Cerpen, M Rosyid HW, Media Indonesia

Kuburan Pasir Hitam

4.3
(7)

SENJA sedang berlabuh di pesisir pantai ketika segerombolan laki-laki memasuki rumah Slamet dengan mengacungkan benda-benda tajam—celurit, arit, kapak, golok, batu, dan balok kayu.

Rumah itu berada di antara rumah-rumah warga yang menghadap pantai Watu Pecak. Gunung Semeru berdiri gagah di belakangnya.

“Pukul!”

“Hajar!”

“Bunuh!” teriak mereka. Pintu-pintu didobrak. Lemari kursi digebrak. Genting-genting bergemeretak. Tak ada seorang pun yang mereka temukan. Tak ada siapa pun yang mereka lihat. Si empu rumah menghilang.

“Tukang protes keparat!” geram salah seorang di antara mereka sambil memukul televisi hingga remuk.

Tidak lama, mereka pergi, tidak sadar di dasar sumur seorang laki-laki meringkuk dengan mata nyalang.

***

Senja turun berlabuh di pesisir pantai saat Slamet duduk-duduk di atas gundukan pasir. Ia membiarkan dada bidangnya telanjang. Angin sepoi-sepoi dan aroma pantai memulihkan keletihannya selepas seharian menyiangi ladang. Hatinya sedang berbunga-bunga: batang-batang sengon telah sebesar paha, tongkol-tongkol jagung bertumbuh sempurna, larik-larik rumput gajah menghiasi pematang, dan cabai-cabai memerah diwarnai semesta.

Terberkatilah desa ini, batinnya, Gunung Semeru menganugerahinya ladang-ladang subur dan Laut Selatan menghadiahinya limpahan pasir-pasir besi.

Tergoda garis pantai, ia berdiri dengan sedikit sempoyongan sambil menggulung celana panjangnya hingga ke lutut. Telapak kakinya—berbalut lumpur ladang—bergerak-gerak di atas pasir hitam. Terasa dingin, lembut, dan geli.

Pasir besi sempurna serupa mutiara tanpa cela, ia membatin seraya membenamkan kakinya lebih dalam. Bulir-bulir pasir seperti menyalurkan sengat semangat ke otot-otot tubuhnya. Naluri membawanya menyusuri bibir pantai hingga meninggalkan jejak-jejak kaki yang memanjang. Sesekali, ia mendekati air laut dan ombak-ombak mencubiti jari-jemarinya. Berloncat-loncatan di antara deburan ombak, ia menghirup aroma laut: segar, amis, dan masam. Bebauan yang akrab dan dekat, mengingatkan Slamet pada saat ia dilumat ombak belasan tahun lalu.

***

Tangan ombak yang kekar menarik kaki kecilnya ketika Slamet sedang bermain pasir. Diseret ombak, ia telungkup dan tersungkur. Ombak yang mulai mengamuk menyeretnya makin ke tengah. Dengan cepat, tanpa perlawanan, ia tenggelam.

Baca juga  Boneka Kucing

Gerimis yang turun menjadi deras seketika. Petir menyambar-nyambar di atas kepala. Seorang ibu yang melihat sejulur tangan tenggelam berlari penuh ketakutan ke arah permukiman.

“Tolong….”

“Tolong….”

“Tolong… teng-ge-lam. Di-sa-na!” terbata-bata, ia menunjuk-nunjuk tempat Slamet kecil terlihat terakhir kali.

Warga pesisir lekas berlari mendatangi tubir laut. Tak ada yang berani nyemplung berenang saat ombak begitu mengerikan. Cadik-cadik kecil di pelataran pantai juga tak cukup berguna.

Dalam sedetik, gelombang akan membalikkannya. Para lelaki tak mau mati sia-sia. Kata mereka, sekuat-kuatnya manusia tak akan bisa menaklukkan laut yang sedang mengamuk. Lebih baik satu nyawa melayang daripada lima orang lelaki tenggelam.

“Tunggu esok hari, kita akan melaut,” tegas Wak Pin, sesepuh desa. Warga hanya bisa mengelus dada. Pasrah.

Esok hari, berita baik tak bertandang ke kampung nelayan. Pencarian gagal. Bocah malang itu raib tak tersisa ditelan ombak. Hari ketiga, batang tubuhnya belum juga ditemukan. Hari kelima, hari ketujuh, hari keempat belas: warga telah kehilangan harapan.

Tak disangka, selepas lima belas hari, ia muncul tiba-tiba dari gundukan-gundukan pasir hitam di tepi laut dengan baju compang-camping. Seorang nelayan melihat Slamet seperti mayat bangkit dari kubur. Matanya jalang, wajahnya merah, dan badannya legam. Sekujur tubuhnya, mulai dari ujung rambut hingga telapak kaki, dipenuhi butir-butir pasir besi. Ia terdampar di pulau yang tak berpenghuni dan dipelihara oleh kijang-kijang hutan. Seperti namanya, ia selalu dianugerahi keselamatan.

“Pasir besi adalah kekuatan. Darahku mengalirkannya melalui nadi-nadi,” ujar Slamet setelah itu kepada setiap orang.

***

Slamet terus menyusuri bibir pantai dan semakin menjauhi permukiman. Mega-mega bergurat keperak-perakan menyambut malam yang akan turun. Meskipun memiliki rumah di pucuk tegalan, ia selalu berkata kepada warga desa, “Watu Pecak adalah rumahku,” katanya.

Gelap semakin bergelayut. Bulan tampak di pucuk ufuk. Slamet terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Saat ia menemukan deretan pohon kelapa, ia mendengar gemuruh, tapi bukan gemuruh gelombang. Pasir sedang bergemerisik, tapi bukan dihempas ombak. Semakin ia mendekat, suara itu semakin jelas. Dari balik pohon kelapa, mata Slamet terbelalak melihat mesin ekskavator jumbo disorot cahaya putih terang berpendar-pendar. Lengan besinya berputar-putar di atas bak-bak truk yang menganga. Pasir-pasir terangkut. Lubang-lubang tergali. Slamet bergidik ngeri. Tambang pasir ilegal.

Baca juga  Dua Lelaki

***

Pagi masih merona saat seorang lelaki diseret di jalanan. Beberapa menit yang lalu, terdengar teriakan, “Ini orangnya! Di dasar sumur.”

Tangannya diikat. Kakinya dibiarkan terbuka. Pukulan demi pukulan mendarat di kepalanya.

Tendangan demi tendangan bersarang di tubuhnya. Bacok demi bacok menghunjam daging-dagingnya. Celurit, arit, kapak, batu, dan balok kayu bergantian menerjang.

Ketika gerombolan itu menganggap ia telah menjadi mayat, mereka meninggalkannya. Namun, mereka salah. Seperti namanya, ia selalu dianugerahi keselamatan. Dia adalah lelaki pasir hitam yang diberkati kekebalan. Darah merah tidak mengalir di dalam tubuhnya.

“Pasir besi adalah kekuatan. Darahku mengalirkannya melalui nadi-nadi,” ia mengerang dalam hati.

Menyadari komplotan bedebah sudah menjauh, ia bangun, memacu napas dan berlari kencang. Seseorang memergokinya. Komplotan mengejarnya. “Braak!” lelaki berbadan gempal dan kekar kembali merobohkannya. Ia dihantam kayu dan bambu, dilempar batu, disetrum, dan dibacoki golok. Tapi, sekali lagi, ia adalah Slamet, lelaki pasir hitam yang dianugerahi keselamatan. Ia hanya mengerang. Tubuhnya tidak mengucurkan darah setetes pun.

“Kita harus cepat menghabisinya!” tegas lelaki berkaus merah bersungut-sungut.

“Cecunguk bermulut besar. Yang kau tahu hanya protes, ha!?” temannya menonjok mulut lelaki pasir besi.

“Bagaimana membunuhnya? Bahkan Laut Selatan tak membuatnya mati,” sahut lelaki lain yang bertopi.

“Anjing! Setrum pasti membuatnya mati!” perintah lelaki berjaket kulit. Ia tampak seperti pemimpin komplotan.

“Ya, dia pasti mati!”

“Tidak mungkin. Ia lelaki pasir besi. Hanya pasir besi yang dapat membunuhnya,” lelaki bertopi mengedarkan pandangan.

***

“Kalau kita tidak bergerak, sekali ada tsunami, habislah kampung ini.” Lima orang laki-laki duduk melingkar di gardu belakang rumah Slamet.

“Tidak perlu menunggu tsunami, Pak. Lha wong, air laut sudah masuk ke sawahku. Jagung dan lombok sudah pasti gagal panen,” wajah Slamet memerah.

Baca juga  Benalu

“Bencana ini sudah dekat. Di dekat pesisir, ada 14 rumah yang sudah tergenang air laut,” lapor Hadi.

“Pantai kita sudah habis. Sekali laut pasang dan rob besar datang, rumah-rumah langsung terendam,” timpal lainnya.

“Uang, uang, dan uang: itu yang ada di pikiran mereka. Anjing-anjing tambang busuk!” Rahman mengutuk-ngutuk.

“Kau tahu, hampir lima ratus truk hilir mudik setiap hari di kampung ini. Kita dapat apa!? Tak ada. Air laut masuk. Irigasi jebol. Sawah gagal panen. Jalan raya rusak. Pesisir penuh lubang, dan nyawa bisa melayang sewaktu-waktu,” tambahnya.

“Anak Yu Min kemarin tenggelam dan meninggal di lubang tambang dekat sawah Pak Minto.”

“Kita tak boleh diam. Dunia harus tahu hal ini. Tanah ini, tanah kita. Pantai ini, rumah kita. Ini perkara hidup dan mati,” Slamet mengakhiri pertemuan.

“Lawan!”

“Protes!”

***

Senja berlabuh di pesisir pantai ketika segerombolan pria tiba sembari mengangkat tubuh seorang laki-laki. Pantai itu bernama Watu Pecak. Gunung Semeru mematung tegar di belakangnya.

Lelaki pesakitan itu ditanam berdiri di dalam galian lubang pasir sedalam tiga meter. Kepalanya muncul di atas pasir hitam seperti bola sepak yang menjadi sasaran tendang. Ombak laut terus bergejolak.

“Coba lihat!” lelaki bertopi, dari jarak satu meter, melempar sebongkah batu sekeras-kerasnya. Tepat menimpa batok kepala, menimbulkan suara retak.

Darah segar mengucur. Senyum menyeringai bermekaran. Batu, batu, dan batu berjatuhan.

Bulir-bulir pasir bergemerisik bersama gerimis. Truk menderu-deru bersama petir. Ekskavator bergemuruh bersama langit. Watu Pecak berduka. Slamet sekarat. Pasir-pasir hitam menguburnya. ***

Pasirian-Lumajang, Januari 2020

M Rosyid HW. Lahir dan tinggal di Sidoarjo. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media masa. Kumpulan cerpennya yang akan terbit, Rembulan di Bibir Teluk dan Cerita Lainnya.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!