melihat gunung itu. Terkadang ia tampak seperti berada dekat di seberang jalan. Lainnya, seperti segumpal awan, hanya tak pernah bergerak. Entah bagaimana, pembicaraan di sini selalu berkisar tentang gunung, bahkan di antara orang-orang cacat sekalipun. Memang klise. Dalam badai semalam, kuharap untuk kali pertama gunung itu bersembunyi. Tetapi, seperti dibawa oleh ikan-ikan kecil, pendeta itu berseru, ‘Lihat gunung itu!’

“Apakah aku egois? Aku tak merasa perlu malu kepada diriku sendiri jika aku menderita, bukan? Orang-orang pribumi di sini menderita amat parah karena penyakit gondok. Tentu saja itu bisa dihentikan jika punya uang. Apakah tak seharusnya kita malu membiarkan sesuatu yang tak tersembuhkan? Untuk menghancurkan gunung itu diperlukan sebuah gempa bumi. Aku bertanya kepada pemilik hotel pada suatu hari, Tuan Melchior, apakah ada gempa bumi saat ini? Tidak, katanya, hanya salju dan tanah longsor. Kabarnya, longsor itu bisa melenyapkan seluruh desa. Tetapi, ia menambahkan bahwa tempat ini akan aman.”

Baca juga  Bulan Sepucat Lembu

”Saat aku menulis kata-kata ini, aku bisa melihat anak-anak muda itu memanjat lereng gunung. Mereka mendaki dengan tali bersama-sama. Kini mereka melintasi sebuah jurang.”

Pena itu terjatuh dari tangannya dan tetesan tinta mengotori kertas, membentuk garis berliku. Para pemuda itu lenyap dari pandangan.

Larut malam regu pencari baru berhasil menemukan tubuh para pemuda yang ditulis oleh perempuan itu di atas sepucuk surat yang tak selesai di atas meja balkon. Dia memegang penanya sekali lagi, lalu menambahkan, “Sebuah hal klise. Mereka mati ketika mencoba memanjat gunung itu. Para petani menaburkan bunga-bunga musim semi di atas pusara mereka. Mereka mati saat berusaha melakukan penjelajahan.”

Tampaknya tak ada kesimpulan. Dan ia menambahkan, “Salam sayang untuk anak-anakmu.” Kemudian ia menuliskan nama kecilnya. ***

.

.

VIRGINIA WOOLF (1882–1921). Pengarang terkemuka Inggris. Karya-karyanya berupa cerpen, novel, dan sejumlah esai yang terutama berisi pandangan-pandangannya tentang feminisme. Novel-novelnya, antara lain, Mrs. Dalloway dan To the Lighthouse.

ANTON KURNIA. Penerjemah karya sastra dan penulis prosa. Buku terbarunya adalah Menulis dengan Cinta: Pengantar Belajar Menulis Kreatif (Baca, 2021).

.

.

Loading

Average rating 4.9 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!