DARI kampung, Salman Wicaksono merantau ke sebuah kota untuk bekerja di tempat fotokopi milik Paman Haris Wardoyo. Di kota itu, Salman berharap dapat menumpuk kekayaan dalam sekejap.
Salman berotak encer dan gemar membaca. Paman Haris pernah mengatakan siap membiayai kuliah bila Salman lulus dari SMA. Tetapi, Salman tidak mau kuliah, ia hanya ingin seperti Paman Haris yang meski hanya lulusan SMP tapi bisa punya rumah berlantai tiga.
Rumah Paman Haris berada di lahan seluas 5 x 10 meter, di tepi jalan dekat dengan beberapa kampus, berhimpitan dengan bangunan lain. Lantai 3 untuk kamar utama, lantai 2 untuk ruang keluarga dan kamar anak-anak, lantai 1 untuk usaha fotokopi.
Salman tidur di sebuah kamar berukuran 2 x 3 meter di lantai 1, di bagian belakang dekat kamar mandi. Kamar yang sempit tapi menyenangkan bagi perantau seperti Salman.
Paman Haris pernah bercerita, dahulu dirinya bekerja di sebuah tempat fotokopi. Majikannya hanya lulusan SD, tapi berotak encer dan gemar membaca. Sang majikan menjadi konsultan skripsi, menularkan ilmunya pada Paman Haris.
Suatu hari Paman Haris merasa dirinya telah tua. Sebetulnya usia Paman Haris masih 50-an tahun. Belum terlalu tua, tetapi rambutnya memutih oleh skripsi-skripsi pesanan.
“Aku akan pulang ke kampung istriku,” kata Paman Haris.
“Paman akan jadi konsultan skripsi di kampung?” tanya Salman.
Paman Haris hanya tersenyum dan mengatakan bahwa Salman boleh meneruskan usaha fotokopinya.
“Bagaimana kalau saya membelinya, Paman?” kata Salman.
“Kamu punya uang?” sahut Paman Haris, sepasang matanya menyipit.
“Berapa Paman akan jual?”
Paman Haris menyebut harga.
“Bagaimana kalau saya angsur selama dua tahun, Paman?”
Paman Haris tertawa, lalu menjabat tangan Salman.
***
Suatu sore, di pelataran parkir toko buku setelah membeli beberapa novel dan kumpulan cerpen, Salman Wicaksono bertemu dengan Sidik Zulfikar. Rekan sesama konsultan skripsi—tepatnya mantan konsultan skripsi.
Sidik yang kini berjenggot dan selalu mengenakan gamis putih, tersenyum, menjabat tangan Salman dan mengucapkan salam dengan fasih layaknya orang Arab. Penampilan Sidik yang kini itu terjadi setelah ia ikut sebuah perkumpulan pengajian.
“Apa kabar, saudaraku? Masih jadi konsultan skripsi?”
Itu pertemuan yang kesekian dengan Sidik. Pertemuan yang menyebalkan. Salman selalu mendapat pertanyaan yang sama, tetapi ia mencoba untuk tersenyum dan menjawab, “Alhamdulillah, masih.”
“Sudah ada rencana untuk berhenti?” tanya Sidik. Pertanyaan itu selalu terulang tiap kali mereka bertemu. Salman mengerti, sebagai anggota perkumpulan pengajian Sidik tentu punya tugas suci yang harus ia jalankan.
Salman menggeleng. “Aku tidak seperti kamu. Imanku lemah.”
“Jangan menyerah, saudaraku. Setidaknya kamu harus punya niat. Sudahkah kamu punya niat untuk berhenti, saudaraku?”
Salman gugup dan ingin segera berlalu, tetapi Sidik mencengkeram tangannya.
“Bertobatlah saudaraku sebelum terlambat. Dunia berputar kamu akan larut dalam putaran itu, kecuali kamu memutuskan untuk keluar. Keluarlah dari putaran yang menyesatkan itu saudaraku.”
Darah Salman mendidih, ia menepiskan tangan Sidik dengan kasar. Bergegas menuju motornya.
“Itu urusanku, bukan urusanmu!”
“Bertobatlah saudaraku atau karma akan menimpamu,” teriak Sidik.
Salman tak peduli. Ia melajukan motor meninggalkan pelataran parkir.
Di perjalanan Salman melambatkan motor ketika melintas di depan sebuah kampus. Banyak kerumunan orang di tepi jalan itu. Salman melihat seorang pemuda mengenakan toga sedang berfoto bersama kedua orang tuanya di depan plang nama sebuah universitas. Otak Salman yang encer segera mengingat bahwa pemuda bertoga itu adalah mantan kliennya. Tetapi Salman lupa berapa juta pemuda itu membayar untuk skripsi pesanannya.
Salman masih ingat dirinya pernah mendamprat pemuda itu sebagai mahasiswa tolol, bego, goblok. Pemuda itu tak pantas jadi sarjana, karena untuk menyusun sebuah kalimat saja tak becus. Tetapi, bukankah itu sebab Salman jadi konsultan skripsi? Karena negeri ini penuh dengan mahasiswa tolol?
Pukul lima sore lebih beberapa menit, Salman sampai di tempat fotokopinya. Seorang karyawannya mengatakan seseorang telah menunggunya. Salman melihat seorang pemuda duduk di sudut ruangan, tersenyum lebar padanya.
“Bagaimana ujian skripsimu?” tanya Salman.
“Sukses, berkat bimbingan Pak Salman.”
***
Seperti biasa, pukul 10 malam Salman bertandang ke kamar Pitaloka, anak tunggalnya di lantai 2. Gadis itu sedang duduk menghadap laptop, tersenyum melihat Salman berdiri di ambang pintu kamar.
“Bagaimana skripsimu?” tanya Salman.
“Sudah selesai, Papa. Tinggal nunggu jadwal ujian.”
“Syukurlah,” Salman tersenyum. “Papa bangga kamu mengerjakan sendiri skripsimu.”
“Siapa dulu dong papanya?” balas Pitaloka tersenyum.
“Sudah malam. Tidurlah.”
“Ya, Papa. Sebentar lagi.”
Salman turun ke lantai 1, memasuki ruang kerjanya yang berukuran 2 x 3 meter. Dahulu, ruang itu adalah kamarnya ketika masih bekerja pada paman.
Salman membuka laptop. Malam yang sudah-sudah ia mengerjakan skripsi pesanan, tetapi malam ini ia hanya duduk menatap layar laptop.
Pikirannya tak menentu dan dadanya berdebar-debar. Pertemuannya dengan Sidik sore tadi telah membuat pikiran Salman kacau. Berkali-kali Salman mengela napas panjang dan memejamkan mata. Dan setelah beberapa menit tak tahu apa yang harus dilakukan, ia membuka File Explorer di laptop.
Salman menggerakkan tetikus, mengarahkan pointer pada folder Skripsi Pesanan. Beberapa saat Salman terdiam. Lalu pada helaan napas panjang yang ke sekian, ia mengeklik kanan folder itu, lalu mengeklik Delete. Salman memejamkan mata. Takut, cemas, khawatir dan lega bercampur di hatinya.
Di lantai 2, Pitaloka masih berkutat dengan laptop di kamarnya. Ikon Whatsapp di laptopnya muncul tanda bulatan merah. Sebuah pesan masuk dan gadis itu segera membukanya. Pesan dari teman kuliahnya.
Skripsiku sudah selesai belum?
Pitaloka tersenyum, lalu menulis jawaban.
Sudah. Tapi transfer dulu dong fee untukku.
Beres. Segera kutf. Tunggu, ya.
Oke, aku tunggu.
Pitaloka berdebar menunggu. Tiga menit kemudian ponselnya berdering lembut. Sebuah SMS banking masuk. Mengabarkan telah masuk transfer 5 juta rupiah. ***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional.
Leave a Reply